Maret 28, 2024
iden

Sengkarut Seleksi Penyelenggara Pemilu

Sampai dengan hari ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak kunjung melakukan proses pemilihan calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) periode 2017-2022.  Padahal baik KPU maupun Bawaslu yang ada sekarang akan berakhir jabatannya 12 April 2017.

Presiden Joko Widodo sejatinya telah membentuk Tim Seleksi (Timsel) beranggotakan 11 orang yang diketuai Saldi Isra, guru besar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas. Timsel sudah merampungkan seluruh tahapan seleksi yang berjalan sejak 19 September 2016 lalu. Tahapan seleksi diakhiri dengan penyerahan 14 nama calon anggota KPU dan 10 nama calon anggota Bawaslu kepada Presiden pada 1 Februari 2017. Nama-nama ke-24 calon penyelenggara pemilu tingkat nasional itu sudah pula dikirim Presiden kepada DPR dan diterima resmi per 21 Februari 2017.

Pasal 15 dan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum secara tegas memerintahkan DPR melakukan pemilihan calon anggota KPU dan Bawaslu paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak diterimanya berkas calon dari Presiden. DPR diperintahkan untuk memilih calon anggota KPU dan Bawaslu berdasarkan hasil uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Kenyataannya, jangankan menentukan nama-nama anggota KPU dan Bawaslu terpilih, jadwal uji kelayakan dan kepatutan saja belum kunjung ada kejelasan.

Tarik ulur

Lantas, apa yang menyebabkan DPR belum melakukan proses pemilihan calon anggota KPU dan Bawaslu? Ada beberapa hal yang jadi penyebab. Alasan awal Komisi II adalah belum menerima surat resmi penugasan dari Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Namun akhirnya Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali menyatakan pada Selasa (22/3), telah mendapat pemberitahuan tertulis dan lisan dari Bamus yang menugaskan Komisi II untuk memproses pemilihan calon anggota KPU dan Bawaslu.

Akan tetapi jika ditelusuri lebih lanjut, penolakan ini sudah muncul sejak akhir Desember 2016 ketika Timsel mengumumkan nama-nama calon yang lolos seleksi tahap kedua, yakni 36 orang untuk KPU dan 22 orang untuk Bawaslu. Alasan penolakan dikarenakan komposisi Timsel yang dinilai sarat kepentingan karena ada yang merangkap sebagai anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, menjabat komisaris di BUMN, dan ada yang masih berstatus pejabat (PNS) aktif. Suara meminta penundaan seleksi makin menguat pada awal Februari saat Presiden menerima nama-nama akhir dari Timsel.

Selain itu, alasan yang juga jadi “argumen” tarik ulur seleksi adalah mempertimbangkan pembahasan RUU Pemilu yang saat ini sedang berlangsung. Sebab, dalam pembahasan berkembang usulan membuat beberapa pengaturan yang berbeda dengan ketentuan yang ada dalam UU No. 11/2015 yang menjadi dasar hukum dalam proses seleksi kali ini. Meliputi, pertama, jumlah anggota KPU dan Bawaslu yang semula 7 dan 5 orang diusulkan ditambah sampai 11 (KPU) dan 9 orang (Bawaslu). Kedua, syarat minimal usia yang semula sekurangnya 35 tahun, oleh Pemerintah diusulkan naik menjadi 45 tahun. Ketiga, wacana yang paling kontroversial yaitu anggota KPU diisi perwakilan partai politik seperti halnya Federal Electoral Committee  Jerman dan KPU Indonesia saat Pemilu 1999.

Berdasarkan pertimbangan itu, Komisi II beranggapan kalau dilaksanakan berdasar UU lama bisa menimbulkan masalah, karena RUU Pemilu ini dibuat bertujuan untuk digunakan Pemilu 2019. Oleh sebab itu harus dilakukan konsultasi terlebih dahulu dengan Pemerintah guna membuat terang benderang soal ini. Konsekwensinya proses pemilhan calon anggota KPU dan Bawaslu belum bisa dilakukan.

Lagipula, menurut beberapa anggota Pansus Pemilu, proses seleksi tertunda karena menunggu undang-undang penyelenggara pemilu yang baru, bukan kali ini saja. Proses seleksi penyelenggara pemilu 2009 yang semestinya sudah selesai Maret 2006, ditunda sampai disahkannya UU Penyelenggara Pemilu baru, UU No. 22/2007, pada April 2007. Akibatnya, anggota KPU Pemilu 2009 baru terbentuk Oktober 2007 dan Bawaslu April 2008.

Belakangan muncul pula lontara dari beberapa anggota DPR, agar Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) guna memperpanjang masa jabatan anggota KPU dan Bawaslu periode 2012-2017 untuk mengantisipasi kekosongan hukum akibat tidak dilakukannya pemilihan calon angota KPU dan Bawaslu tepat waktu. Dalih mereka ada preseden sebelumnya ketika anggota KPU periode 2001-2006 diperpanjang hingga Oktober 2007.

Namun, ada yang mungkin terlupa soal ini, bahwa ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2006 yang memperpanjang keanggotaan penyelenggara pemilu 2004 sampai disahkankannya UU Penyelenggara Pemilu yang baru, hal itu dilakukan ketika proses seleksi penyelenggara pemilu yang baru sama sekali belum dilakukan. Semua pihak, termasuk Presiden, sepakat untuk menunda proses seleksi sampai ada kejelasan kerangka hukum yang baru.

Berbeda dengan saat ini. Presiden Joko Widodo yang berwenang membentuk Timsel calon penyelenggara pemilu sebagamana diatur dalam UU No. 15/2011, menggunakan kewenangannya tersebut dan tetap melanjutkan proses seleksi. Padahal ia paham betul di saat yang sama sedang berlangsung pembahasan RUU Pemilu. Apalagi dalam hal ini Pemerintah lah yang jadi pihak pengusul RUU dimaksud.

Bahaya penundaan

Proses seleksi yang “tersandera” ini amat berbahaya. Ada resiko besar yang menghadang jika penyelenggara pemilu tak terbentuk hingga akhir masa jabatan KPU dan Bawaslu. Apalagi kita sedang berhadapan dengan berbagai agenda politik yang maha penting bagi konsolidasi demokrasi Indonesia. Antara lain, pemilihan kepala daerah (pilkada) putaran kedua DKI Jakarta yang akan berlangsung 19 April 2017; pilkada serentak gelombang ketiga pada Juni 2018 (termasuk di dalamnya pemilihan gubernur di 17 provinsi, yang tahapannya akan dimulai Agustus 2017; serta pemilu serentak legislatif dan presiden pada 2019 yang tahapannya diperkirakan akan mulai Juni 2017.

Ada beberapa dampak jika penyelenggara pemilu terlambat dibentuk. Pertama, akan mengganggu persiapan dan pelaksanaan tahapan pilkada serentak 2018 juga pemilu serentak 2019. Sebab KPU dan Bawaslu adalah regulator sekaligus penanggung jawab akhir penyelenggaraan pilkada/pemilu. Merekalah yang bertanggung jawab atas pembuatan kebijakan penyelenggaraan pilkada/pemilu. Meski ada Sekretariat Jenderal, tetapi jajaran Sekjen sebatas penunjang atau supporting staff atas kebijakan yang dibuat anggota KPU dan Bawaslu. Mereka tidak boleh mengambil keputusan strategis apalagi membuat kebijakan dan pengaturan pemilihan.

Kedua, ketidakpastian hukum pelaksanaan tahapan pilkada 2018 dan pemilu 2019, khususnya bagi partai politik dan peserta pemilihan. Karena baik pilkada 2018 maupun pemilu 2019 memerlukan berbagai peraturan teknis sebagai dasar pelaksanaan untuk melaksanakan tahapan pemilihan. Peraturan lama tidak bisa jadi rujukan di saat aturan main induknya telah mengalami perubahan norma dan nomenklatur. Lalu, partai politik dan peserta pemilihan harus menyandarkan diri pada aturan main yang mana?

Ketiga, anggota KPU dan Bawaslu yang baru akan tergagap-gagap melaksanakan tahapan pemilihan, sebab tak cukup waktu untuk beradaptasi dengan berbagai aturan main, ketentuan, dan persoalan teknis di lapangan. Ini bisa berakibat kegaduhan di lapangan. Misalnya pengalaman Pemilu 2009, akibat keterlambatan pembentukan penyelenggara menyebabkan kekacauan dalam verifikasi parpol dan pemutakhiran data pemilih. Gugatan dan sengketa hukum bertubi-buti menimpa KPU 2009. Bahkan persoalan daftar pemilih berujung gugatan hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi oleh salah satu pasangan calon presiden. Apakah ini mau kita ulangi?

Dan Keempat, ini akan jadi citra sangat buruk bagi perjalanan pemilu dan demokrasi Indonesia di mata dunia internasional. Indonesia sebagai raksasa demokrasi yang berhasil menyelenggarakan pemilu satu hari terbesar di dunia secara relatif jujur, adil, dan demokratis harus melangkah mundur karena terlambat membentuk penyelenggara pemilu disebabkan hal-hal yang tak jelas. Sungguh ini bukan pilihan.

Mestinya berbagai konsekwensi buruk itu tak perlu kita alami. Karena sejatinya tak ada alasan kuat menunda proses seleksi. Lagi-lagi UU No. 15/2011 tegas memerintahkan pemilihan harus dilakukan DPR paling lambat 30 hari kerja sejak menerima nama-nama dari Presiden. Tentu DPR tak mau melanggar ketentuan yang terang benderang ini. Sementara Perpu tak bisa jadi pilihan sebab tak ada hal ikhwal kegentingan memaksa sebagai dasar Presiden menerbitkan Perpu. Semua proses seleksi sudah berjalan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.

Sengkarut seleksi mestinya tak perlu terjadi, kalau semua pihak punya itikad baik menjaga kualitas dan mutu demokrasi. Untuk itu, kita masih menyisakan kepercayaan bahwa para wakil rakyat di DPR akan taat aturan dan menjaga amanahnya. Semoga. []

TITI ANGGRAINI

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)