August 8, 2024

Semua Negara di Asia Tenggara Menghadapi Disinformasi Politik (2)

Kasus Malaysia, disinformasi dipropaganda untuk mengeksploitasi persaingan politik dan meningkatkan ketegangan rasial, terutama antara komunitas Muslim Melayu yang merupakan mayoritas dengan kelompok-kelompok minoritas non-Melayu. Pasukan siber profesional juga teramati memainkan isu agama, sehingga berdampak pada disintegrasi sosial. Lebih dari itu, pengungsi Rohingya juga menjadi target disinformasi dan hasutan kebencian yang memanfaatkan isu kontraksi ekonomi.

Di Filipina, fenomena kampanye disinformasi yang relatif lebih terorganisir dapat dilihat. Konten-konten disinformasi menjadi strategi kampanye pemilu yang didesain oleh konsultan politik dan tim ahli strategi utama yang mencakup influencer atau pemengaruh media sosial, akun parodi, akun budaya pop, dan akun palsu yang menyusup ke dalam grup-grup tertutup Facebook untuk melakukan serangan terhadap lawan-lawan politik. Narasi disinformasi berputar pada isu perilaku buruk politisi elit, revisionisme sejarah negara, dan sentimen anti-Tionghoa.

Sama seperti di Indonesia, Malaysia dan Filipina, fenomena disinformasi di Thailand juga berkontribusi terhadap polarisasi politik, terutama pada musim pemilu. Narasi disinformasi di negara ini sering kali berfokus pada oposisi nasionalis yang menentang kerajaan, dan memicu ketidakharmonisan melalui sentimen sosial ekonomi. Masalah disinformasi yang dikombinasikan dengan ujaran kebencian terjadi di Thailand Selatan, di mana ujaran kebencian digunakan untuk melawan minoritas Muslim Melayu.

Di level dan isu yang berbeda, disinformasi Singapura berkutat seputar isu-isu global. Sasarannya yakni, campur tangan asing terhadap pemerintah Singapura. Narasi ditujukan untuk memengaruhi sentimen publik terhadap isu-isu global.

“Hal ini menjadi masuk akal karena memang Singapura dianggap sebagai pusat regional untuk bisnis dan organisasi internasional, dan selama ini sudah memainkan peran penting dalam urusan internasional,” tukas Fitria.

Di Timor Leste, masalah disinformasi tidak separah seperti negara-negara Asia Tenggara lainnya. Namun, persoalan yang dihadapi ialah belum dikenalinya bahasa lokal Tetum yang digunakan oleh masyarakat Timor Leste oleh algoritma perusahaan media sosial. Hal ini menyebabkan sulitnya moderasi konten dilakukan secara tersistematis oleh platform.

Dari berbagai fenomena disinformasi yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara, masyarakat sipil menghadapi tantangan lain. Upaya pemerintah memberantas disinformasi kerap memberangus kebebasan berekspresi. Ditemukan berbagai kasus pemerintah mengkriminalisasi pihak-pihak yang diduga menyebarkan disinformasi. []