Konten negatif di dunia maya, termasuk hoaks dan ujaran kebencian, naik signifikan. Semua pihak patut mewaspadai fenomena ini.
JAKARTA, KOMPAS -Penyelenggaraan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 berpotensi tercederai apabila konten yang mengandung berita bohong atau hoaks dan ujaran kebencian beredar dengan bebas di media sosial. Untuk itu, keterlibatan semua pihak, baik penyedia platform media sosial, masyarakat, maupun penyelenggara pemilihan, untuk menangkal hoaks dan ujaran kebencian sangat penting.
Hal ini karena dalam dua tahun terakhir, penyebaran hoaks meningkat secara drastis. Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), ada peningkatan hampir 900 persen jumlah pengaduan masyarakat terkait konten di situs, akun media sosial, aplikasi telepon genggam, dan perangkat lunak.
Selain itu, ada 528.396 konten negatif yang ditindaklanjuti oleh penyedia platform media sosial pada 2017. Platform media sosial itu antara lain Twitter, Facebook, Instagram, Google+, Youtube, Telegram, Line, dan BBM. Penanganan konten negatif pada 2017 meningkat sekitar 9.000 persen dibandingkan dengan 2016.
Saat penandatanganan kerja sama antara Kemkominfo, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan sembilan penyedia platform media sosial, Rabu (31/1), di Jakarta Pusat, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, kepercayaan publik sangat rentan dipengaruhi oleh informasi yang diperoleh dari media sosial. Dampak media sosial terhadap perilaku masyarakat sangat cepat dan luas.
Selain Arief, hadir pula dalam penandatanganan kerja sama penanganan hoaks dan ujaran kebencian itu Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Ketua Bawaslu Abhan, serta perwakilan dari sembilan penyedia platform media sosial. Abhan mengatakan, mekanisme laporan mengenai konten hoaks terbagi dalam dua cara, yaitu melalui masyarakat atau temuan Bawaslu.
”Kami (Bawaslu) mengualifikasi apakah konten itu melanggar peraturan. Tim dari peserta pemilu atau pilkada bisa menggunakan media sosial sebagai media kampanye. Penggunaan itu dibatasi oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota; UU No 7/2017 tentang Pemilu; serta peraturan KPU dan peraturan Bawaslu. Apabila ada pelanggaran (dalam penggunaan media sosial), peserta ditegur dan tidak bisa menggunakan media sosial lagi untuk kampanye. Tidak ada sanksi diskualifikasi terkait pelanggaran ini,” tutur Abhan.
Belum optimal
Selama ini, penanganan konten hoaks dan ujaran kebencian belum dilakukan secara optimal oleh perusahaan media sosial. Pengguna media sosial bisa mengunggah berbagai macam konten, baik terkait isu SARA, fitnah tentang seseorang, maupun informasi bohong lainnya. Sebagian besar penindakan melawan informasi itu sangat bergantung pada laporan atau keluhan dari masyarakat.
”Semua pengguna (media sosial) bisa membuat dan menyebarkan (sharing) kontennya sendiri. Mereka (pengguna) tidak dicek satu per satu,” kata Manajer Umum BBM Indonesia Anondo Wicaksono.
Keterbatasan dalam mengawasi sirkulasi konten yang tidak benar juga dialami oleh Kemkominfo. Hal tersebut terutama terjadi dalam platform yang bersifat pribadi. ”Kita tidak bisa masuk dalam percakapan pribadi, seperti dalam WhatsApp. Dalam kasus ini, kita perlu laporan dari masyarakat untuk menindaklanjuti penyebaran konten hoaks,” ujar Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan.
Kepala Subdirektorat Penyidikan dan Penindakan Direktorat Jenderal Aplikasi dan Informatika Kemkominfo Teguh Arifiyadi menambahkan, luasnya penyebaran konten hoaks tidak bisa dipetakan, apalagi jika berada dalam platform yang bersifat privat. Indikator yang digunakan Kemkominfo untuk melihat besarnya penyebaran konten itu adalah laporan masyarakat. Laporan dari masyarakat itu berasal dari situs aduankonten.id atau pesan elektronik yang dikirim ke aduankonten@mail.kominfo.go.id.
Pada Pilkada 2018, Teguh memprediksi, daerah yang akan mendapat perhatian besar di media sosial adalah Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menekankan pentingnya kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam melawan penyebaran berita hoaks. ”Kalau hanya menerima (konten hoaks) dan mendiamkan, tidak akan ada apa-apa. Kalau terima (konten hoaks) dan mau melaporkannya, baru akan ada dampaknya,” ujar Titi. (DD07)
Dikliping dari harian Kompas edisi 1 Februari 2018 di halaman 5 dengan judul artikel “Selama 2017, Aduan Naik 900 Persen”.