November 15, 2024

Secuil Kisah yang Hilang dari Genealogi Pemantau Pemilu

Peneliti Perkumpulan Untuk Demokrasi (Perludem) Maharddika dengan konsep tulisan sejarah mengungkap kelahiran pemantau pemilu. Maharddhika sungguh memiliki referensi yang kuat saat menulis opini “Mengurut Genealogi Pemantau Pemilu Nonpartisan”. Sehingga, pembaca mendapatkan pencerahan yang utuh tentang pemantau pemilu. Peneliti Perludem ini mampu mengurut rentetan sejarah yang terlupakan oleh penggiat demokrasi. Jarang ada tulisan “sejarah” seperti itu.

Akan tetapi, ada catatan sejarah yang terlupakan dari tulisan Maharddhika. Entah ini disengaja atau mungkin ada maksud lain. Dalam kurun waktu 1990-2000, pemantau pemilu di Indonesia cukup banyak. Bahkan pemantau pemilu itu ada yang bergerak mulai dari pusat sampai ke desa-desa. Sebagai contoh: Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia dan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Dua lembaga pemantau pemilu pertama yang membangun konsep keadilan pemilu membutuhkan partisipasi aktif masyarakat dalam pemantauannya.

Akan tetapi, sejarah pendirian KIPP Indonesia dan JPPR memang tidak utuh. Bagaikan catatan oral, kisahnya bak pahlawan yang diturunkan secara turun-temurun. Buku sejarah pemantauan pemilu secara konfrehen pun belum ada. Meskipun demikian, Perludem sendiri telah menerbitkan beberapa buku terkait pemantauan pemilu di Indonesia. Akan tetapi, para pemantau pemilu itu belum menerbitkan sejarahnya sendiri. Entah kenapa, penulis yang juga kader KIPP Indonesia juga belum memiliki data dan informasi lengkap tentang sejarah pendirian organisasi pemantau pemilu tertua ini.

Sejarah Turun Temurun

Bila kita mengurut kisah-kisah terbentuknya keinginan memantau pemilu di Indonesia. Penulis mendengar penuturan salah satu Majelis Nasional KIPP Indonesia, Standarkiaa Latief. Menurutnya, ihwal pendirian KIPP Indonesia berasal dari kelompok aktivis yang menimba ilmu di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Tidak semuanya sih, ada beberapa kelompok lain yang ikut mendirikan KIPP Indonesia. Misal, kalangan budayawan yang dibawa oleh Goenawan Mohamad, aktivis pembaharu seperti Nurkholis Majid (Cak Nur), juga perwakilan organisasi mahasiswa dan Pemuda.

Pentolan aktivis itu tidak hanya mendirikan KIPP Indonesia. Mereka membaginya ke beberapa organisasi lain, salah satunya Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) yang dikomandoi oleh Hendardi. Khusus KIPP Indonesia, awalnya dipimpin oleh Goenawan Mohamad. Tetapi, ketua KIPP Indonesia pertama dan satu-satunya ini hanya bertahan beberapa bulan. Setelah itu, musyawarah KIPP Indonesia menyepakati pimpinan organisasi diberi nama Sekretaris Jenderal. Dasarnya, karena banyak pihak yang ikut serta dalam mendirikan KIPP Indonesia. Sehingga, diibaratkan Perkumpulan Bangsa-Bangsa. Jadi, cukup ada Sekjen. Maka, jadilah Goenawan Mohammad sebagai satu-satunya Ketua KIPP Indonesia sepanjang sejarah.

Pada masa awal penataan kelembagaan KIPP Indonesia, Sekjen Pertama dijabat oleh Mulyana Wira Kusumah. Salah satu penerima gelar pahlawan demokrasi pada masa reformasi. Sejak masa Mulyana sampai sekarang, tokoh sentral KIPP Indonesia ya MWK. Akan tetapi, belum ada juga catatan sejarah lengkap yang bisa dijadikan referensi valid untuk mengungkap gerakan pembentukan pemantau pemilu dan perlawanan terhadap pemerintahan orde baru. Informasi terakhir, Kepala Prodi Hukum Universitas Nahdhatul Ulama Indonesia (Unusia) Muhtar Said sudah meneliti cukup lama jejak pemikiran dan perjuangan Mulyana. Hanya saja, kita masih menunggu kapan peluncuran buku yang akan menerangkan sejarah sang pemantau pemilu tersebut.

Selain Standarkiaa Latief, ada juga pernyataan Rocky Gerung pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC) yang menerangkan kisah pendirian KIPP Indonesia. Rocky mengatakan, pemantau pemilu itu mulai digerakkan saat para aktivis melihat kekosongan pengawasan selama pemilu yang berlangsung pada masa Orde Baru. Demi memenuhi pemilu yang jujur. Pemantau pemilu, menurut Rocky hadir sebagai kekuatan masyarakat sipil yang khusus memperjuangkan regulasi, teknis penyelenggaraan dan hasil pemilu yang bersih, jujur dan adil.

Buku dan Sekolah Demokrasi

Untuk sementara, baik Maharddhika secara pribadi, maupun Perludem, sudah berjuang dalam menghimpun kisah-kisah pemantauan pemilu. Upaya ini terlihat jelas dari penerbitan buku-buku bertema partisipasi masyarakat. Tidak hanya sampai disitu, perkembangan informasi pemantauan pemilu internasional juga masuk dalam pantauan, perhatian, serta penelitian Perludem. Sehingga, puzzle-puzzle sejarah lembaga pemantau pemilu akan tetap ada. Perjuangan Perludem ini bagaikan penegasan tentang keabadian seseorang terjaga dari tulisannya.

Bukan tidak mungkin, ‘Genealogi Pemantauan Pemilu Indonesia’ menjadi satu ikhtiar dunia akhirat Perludem. Dengan bank data dan informasi yang ada, Perludem sudah layak mendapatkan amanah ‘penjaga literasi dan sejarah kepemiluan Indonesia’. Hanya saja, kita masih kurang dalam penulisan kisah-kisah para prakarsa pemantau pemilu. Selagi mereka masih hidup, ada baiknya semua pemantau pemilu pada masa orde baru dipindahkan, dari sosok manusia menjadi tulisan yang sudah biasa diterbitkan oleh Perludem. Kenapa? Karena Perludem memang mampu melakukannya.

Selain itu, kondisi demokrasi global yang terpaksa istirahat akibat Covid-19 membuka ruang baru pendidikan kepemiluan. Hampir setiap hari, diskusi, musyawarah, rapat, dan berbagai aktivitas pertemuan berubah wujud, dari pertemuan fisik di satu ruangan ke pertemuan daring menggunakan aplikasi. Secara tidak langsung, Normal Baru yang akan terbentuk akibat Covid-19 membuka forum pendidikan pemilu kekinian. Misalnya, Perludem menyelenggaran Sekolah Demokrasi atau sebutan lain dengan aplikasi google meet, jetsi atau zoom.

Sekolah Demokrasi ini adalah ruang pendidikan pemilu secara daring. Bisa saja live sebagai biasanya. Atau rekaman acara yang dijadikan konten Youtube. Nah, lagi-lagi, Perludem sudah sangat biasa melaksanakan dua kegiatan tersebut. Mulai dari penerbitan buku, pencatatan data dan informasi di Rumah Pemilu, juga konten-konten video di YouTube. Tujuan pendidikan pemilu daring ini adalah mengenalkan secara utuh sejarah pemilu, termasuk pemantau pemilu. Atau dengan bahasa lain, membantu para pelaku sejarah mendapatkan ruang untuk mengungkapkan kisah perjuangan mereka yang tidak akan hilang selama Youtube itu ada.

Nah, sebagai tulisan penutup, penulis memang mengakui tidak mengutip referensi siapapun. Karena penulis tahu bahwa Perludem memiliki referensi pengawasan partisipatif tersebut. Meskipun sudah banyak penelitian, opini, jurnal, dan buku yang menulis sejarah pemantauan pemilu. Selalu muncul keresahan, kapan penyusunan sejarah lengkap terwujud. Semoga para pemantau pemilu di berbagai lembaga yang masih ada memiliki waktu untuk bekerja sama dengan Perludem. Ayo ngopi dan menulis di HP, karena tulisan ringan ini tidak diketik menggunakan leptop. Salam hormat kepada peneliti Perludem. []

ADRIAN HABIBI

Aktif di Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia.