November 27, 2024

Sanksi Mutasi Petahana di Pilkada Boalemo

Perhelatan Pemilihan Kepala Daerah serentak gelombang kedua menghadirkan dinamika yang berbeda.  Maklum, Pilkada gelombang kedua ini mendapat aroma  perubahan dengan lahirnya revisi UU Pemilihan melalui UU No 10 tahun 2016.  Salah satu perubahan yang di muat dalam UU 10 tahun 2016 adalah mengenai larangan bagi calon petahana untuk melakukan mutasi aparatur sipil negara.

Tak tanggung-tanggung calon petahana yang melakukan mutasi enam bulan sebelum dan sesudah penetapan sebagai calon kepala daerah akan diganjar pembatalan sebagai calon kepala daerah.

Pemilihan kepala Daerah pertama yang menjadi “korban” penerapan aturan ini adalah pemilihan Bupati Kabupaten Boalemo. Petahana di coret oleh KPU Boalemo karena perintah Putusan Mahkamah Agung No 570 K/TUN/Pilkada/ 2016. Dalam putusan tersebut petahana terbukti melakukan mutasi ASN sehingga harus dibatalkan sebagai calon bupati dan wakil Bupati kabupaten Boalemo Tahun 2017. Putusan ini adalah putusan mahkamah agung pertama mengenai Pembatalan calon kepala daerah karena melakukan mutasi. Agar menjadi pelajaran bagi calon petahana kedepannya Mahkamah Agung menjadikannya sebagai Yurisprudensi.

Larangan Mutasi

Pijakan hukum norma larangan mutasi Bagi Calon petahana dapat ditemukan dalam Pasal 71 ayat 2 UU No 10 Tahun 2016 yang menyatakan: “Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.

Kemudian dalam penjelasan pasal a quo dirinci bahwa dalam hal terjadi kekosongan jabatan, maka “Gubernur, Bupati, dan Walikota menunjuk pejabat pelaksana tugas. Yang dimaksud dengan “penggantian” adalah hanya dibatasi untuk mutasi dalam jabatan.”

Ketetuan mutasi ini diperuntukkan bagi kepala daerah yang sedang menjabat (petahana) dan ingin kembali mencalonkan diri jadi kepala daerah untuk periode  berikutnya.  Pasal 71 ayat 2 UU No 10 tahun 2016 merupakan ketentuan yang bersifat Imperatif (memaksa). Uraian pasal dan penjelasaan ketentuan ini hanya membolehkan mutasi dalam 2 (dua)  hal yaitu atas izin menteri dalam negeri atau terjadi kekosongan jabatan.  Penggantian jabatan karena kekosongan jabatan syaratnya pejabat pengganti yang diangkat adalah pejabat sementara atau pelaksana tugas bukan pejabat definitif,  Sebab jika pejabat pengganti jabatan yang kosong itu diangkat secara permanen maka juga melanggar ketentuan Pasal 71 UU No 10 tahun 2016.

Sesungguhnya landasan teleologis dari pasal ini yaitu: (1) Agar calon selaku petahana tidak menggunakan wewenangnya sebagai pemilik kekuasaan untuk mengintimidasi, memberikan rasa takut, memberikan efek kecemasan bagi aparatur sipil negara (ASN) dalam melaksanakan hak pilihnya berdasarkan hati nuraninya; (2) Agar calon selaku petahana tidak menggunakan kewenangan mutasi dalam mencari suara untuk memilihnya dan atau melarang PNS untuk memilih calon lain; (3) Menciptakan stabilitas pemerintahan dalam lingkup Pemerintahan Daerah; (4) Mencegah itikad buruk bagi calon selaku petahana untuk menyalahgunakan kekuasaannya melakukan hal-hal yang menguntungkan baginya dalam pemilihan kepala daerah, poin ini biasanya disebut fungsi preventif.

Ganjaran atas perbuatan mutasi yang dilakukan oleh petahana adalah sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai calon kepala daerah sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 71 ayat 5 UU 10 Tahun 2016 yang bertitah “Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.”

Terang-menderang dinyatakan dalam pasal di atas bahwa yang memberikan sanksi atas perbuatan petahana melakukan mutasi adalah KPU. Sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai calon harus dimaknai menjadi dua hal: Pertama, bakal calon yang berstatus petahana dan telah melakukan mutasi sebelum penetapan calon maka yang bersangkutan dinyatakan tidak memenuhi syarat sehingga tidak ditetapkan sebagai calon, aturan teknis ini dipedomani Pasal 87 a ayat 1 sampai 3 PKPU No 9 Tahun 2016; Kedua, petahana yang telah ditetapkan oleh KPU sebagai calon dan melakukan mutasi sebelum atau saat menjadi calon maka yang bersangkutan dibatalkan sebagai calon (peserta Pilkada), aturan teknis mengenai hal ini juga dapat ditemui dalam Pasal 88 PKPU No 9 tahun 2016.

Surat Edaran Bawaslu RI No 0649

Perihal penyelesaian sengketa mengenai mutasi, Bawaslu RI telah mengeluarkan surat edaran No 0649/k.Bawaslu/PM.06.00/X/2016 yang pada pokoknya menyatakan bahwa calon petahana yang melakukan mutasi ASN tetapi dikemudian hari membatalkan atau mengembalikan ASN yang dimutasi dalam kedudukan yang semula maka calon petahana tersebut tidak perlu diberikan sanksi pembatalan sebagai calon.

Dalam perkara pemilihan Kabupaten Boalemo, Petahana tidak diberikan rekomendasi sanksi administrasi oleh Panwaslih Kabupaten Boalemo karena berpatokan pada surat edaran No 0649/k.Bawaslu/PM.06.00/X/2016. Demikian pula anggapan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar yang memenangkan calon Petahana dengan alasan ASN yang dimutasi telah dikembalikan pada kedudukan semula. Namun tak dinyana, Mahkamah Agung mengenyampingkan surat edaran No 0649/k.Bawaslu/PM.06.00/X/2016 dan menyatakan calon petahana telah melakukan pelanggaran seketika pada saat dilakukan mutasi, meskipun dikemudian hari ASN tersebut dikembalikan pada kedudukan semula maka petahana tetap dianggap melakukan pelanggaran dan harus diberikan sanksi administrasi.

Penulis sendiri berpendapat bahwa surat edaran No 0649/k.Bawaslu/PM.06.00/X/2016 cacat subsntansi dan cacat wewenang dengan argumentasi hukum, yaitu: Pertama, Surat Edaran BAWASLU RI No 0649/k.Bawaslu/PM.06.00/X/2016 tanggal 20 Oktober 2016 bukanlah ius operatum dari Pasal 71 UU No Tahun 2016 sehingga tidak ada dasar hukum bagi institusi manapun baik bagi lembaga Judisial maupun lembaga non judisial untuk dijadikan pedoman dalam menerapkan Pasal 71 UU No 10 Tahun 2016;

Kedua, Surat Edaran BAWASLU RI No 0649/k.Bawaslu/PM.06.00/X/2016 tanggal 20 Oktober 2016 juga bukanlah peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dimaksud oleh UU No 12 tahun 2011 tentang  Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,

Ketiga, Surat Edaran BAWASLU RI No 0649/k.Bawaslu/PM.06.00/X/2016 tanggal 20 Oktober 2016 telah membuat norma baru selain dari yang ditetapkan oleh Pasal 71 UU No 10 tahun 2016 . Apatah lagi surat edaran ini telah memberikan penafsiran yang keliru bahwa penggantian pejabat oleh Bupati lalu kemudian sudah dikembalikan jabatannya maka tidak termasuk perbuatan sebagaimana pasal 71 UU No Tahun 2016.

Disinilah letak kekeliruan surat edaran tersebut, sebab Undang-undang sendiri tidak pernah memberikan pengecualian terhadap penerapan sanksi administrasi bagi pelanggaran Pasal 71 UU No 10 tahun 2016. Ada penambahan norma yang bertentangan dengan Pasal 71 ayat 2 UU No. 10 tahun 2016 dan atau ada penafsiran yang keliru yang terdapat dalam Surat Edaran BAWASLU RI No 0649/k.Bawaslu/PM.06.00/X/2016 tanggal 20

Keempat, Surat Edaran BAWASLU RI No 0649/k.Bawaslu/PM.06.00/X/2016 tanggal 20 Oktober 2016 telah menghilangkan esensi atau subtansi Pasal 71 UU No 10 tahun 2016. Sebab calon petahana masih bisa melakukan mutasi dalam jangka beberapa waktu seperti 1 bulan atau bahkan lima bulan lalu pada akhirnya dikembalikan tetapi sama sekali tidak diberikan sanksi.  Kondisi ini tentu masih dapat disalahgunakan oleh petahana, oleh karenanya surat edaran No 0649/k.Bawaslu/PM.06.00/X/2016 cacat subtansi.

Final Effort

Putusan Mahkamah Agung 570 K/TUN/Pilkada/2016 yang membatalkan Calon Petahana Kabupaten Boalemo adalah Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Incracht Van Gewijsde). Tak ada lagi effort yang dapat dilakukan oleh calon petahana yang dibatalkan.  Bahkan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali juga tertutup bagi Calon Petahana yang dibatalkan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal  154 ayat 10 UU No 10 Tahun 2016

Begitu pun dengan upaya hukum derden verzet (perlawanan pihak ketiga) yang sama sekali tidak dikenal dalam UU Pemilihan, apatah lagi dalam UU peradilan tata usaha negara upaya tersebut telah dihapus melalui UU No. 9 tahun 2004 tentang perubahan UU Peradilan Tata Usaha Negara.

Demikian pula jika ada upaya melapor ke panwaslih Kabupaten Boalemo atas pembatalan tersebut merupakan upaya yang  melawan hukum . Pokok perkara ini sudah melalui proses yang berjenjang dari panwaslih hingga Mahkamah Agung sehingga jika ada yang mengajukan sengketa dari awal maka dianggap nebis in idem atau telah diadili dan menghasilkan keputusan Mahkamah Agung.

Demi kepastian hukum proses pemilihan maka prinsip litis finiri oportet (setiap perkara harus diakhiri) harus ditegakkan. Biarkan Putusan Mahkamah Agung 570 K/TUN/Pilkada/2016 menjadi pelajaran berharga bagi petahana di masa yang akan datang dan ditempat lain bahwa kekuasaan tak selamanya menjadi tameng untuk mempertahankan jabatan,  kadang kala dia penyebab berakhirnya jabatan. []

MUH. NURSAL NS
Penulis Buku Carut-marut Pilkada Serentak 2015,
Praktisi Hukum & Owner negarahukum.com