September 13, 2024

Sarat Rivalitas Parpol, Pembahasan Revisi UU Pemilu Alot

Keputusan untuk melanjutkan atau menunda revisi Undang-Undang Pemilu seyogianya tidak didasarkan pada kepentingan jangka pendek suatu kelompok tertentu. Revisi semestinya dilakukan secara menyeluruh untuk memperbaiki desain kelembagaan pemilu yang menguntungkan masyarakat.

Pengajar pada Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, mengatakan, keputusan untuk melanjutkan atau menunda pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu harus berdasarkan evaluasi menyeluruh untuk memperbaiki desain kelembagaan pemilu yang lebih baik.

”Pertimbangannya harus berdasarkan kepentingan jangka panjang untuk kepentingan rakyat. Jangan karena kepentingan jangka pendek demi melayani kelompok tertentu sehingga tidak mampu mendorong substansi pemilu sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,” kata Mada saat webinar bertajuk ”Gaduh Keserentakan Pemilu”, Kamis (4/2/2021).

Hadir pula sebagai pembicara Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan dan Ketua Network for Indonesia Democratic Society Dahlia Umar.

Menurut Mada, revisi UU Pemilu merupakan pertarungan awal partai politik (parpol) dalam merebut kekuasaan. Oleh sebab itu, selalu ada pertarungan antarparpol dalam memutuskan hal-hal yang akan diatur dalam UU tersebut sehingga selalu memunculkan dinamika. Tak terkecuali saat ini ketika revisi UU Pemilu sedang dalam proses pembahasan di DPR.

Hingga awal Februari 2021, ada tiga fraksi yang tiba-tiba menyatakan menolak revisi UU Pemilu, yakni Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Gerindra. Padahal, sebelumnya, mereka menyatakan mendukung revisi. Adapun fraksi yang mendukung RUU Pemilu adalah Golkar, Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Demokrat.

Dua fraksi lain, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), masih membuka kemungkinan revisi sepanjang revisi UU Pemilu tidak mengutak-atik keserentakan pilkada dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Djohermansyah mengatakan, masih terdapat kekurangan yang harus dibenahi dalam UU Pemilu dan Pilkada yang membuat harus ada revisi. Pembenahan perlu dilakukan karena ada evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum yang hanya bisa diselesaikan dengan revisi UU.

”Jika sudah tahu akan terjadi masalah, kenapa harus dibiarkan?” katanya.

Jika pemilu dan pilkada dilaksanakan serentak 2024, ia khawatir tugas yang diemban KPU terlalu berat. Kasus meninggalnya ratusan petugas pada Pemilu 2019 karena kelelahan dikhawatirkan berulang. Bahkan, pada tahun yang sama ada beberapa tahapan pemilu dan pilkada yang tumpang tindih serta berpotensi menambah beban penyelenggara, peserta, dan pemilih.

”Apakah KPU bisa memikul beban itu? KPU harus tegas dalam menyampaikan sikap, jangan tanggung-tanggung,” ucap Djohermansyah.

Menurut Dahlia, revisi harus dilakukan secara menyeluruh agar semua masalah bisa diantisipasi dan tidak selalu dilakukan revisi tiap pemilu.

Oleh sebab itu, diperlukan penelitian yang komprehensif dengan melibatkan banyak pihak agar bisa mencapai kesepakatan politik yang baik. Jika waktu yang tersedia dinilai pendek, revisi tidak perlu dipaksakan, yang akhirnya membuat produk UU tidak maksimal. (IQBAL BASYARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/02/04/pertarungan-parpol-membuat-alot-pembahasan-revisi-uu-pemilu/