Anda yang mengikuti berita pemilu, apalagi yang berminat atau malahan berurusan dengan pemilu, pasti sudah terbiasa mendengarkan frase ini: “penyelenggara pemilu” atau “pelaksana pemilu”. Atau dalam bentuk susunan kata lain, seperti “menyelenggarakan pemilu” atau “melaksanakan pemilu”. Juga “diselenggarakan oleh … “ atau “dilaksanakan oleh …”
Kata atau frasa tersebut muncul dari peraturan pemilu yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU pun mengacu pada undang-undang pemilu. Nah, jika dirunut lagi, ternyata kata atau frasa itu ada di konstitusi.
Bacalah Pasal 22E UUD 1945 ayat (1): Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Lalu ayat (2): Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dan ayat (5): Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Jadi terdapat kata “dilaksanakan” di ayat (1), dan kata “diselenggarakan” di ayat (2) dan ayat (5). Apakah maka kata tersebut sama? Bisakah dipertukarkan, “diselenggarakan” ditaruh pada ayat (2) dan ayat (5), lalu “dilaksanakan” diletakkan pada ayat (1)? Jika tidak bisa dipertukarkan, berarti keduanya memiliki makna yang berbeda.
Mari kita buka dokumen perubahan konstitusi. MPR mengubah UUD 1945 empat kali, dan soal pemilu terjadi pada Perubahan Ketiga (2001). Dalam dokumen Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Repupublik Indonesia Tahun 1945, Buku V Pemilihan Umum, yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi (2010), tidak ada perdebatan soal penggunaan kata “dilaksanakan” dan “diselenggarakan”.
Itu artinya perumus perubahan konstitusi memiliki kesepahaman atas pengertian kata “dilaksanakan” dan “diselenggarakan”. Menurut ilmu bahasa, kesepahaman tentang pengertian kata itu dicatat kamus. Mari cek Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) melalui kkbi.kemendikbud.go.id.
Kamus itu ternyata tidak kenal kata “dilaksanakan” dan “diselenggarakan”. Tetapi dengan mengetik “pelaksana” diketahui kata itu berasal dari “laksana”. Dengan mengetik “penyelenggara” diketahui kata itu berasal dari “selenggara”. “Laksana” adalah kata benda bermakna tanda yang baik; sifat; laku; perbuatan, sedangkan “selenggara” adalah kata kerja bermakna urus, rawat.
Dari kata dasar “laksana” terbentuk kata kerja aktif “melaksanakan” yang mempunyai dua makna: (1) memperbandingkan; menyamakan; (2) melakukan, menjalankan, mengerjakan (rancangan, keputusan, dsb). Selanjutnya “pelaksana” bermakna orang (panitia, organisasi, dsb) yang mengerjakan atau melaksanakan (rancangan dsb). Dari kata dasar “laksana” bisa dibentuk kata kerja pasif “dilaksanakan”.
Sedang dari kata dasar “selenggara” terbentuk kata kerja aktif “menyelenggrakan” mempunyai lima makna: (1) mengurus dan mengusahakan sesuatu (seperti memelihara, memeriara, merawat): (2) melakukan atau melaksanakan (perintah, undang-undang, rencana, dan sebagainya): (3) menunaikan atau menyampaikan (maksud, cita-cita, harapan, tugas kewajiban, dan sebagainya): (4) mengurus dan memperhatikan (kepentingan, usaha, perkara, dan sebagainya): (5) mengadakan, mengatur, dan mengurus (pesta, rapat, pertunjukan, pameran, perusahaan, dan sebagainya).
Sedang “penyelenggara” bermakna: (1) pemelihara atau pemeriara; (2) orang yang orang yang menyelenggarakan (dalam berbagai-bagai arti seperti pengusaha, pengurus, pelaksana). Dari kata “selenggara” dibentuk kata kerja pasif “diselenggarakan”.
Bagaimana dengan kata bentukan “pelaksanaan”? KBBI memberi makna: proses, cara, perbuatan melaksanakan (rancangan, keputusan, dan sebagainya). Sedangkan “penyelenggaraan” bermakna: (1) pemeliharaan; pemiaraan: (2) proses, cara, perbuatan menyelenggarakan dalam berbagai-bagai arti (seperti pelaksanaan, penunaian).
Ternyata KBBI tidak menunjukkan perbedaan makna tegas antara kata “laksana”, “melaksanakan”, “pelaksana”, dan “pelaksanaan” dengan kata “selenggara”, “menyelenggarakan”, “penyelenggara”, dan “penyelenggaraan”.
Namun dengan membandingkan makna-makna di antara keduanya, kita bisa menarik kesimpulan bahwa kata “selenggara” dan bentukannya memiliki arti lebih luas daripada kata “laksana” dan bentukannya.
Bandingkan kata “melaksanakan” yang bermakna melakukan, menjalankan, mengerjakan (rancangan, keputusan, dsb) dengan kata “menyelenggarakan” yang bermakna mengadakan, mengatur, dan mengurus (pesta, rapat, pertunjukan, pameran, perusahaan, dsb).
Untuk memastikan bahwa kata “menyelenggarakan” dan “diselenggarakan” memiliki arti lebih luas daripada kata “melaksanakan” dan “dilaksanakan” mari kembali ke rumusan konstitusi.
Pemilihan kata “dilaksanakan” Pada Pasal 22E ayat (1), yang serangkai dengan asas luber dan jurdil, berarti kata itu menunjukkan kegiatan pemilu tertentu. Sebab, tidak semua kegiatan pemilu menggunakan asas luber dan jurdil. Kampanye misalnya, tidak berasaskan rahasia, justru sebaliknya harus transparan. Juga ada kegiatan rekrutmen petugas, perencanaan dan penganggaran yang berada di luar pengertian “pelaksanaan” tersebut.
Dengan menyebut asas luber dan jurdil, ketentuan Pasal 22E ayat (1) sebetulnya menunjuk pada kegiatan inti pemilu, yaitu pemungutan suara. Karena pada kegiatan pemungutan suara itulah asas luber jurdil berlaku sepenuhnya. Namun sebelum dan sesudah pemungutan suara terdapat kegiatan-kegiatan penunjang, yaitu pembentukan daerah pemilihan, pendaftaran peserta, pendaftaran calon, kampanye (sebelum pemungutan suara) dan penghitungan suara, penetapan hasil, dan pelantikan (sesudah pemungutan suara). Rangkaian kegiatan sebelum dan sesudah pemungutan suara ini biasa disebut tahapan pelaksanaan pemilu.
Sementara itu kata “diselenggarakan” yang terdapat pada Pasal 22E ayat (2) dan ayat (5), jelas menunjuk pada pengertian pemilu secara umum, secara keseluruhan. Artinya kata ini menunjuk pada semua kegiatan pemilu, mulai dari penyusunan peraturan, perencanaan dan penganggaran, rekrutmen petugas (persiapan), pelaksanaan, pengawasan, serta laporan dan evaluasi. Dengan kata lain, pelaksanaan pemilu merupakan bagian dari penyelenggaraan pemilu.
Nah, pertanyaannya, mengapa tulisan ini repot-repot menyoal perbedaan pengertian “penyelenggaraan” dan “pelaksanaan”? Sebetulnya untuk menjawab keluhan banyak kalangan, termasuk pengurus partai politik, jajaran penyelenggara pemilu, dan pemantau pemilu: mengapa UU No 7/2017 dan undang-undang pemilu sebelumnya begitu sulit dipahami?
Perhatikan Buku Ketiga Pelaksanaan Pemilu Bab I Umum dalam UU No 7/2017. Dengan judul Pelaksanaan Pemilu, mestinya Bab I Umum merumuskan pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu. Kenyataanya pada pasal awal bab ini mengatur penyelenggaraan pemilu.
Pasal 167 ayat (4) berbunyi: Tahapan Penyelenggaraan Pemilu meliputi: a. perencanaan program dan anggaran serta peraturan pelaksanaan Penyelenggaraan Pemilu; b. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; c. pendaftaran dan verifikasi Peserta Pemilu; d. penetapan peserta Pemilu; e. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; f. pencalonan Presiden dan Wakil presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; g. masa Kampanye Pemilu; h. Masa Tenang; i. pemungutan penghitungan suara; j. penerapan hasil; dan k. pengucapan sumpah dan janji Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Karena tidak logis, rumusan pasal tersebut sesungguhnya membingungkan. Pertama, sebelumnya tidak ada rumusan yang menegaskan bahwa pelaksanaan (tahapan pemilu) merupakan bagian dari penyelenggaraan pemilu, malah tahapan penyelenggaraan pemilu menjadi pembuka Buku Ketiga Pelaksanaan Pemilu.
Kedua, tidak menyertakan tiga kegiatan penting penyelenggaraan pemilu yaitu pengawasan, penegakan hukum, serta pelaporan dan evaluasi. Padahal pada bagian berikutnya terdapat pengaturan ketiganya.
Ketiga, jika tahapan penyelenggaraan pemilu merupakan rangkaian kegiatan pemilu, ketentuan ini mestinya tidak memasukkan masa tenang sebagai bagian tahapan, sebab masa tenang tidak ada kegiatan. Konsisten dengan pengaturan kegiatan mestinya cukup ditulis Kampanye, bukan masa Kampanye.
Nah, konsisten dengan pemahaman bahwa “penyelenggaraan” lebih luas dari “pelaksanaan” atau dalam bahasa lain pengertian “pelaksanaan” adalah bagian dari “penyelenggaraan”, maka rumusan yang lebih baik adalah sebagai berikut.
Pertama, penyelenggaraan pemilu terdiri dari: penyusunan peraturan, perencanaan dan penganggaran, persiapan (rekrutmen petugas), pelaksanaan, penegakan hukum, serta pelaporan dan evaluasi.
Kedua, pelaksanaan pemilu (sebagaimana tersebut bagian pertama) terdiri dari: pembentukan daerah pemilihan, pendaftaran partai politik, pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil, dan pelantikan calon terpilih.
Rumusan tersebut logis dan konsisten dengan pengertian “penyelenggaraan” dan “pelaksanaan” sehingga mudah dipahami. Rumusan demikian juga sesuai dengan elemen manajemen: planning, organizing, actuating, dan controlling.
Pemilu adalah kegiatan besar, rumit, dalam waktu singkat juga melibatkan banyak orang banyak dan beragam kepentingan. Oleh karena itu pengaturannya harus jernih jelas tegas agar mudah dipahami semua pihak yang terlibat. Pengaturan pemilu juga harus mengikuti prinsip-prinsip manajemen agar penyelenggaraannya bisa dikelola dengan baik. Manageable, tidak unmanageable. []
DIDIK SUPRIYANTO
Penasihat Yayasan Perludem