August 8, 2024

Samsul Bahri: Perubahan Ketentuan Pemilu Aceh Mestinya di UUPA, Bukan di UU Pemilu

Dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Samsul Bahri dan Kautsar, memprotes ketentuan di dalam Undang-Undang (UU) No.7/2017 Pasal 571 huruf d yang mencabut ketentuan Pasal 57 dan 60 UU Pemerintah Aceh (UUPA) No.11/2006. Keduanya menilai bahwa DPR RI tak semestinya mengeluarkan kebijakan mengenai pemilu di Aceh tanpa meminta persetujuan DPRA dan Pemerintah Aceh, serta segala perubahan tentang Aceh mestinya melalui UUPA.

“Sebaiknya perubahan dan pencabutan pasal-pasal UUPA dilakukan dengan revisi UUPA itu sendiri, bukan dengan undang-undang yang bersifat nasional, karena hal tersebut dapat mengacaukan sistem tata hukum dan peraturan perundang-undangan. Dan kalau ada perubahan, harusnya konsultasi dulu dengan pertimbangan DPRA. Hal itu tidak bisa ditinggalkan karena itu norma, mandatorium dari Perjanjian Helsinki,” tegas Samsul pada sidang uji materi di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Gambir, Jakarta Pusat (24/10).

Samsul sebelumnya menegaskan bahwa kekhususan Aceh dijamin oleh konstitusi, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Perjanjian Helsinki yang menjadi dasar hukum perjanjian damai antara Pemerintah RI dengan rakyat Aceh. Perjanjian Helsinki juga mengamanatkan desentralisasi asimetris dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh, termasuk dalam penyelenggaraan pemilu.

“Penyelenggaraan pemilu termasuk ke dalam hal yang khusus itu, karenanya nama penyelenggara pemilu di Aceh berbeda dengan yang lainnya di Indonesia. Yang ikut pemilu di Aceh juga bukan hanya partai nasional, tetapi juga partai lokal,” ujar Samsul.

Pasal 57 berisi ketentuan bahwa jumlah anggota Komite Independen Pemilihan (KIP) Aceh adalah 7 orang dan anggota KIP kabupaten/kota di Aceh adalah 5 orang. Pasal 60, Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh dan kabupaten/kota dibentuk oleh panwas tingkat nasional dan bersifat ad hoc, dan Panwaslih berjumlah 5 orang yang diusulkan oleh DPRA/DPRK (DPR Kabupaten).