Pada rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar pada Senin (2/7) di ruang rapat Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyampaikan bahwa KPU telah mengajukan usulan rencana kerja tahun 2019 kepada Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Menteri Keuangan (Menkeu) sebesar 30,38 triliun rupiah. Anggaran ini ditujukan untuk menyelenggarakan pemilihan legislatif (pileg), dan pemilihan presiden (pilpres) putaran satu dan dua, serta kegiatan non tahapan pemilu.
Ketua KPU RI, Arief Budiman mengatakan, besarnya biaya Pemilu Serentak 2019 dibandingkan dengan Pemilu 2014 disebabkan oleh naiknya besaran honor badan penyelenggara ad hoc sesuai dengan Surat Pemberitahuan Menteri Keuangan No.S118/2016 perihal penetapan standar biaya operasi tahapan pemilu anggota DPR, DPR Daerah (DRPD), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Pilpres. Biaya belanja penyelenggara ad hoc berkisar antara 48 persen sampai 114 persen anggaran.
Selain itu, besarnya biaya Pemilu 2019 juga disebabkan oleh pengurangan pemilih per Tempat Pemungutan Suara (TPS), yakni dari 500 menjadi 300 pemilih, sehingga berdampak pada penambahan jumlah TPS dan penambahan anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Dana 30,38 triliun rupiah juga dialokasikan untuk TPS-TPS di wilayah administrasi baru dan pembiayaan alat peraga kampanye (APK) peserta pemilu.
Dari total kebutuhan anggaran tersebut, berdasarkan Surat Bersama Bappenas dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), KPU hanya memperoleh Pagu Indikatif 2019 sebesar 15,67 triliun rupiah. Dengan demikian, terdapat selisih 14,71 triliun rupiah.
“Usulan anggaran yang diusulkan oleh KPU, apabila dibandingkan dengan Pagu Indikatif yang diterima KPU masih terdapat selisih 14 triliun 707 miliar. Dari pagu indikatif yang diberikan Pemerintah, itu hanya untuk pelaksanaan pemilu legislatif dan pilpres putaran pertama. Sedangkan, untuk pilpres putaran kedua belum diantisipasi anggarannya,” jelas Arief.
Anggaran yang telah disediakan untuk KPU akan dialokasikan untuk tiga hal di antaranya yakni, pembiayaan badan penyelenggara ad hoc sebesar 8,7 triliun rupiah atau 65 persen, belanja logistik 1,1 triliun rupiah atau 8 persen, dan kampanye 903 miliar rupiah atau 7 persen.
Arief menegaskan kepada DPR bahwa KPU masih membutuhkan anggaran tambahan sebesar 13,75 triliun rupiah. Anggaran tambahan ditujukan untuk membiayai pileg dan pilpres putaran pertama sebesar 3,14 triliun rupiah dan pilpres putaran kedua 10,61 triliun rupiah.
Dalam rincian tambahan anggaran disebutkan bahwa anggaran akan digunakan untuk membiayai tambahan honor dan operasional PPS dan PPK selama enam bulan, pengadaan distribusi logistik Pemilu Anggota DPR, DPRD, DPD, dan Pilpres, pembiayaan audit dana kampanye, APK peserta pemilu, tenaga tambahan PPK, pemilu di luar negeri, dan penambahan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) luar negeri.
“Audit dana kampanye dilaksanakan oleh KAP (kantor akuntan publik). Satu KAP untuk dua partai politiK, dikalikan dengan 549 charter. Ada lagi tambahan tenaga pendukung PPK dua orang. Lalu KPPS LN (luar negeri) bertambah dari 908 orang menjadi 1200,” ujar Arief.
Adapun perubahan pada usulan tambahan anggaran yakni, penundaan pembangunan gedung kantor KPU RI dan perbaikan kantor KPU provinsi dan kabupaten/kota. Penundaan disebabkan oleh penurunan anggaran yang cukup signifikan.
“Ditundanya program rehabilitasi kantor KPU tidak akan mempengaruhi program prioritas nasional dan lokal. Itu sudah menjadi kesepakatan antara KPU, Bappenas, dan Kemenkeu,” tutup Arief.