February 24, 2025

Salah Paham Pemilu 2.3: Proporsional Terbuka vs Tertutup, yang Penting Konsisten

Perdebatan soal sistem proporsional daftar terbuka (open list representation) versus sistem proporsional daftar tertutup (close list representation) masih terus berlangsung. Perdebatan semakin seru pada saat pembahasan RUU Pemilu.

Kapan perdebatan ini berakhir? Ya, selama kita masih membuka ruang untuk mengubah undang-undang pemilu, perdebatan soal itu pasti terjadi.

Penggunaan sistem pemilu proporsional sepertinya sudah kita terima. Sejarah menunjukkan, usulan untuk menggunakan sistem pemilu mayoritarian atau sistem pemilu pluralitas/mayoritas, selalu gagal.

Gagasan Bung Karno membentuk partai tunggal atau partai pelopor pada awal kemerdekaan, disambut dingin banyak kalangan. Usulan Angkatan Darat untuk menggunakan sistem distrik pada awal Orde Baru, ditolak partai politik. Demikian juga saat Tim Reformasi Politik bentukan Presiden Habibie mengajukan sistem pemilu mayoritarian yang dimodifikasi.

Dalam sepuluh tahun terakhir muncul gagasan untuk menggunakan sistem pemilu campuran. Namun sampai sejauh ini usulan tersebut belum mendapat respon serius dari para pemangku kepentingan. Perubahan cara memilih sehingga pemilih akan menghadapi kesulitan, jadi pertimbangan mengapa tawaran ini belum diterima.

Sistem pemilu proporsional sepertinya sudah given, sesuai dengan karakter masyarakat kita yang majemuk, baik secara politik, sosial budaya, maupun ekonomi. Sebagai bangsa yang multietnis, multiagama, dan multiideologi, sistem pemilu proporsional memang paling cocok untuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan tersebut. Kita tidak perlu mengalami konflik berdarah seperti terjadi di beberapa negara Afrika dan Asia hanya gara-gara tidak tepat memilih sistem pemilu.

Masalahnya adalah, sistem pemilu proporsional yang mana: daftar terbuka atau daftar tertutup?

Kita pernah menggunakan dua varian itu. Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu 1999, kita menggunakan daftar tertutup; sedangkan pasca-Perubahan UUD 1945 kita menggunakan daftar terbuka: Pemilu Legislatif 2004, 2009, 2014, dan 2019.

Setelah berpengalaman menggunakan daftar terbuka dan daftar tertutup, yang masing-masing lebih dari tiga kali pemilu, tidak bisakah kita memilih sistem pemilu proporsional yang ideal buat Republik ini?

Mengutip Andrew Reynold, peneliti pemilu dari International IDEA, bahwa sesungguhnya tidak ada sistem pemilu ideal. Yang ada adalah sistem pemilu tepat, yang paling cocok di satu negara.

Tidak ada satu pun sistem pemilu yang mampu memenuhi semua kebutuhan politik nasional atau semua kepentingan kelompok politik. Yang bisa dilakukan adalah mengusahakan sistem pemilu yang tepat sesuai dengan kondisi historis, sosiologis, dan politis suatu masyarakat bangsa.

Tentu saja hal itu tidak mudah mempertimbangkan semua hal tersebut untuk memutuskan pilihan sistem. Makanya setiap kali dibuka kesempatan merevisi atau mengubah atau mengganti undang-undang pemilu, soal pilihan sistem pemilu selalu menjadi perdebatan.

Saya tidak mau larut dalam perdebatan sistem proporsional daftar terbuka versus daftar tertutup. Lain waktu kita berpanjang-panjang mendiskusikannya. Saat ini yang perlu dibahas adalah, apakah kita sudah konsisten menerapkan sistem pemilu proporsional daftar terbuka?

Mari memahami sistem pemilu proporsional secara runtut. Sistem pemilu proporsional terjadi manakala jumlah kursi di daerah pemilihan atau besaran daerah pemilihan (district magnitude) adalah jamak, 2 atau lebih. Karena berkursi jamak, maka partai politik peserta pemilu berhak mengajukan jumlah calon sebesar jumlah kursi yang tersedia.

Bagaimana partai politik menyusun daftar calon? Di sinilah mulai terjadi varian sistem pemilu proporsional.

Jika partai politik mengajukan daftar calon disusun berdasar nomor urut, maka sistem pemilu proporsional masuk varian daftar tertutup. Selanjutnya dalam metode pemberian suara, pemilih memilih partai politik, sehingga penetapan calon terpilih berdasar nomor urut. Maksudnya, jika partai mendapat dua kursi, maka calon terpilih adalah calon nomor urut 1 dan 2.

Jika partai politik mengajukan daftar calon tidak disusun berdasar nomor urut, atau disusun berdasar abjad atau undian, dan tanpa nomor di depan nama, maka sistem pemilu proporsional masuk varian daftar terbuka. Selanjutnya dalam metode pemberian suara, pemilih memilih salah satu nama calon, sehingga penetapan calon terpilih berdasar suara terbanyak.

Pemilu 1999 sebagai pemilu transisi sukses mengantarkan Indonesia memasuki alam demokrasi. Perubahan UUD 1945 yang dihasilkan oleh MPR hasil Pemilu 1999 memastikan laju demokratisasi punya pijakan kuat. Oleh karena itu anasir-anasir lama yang dinilai tidak sesuai dengan tuntutan demokratisasi harus ditanggalkan.

Di sinilah terjadi perdebatan seru saat DPR dan pemerintah menyiapkan undang-undang untuk Pemilu 2004. Di satu sisi, banyak pihak ingin mengubah sistem pemilu menjadi proporsional daftar terbuka; di sisi lain, banyak pihak mempertahankan sistem pemilu proporsional daftar tertutup.

Para pengusung daftar terbuka menilai daftar tertutup tidak demokratis karena rakyat tidak bisa memilih langsung wakil-wakilnya untuk duduk di legislatif. Pemilih hanya memilih partai, partai politik yang menentukan calon terpilih. Padahal pilihan partai politik belum tentu sama dengan pilihan pemilih.

Para pendukung daftar terbuka meyakinkan, bahwa daftar terbuka akan dapat mengatasi problem perwakilan politik selama ini. Pertama, karena memilih langsung, maka pemilih bisa terus berhubungan dan mengontrol orang-orang yang dipilihnya yang duduk di lembaga perwakilan.

Kedua, daftar terbuka akan dapat memotong “kader jenggot” yaitu kader partai politik yang mengakar ke atas (elite), bukan kader yang tumbuh dan besar dari bawah (massa). Mereka bisa menduduki kursi parlemen karena dekat dengan elite partai politik, bukan karena dukungan massa, juga bukan karena dedikasi dan prestasi.

Ketiga, daftar terbuka memaksa partai politik melakukan demokratisasi internal sehingga oligarki partai politik bisa ditekan dan dienyahkan. Kita membutuhkan partai politik kuat, mandiri, dan demokratis mengingat, konstitusi memberi peran besar kepada partai politik dalam membangun struktur pemerintahan.

Tuduhan bahwa daftar tertutup tidak demokratis dapat dengan mudah dimentahkan oleh para pendukungnya, dengan menunjukkan banyaknya negara demokrasi di dunia yang menggunakan sistem ini.

Jika dikatakan daftar tertutup ibarat membeli kucing dalam karung, anggapan ini juga salah besar. Sebab pemilih mengetahui daftar calon yang diajukan partai politik. Artinya, jika pemilih tidak menyukai daftar calon tersebut, pemilih bisa mengalihkan pilihannya ke partai politik lain.

Yang tidak disadari oleh pengusung daftar terbuka, bahwa sistem ini akan mengundang tampilnya calon-calon berharta melimpah, sehingga pemilu jadi ajang kompetisi pemodal, bukan ajang kompetisi kader berprestasi. Lebih dari itu, para pemodal ini tak hanya membeli suara rakyat tetapi juga membeli kemandirian partai politik. Demikian disampaikan pengusung daftar tertutup.

Perdebatan panjang harus diakhiri mengingat waktu pemilu sudah dekat. Terjadilah kompromi pengaturan sistem pemilu seperti terdapat dalam UU No 12/2003. Usulan penggunaan sistem pemilu proporsional daftar terbuka diterima, namun unsur-unsur daftar tertutup tetap diakomodasi.

Pertama, daftar calon masih menggunakan nomor urut yang disusun partai politik, bukan disusun berdasarkan abjad atau hasil undian. Kedua, pemilih tetap bisa memilih partai politik, atau tidak harus memilih calon. Ketiga, calon terpilih harus meraih 100% BPP (bilangan pembagi pemilih), dan jika tidak ada calon yang meraih 100% BPP, maka calon terpilih kembali ditetapkan berdasarkan nomor urut.

Tiga hal tersebut, menyebabkan media menyebut Pemilu Legislatif 2004 sebagai pemilu dengan sistem proporsional setengah terbuka. Sebab, meski surat suara menampilkan nama-nama calon, namun masih dipertahankan tiga unsur pemilu daftar proporsional tertutup.

Hasilnya pun sama dengan yang diperkirakan banyak kalangan. Dari 550 anggota DPR baru, hanya ada tiga nama yang terpilih berdasarkan 100% BPP. Lainnya terpilih karena nomor urut.

Inilah yang mendorong pembentuk undang-undang mengubah formula penetapan calon terpilih dari 100% BPP menjadi 30% BPP. Ketentuan ini terdapat dalam UU No 10/2008 yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2009.

Pemilu belum berlangsung, ketentuan 30% BPP untuk menetapkan calon terpilih digugat ke MK oleh calon anggota DPRD Kota Surabaya. Putusannya, MK mengubah ketentuan tersebut menjadi suara terbanyak, agar konsisten dengan penggunaan sistem proporsional daftar terbuka sebagaimana disebut oleh undang-undang. Ketentuan ini berlaku untuk Pemilu Legislatif 2009, 2014, dan 2019.

Namun dalam tiga kali pemilu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tersebut, daftar calon tetap disusun berdasarkan nomor urut dan pemilih masih bisa memilih partai politik. Inilah bias sistem pemilu proporsional daftar terbuka, sehingga terhadap hasil pemilu legislatif kita tidak bisa menilainya dengan standar proporsional daftar terbuka.

Peran partai politik dalam mengurutkan daftar calon tidak hanya memberikan preferensi kepada pemilih untuk memilih calon bernomor urut kecil (1 dan 2), tetapi juga menyebabkan calon-calon terpilih lebih mengedepankan kepentingan partai politik daripada kepentingan pemilih dalam mengambil keputusan di parlemen.

Dengan janji bahwa daftar terbuka akan memudahkan pemilih dalam mengontrol calon-calonnya di parlemen, tidak terpenuhi. Kader jenggot memang hilang, tetapi mereka digantikan oleh kader karbitan yang mengandalkan popularitas dan uang. Sementara itu janji  mendemokratisasikan partai politik, hanya tinggal janji. Partai politik tidak hanya semakin oligarkis, tetapi juga semakin dinastik dan paternalistis.

Apakah itu semua buah sistem proporsional daftar terbuka? Tidak bisa disimpulkan seperti itu, sebab sistem ini tidak diterapkan secara konsisten. []

DIDIK SUPRIYANTO

Penasihat Yayasan Perludem