Terdapat dua perkara dugaan pelanggaran administrasi dengan terlapor Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diajukan oleh Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Satu, perkara No.001 yang diajukan oleh Hendrawarman dan Imam Ansori Saleh. Dua, perkara No.005 dengan pelapor Haris Sudarno dan Samuel Samson.
Dalam dua kali sidang di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), terungkap fakta bahwa telah terjadi dualisme kepemimpinan dalam tubuh PKPI, yakni PKPI pimpinan Hendropriyono dan PKPI pimpinan Hari Sudarno. Pada saat pendaftaran, KPU hanya menerima pendaftaran PKPI pimpinan Hendropriyono.
“Sepanjang pendaftaran peserta pemilu, yang bisa mendaftar adalah partai politik yang memperoleh SK (Surat Keterangan) dari Kemenkumhan (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) sebagai partai politik berbadan hukum. Saat kami lihat SK terakhir PKPI, keterangannya menuliskan Ketua Umum Hendropriyono dan Sekretaris Jenderal Imam Anshori Saleh,” terang Anggota KPU RI divisi hukum, Hasyim Asy’ari, di kantor Bawaslu RI, Gondangdia, Jakarta Pusat (1/11).
Hasyim sempat mempertanyakan keputusan Bawaslu yang menerima dua gugatan sengketa dari PKPI. Pasalnya, dalam pandangan KPU, satu partai politik merupakan satu lembaga.
“Dengan adanya tujuh perkara, dimana ada dua PKPI, penjelasan ini bagaimana? Bagaimana kedua pihak ini diakomodir dalam sidang ke depan?” tukas Hasyim.
Ketua Bawaslu RI, Abhan, menjawab bahwa Bawaslu menerima dan memproses gugatan dari pihak mana pun sepanjang pelapor memenuhi legal standing. Masalah PKPI akan dipertimbangkan dalam putusan akhir.
Isi laporan PKPI pimpinan Hendropriyono
Pelapor, Hendrawarman, menjabarkan bahwa PKPI telah menjadi peserta Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014. Pada Pemilu 2014, PKPI memperoleh suara nasional sebesar 1.143.094 suara dan memiliki 407 kader yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di seluruh Indonesia.
Hendra melaporkan KPU atas tiga pokok laporan. Satu, KPU tak memberikan tanda terima pendaftaran kepada PKPI. Dua, kewajiban mengisi data persyaratan melalui Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) tak diperintahkan oleh Undang-Undang (UU) Pemilu, melainkan oleh Peraturan KPU (PKPU) No.11/2017. Tiga, sosialisasi Sipol tak cukup waktu.
“Pada 16 Oktober, PKPI melakukan pendaftaran dengan menyerahkan dokumen persyaratan yang diminta. Akan tetapi, terlapor tidak memberikan tanda terima pendaftaran kepada PKPI. Tanggal 21 Oktober, PKPI menerima surat dari KPU yang menyatakan bahwa kami tidak memenuhi dokumen persyaratan. Kalau diizinkan, kami akan menghadirkan dokumen tersebut dalam sidang pemeriksaan ini,” kata Hendra pada sidang pemeriksaan di kantor Bawaslu (2/11).
Isi laporan PKPI pimpinan Hari Sudarno (HS)
Melalui kuasa hukumnya, Abdul Lukman Hakim, PKPI pimpinan HS menggugat KPU karena menerima pendaftaran PKPI pimpinan Hendropriyono yang mengantongi SK Kemenkumham No.M-HH.01.AH.11.01, yang telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN). KPU, menurut PKPI HS, tak menghargai putusan PTUN dan tak memberikan kepastian hukum.
“Terakhir, kami dapat surat dari KPU yang menyatakan bahwa KPU akan meminta klarifikasi kepada Kemenkumhan terkait SK PKPI. Tapi, hingga pendaftaran berakhir, kami tidak mendapatkan jawaban atas klarifikasi itu,” ujar Abdul.
Selain itu, PKPI HS juga menilai KPU melakukan pelanggaran atas pewajiban Sipol. PKPI meminta kepada Bawaslu untuk memerintahkan KPU agar memberikan akses pendaftaran kepada PKPI HS selama 14 hari.
Salahkah Langkah KPU?
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, berpendapat bahwa SK Kemenkumham No.M-HH.01.AH.11.01 semestinya dianggap tak ada, sebab telah dibatalkan oleh PTUN. KPU, jika hendak berpijak pada konsep peradilan, harus menghormati putusan tersebut.
“KPU harus lebih jeli melihat posisi hukum dua kubu. Namun, benar atau tidaknya tindakan KPU yang menerima pendaftaran PKPI pimpinan Hendropriyono, kita serahkan saja pada mekanisme di Bawaslu. Apakah itu berkaitan dengan pelanggaran proses,” jelas Feri saat dimintai keterangan (2/11).
Feri kemudian mengatakan, aturan hukum dan putusan peradilan menjadi bukti penting bagi Bawaslu untuk menerima gugatan dari salah satu kubu partai. Bawaslu mesti berhati-hati.
“Hati-hati, Bawaslu! Jangan sampai konflik sengketa internal partai menjadi objek di Bawaslu,” tukas Feri.