Konsultan peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fitriani, mengatakan bahwa semua negara di Asia Tenggara mengalami fenomena disinformasi dengan berbagai tingkatannya. Pada umumnya, disinformasi di kawasan ini digunakan untuk membentuk narasi politik, mempertajam polarisasi politik, memengaruhi proses pemilu, dan mendiskreditkan kelompok tertentu. Di berbagai negara, disinformasi berkelindan dengan ujaran kebencian yang menarget kelompok-kelompok rentan. Hanya di Brunei Darussalam, sebuah negara dengan tingkat kemajemukan politik yang sangat terbatas, disinformasi politik tidak mengemuka.
“Dalam beberapa tahun terakhir, kawasan ini telah menyaksikan tren disinformasi, manipulasi narasi, dan kampanye yang ditargetkan, yang ditujukan untuk isu-isu domestik dan internasional. Untuk target domestik, disinformasi telah menimbulkan tantangan yang signifikan di setiap negara Asia Tenggara karena konteks politik, sosial, dan budaya yang beragam,” tutur Fitriani pada acara “Launch of Study Report Regional and Cross-Border Responses Towards Disinformation in Southeast Asia”, Kamis (28/3), di Jakarta.
Di Myanmar, disinformasi dan hasutan kebencian berdampak pada munculnya gejolak politik dan kekerasan fisik terhadap kelompok Rohingya. Meskipun kudeta tahun 2021 oleh junta militer telah membatasi akses internet, namun disinformasi terus mengobarkan ketegangan etnis dan agama.
Sementara itu di Kamboja, disinformasi digunakan sebagai alat strategis dalam kampanye pemilu. Platform media sosial digunakan untuk membungkam lawan politik dan mengendalikan informasi, dengan cara melabeli berita oposisi sebagai propaganda. Narasi palsu juga digunakan untuk mempertahankan dominasi politik.
Laos juga mengalami masalah serupa seperti Kamboja. Disinformasi sering kali dikaitkan dengan upaya penindasan terhadap oposisi. Disinformasi didorong untuk dilaporkan kepada pihak kepolisian, dan fenomena ini justru dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengontrol platform digital.
Di Indonesia, pasal-pasal Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur sanksi pidana atas pencemaran nama baik dan ujaran kebencian digunakan untuk menekan opini para pihak yang kritis terhadap pemerintah. Narasi disinformasi politik yang beredar berkisar pada isu anti-komunisme, anti-Tionghoa, disinformasi yang bertujuan merusak kredibilitas proses, penyelenggara, dan hasil pemilu, serta ditemukan pula disinformasi yang menyerang kelompok disabilitas mental, dan khusus pada Pemilu 2024, pengungsi Rohingya.
“Pada 2021, Presiden Laos Thongloun Sisoulith menyatakan keprihatinannya tentang disinformasi. Presiden mendorong masyarakat untuk melaporkan konten berbahaya kepada polisi, dan tidak menyebarluaskannya di media sosial,” ucap Fitria. []
Lanjut baca bagian dua.