Drama Sipol bermula dari beratnya syarat partai untuk menjadi peserta pemilu.
Saat pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu lalu, partai-partai berdebat soal syarat partai peserta pemilu. Tiga fraksi pada Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu—Fraksi PDIP, Partai Golkar, dan Partai Nasdem—mengusulkan syarat partai peserta pemilu diperketat. Partai harus memiliki kepengurusan di semua provinsi, semua kabupaten/kota, dan 75 persen kecamatan di kabupaten/kota. Demi memperkuat kelembagaan partai sebagai pilar demokrasi jadi alasan.
Partai lain, Demokrat misalnya, memandang syarat lama sudah representatif dan harusnya tetap dipertahankan. Tapi ada udang di balik batu. Syarat kepesertaan partai di pemilu tidak berubah agar partai lama yang sudah memiliki kursi dan pernah diverifikasi pada Pemilu 2014 tidak diverifikasi ulang.
“Kalau syarat itu berubah, ya harus diverifikasi semua. kalau syarat tidak berubah, yang sudah diverifikasi tidak perlu. Tinggal yang belum pernah diverifikasi saja. Clue-nya begitu,” kata Fandi Utomo di sela-sela rapat Pansus di Jakarta (18/5).
Pada akhirnya, UU Pemilu menyepakati syarat kepesertaan tidak berubah. Partai harus memiliki kepenguruan di semua provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kabupaten/kota. Syarat lain adalah menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai tingkat pusat serta bukti keanggotaan partai paling sedikit seribu orang atau satu perseribu dari jumlah penduduk pada setiap kabupaten/kota. Karena tidak berubah, partai-partai lama beralibi tidak perlu diverifikasi ulang.
Wajib daftar
Tapi Komisi Pemilihan Umum (KPU) punya pandangan lain. Dua bulan lalu, tepatnya Selasa (15/8), Komisi Pemilihan Umum (KPU) menguji publik draft peraturan KPU tentang pendaftaran, verifikasi, dan penetapan partai politik peserta pemilu. Kala itu, Hasyim Asy’ari, anggota KPU, menjelaskan bahwa penetapan partai peserta pemilu mesti melalui tiga prosedur. Pertama, partai mendaftar ke KPU dengan disertai dokumen persyaratan lengkap yang diatur undang-undang. Kedua, KPU melaksanakan penelitian administrasi dan penetapan keabsahan persyaratan tersebut. Ketiga, KPU melaksanakan verifikasi faktual terhadap dokumen administrasi.
Siapapun partai yang ingin menjadi peserta pemilu mesti melalui prosedur pendaftaran dan penelitian administrasi. Sementara prosedur verifikasi faktual hanya berlaku untuk partai baru. Partai politik peserta pemilu 2014 tidak akan diverifikasi ulang. Alasannya, partai-partai tersebut telah pernah ditetapkan sebagai peserta pemilu oleh KPU dan pernah diverifikasi.
“Dapat dimaknai bahwa partai politik yang telah pernah ditetapkan sebagai peserta pemilu oleh KPU dan pernah diverifikasi—ini tafsir sementara—tidak perlu diverifikasi secara faktual. Tapi penelitian administrasi tetap penting,” kata Hasyim Asy’ari, saat uji publik tiga rancangan PKPU, di Kantor KPU, Jakarta (15/8).
Tafsir KPU ini kemudian dipersoalkan pada saat KPU melakukan konsultasi ke Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). KPU diingatkan untuk tidak membuat aturan yang keluar dari norma undang-undang.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Lukman Edy, berpendapat partai politik lama—partai peserta Pemilu 2014—sudah sah sebagai peserta pemilu. Tidak ada kemungkinan partai-partai itu tidak lolos menjadi peserta Pemilu 2019. Pendapat serupa dilontarkan Direktur Politik Dalam Negeri Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar. Menurutnya, 12 partai peserta Pemilu 2014 seharusnya dinyatakan otomatis lolos karena UU No. 7/2017 mengatur demikian.
Hasyim Asy’ari keukeuh, semua partai harus mendaftar sebagai calon peserta pemilu kepada KPU. Ayat (2) Pasal 176 UU No. 7/2017 menyebut, pendaftaran diajukan dengan surat yang ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal atau nama lain pada kepengurusan partai. Sementara Ayat (3) menyebut, pendaftaran disertai dokumen persyaratan yang diatur dalam Pasal 177 UU No. 7/2017.
Rezim administrasi
Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menyebut syarat berat ini sebagai rezim administrasi. Syarat administratif yang banyak tentu berkonsekuensi pada jumlah dokumen dan data yang makin rumit dan makin besar. Pada titik inilah sistem informasi partai politik (Sipol) dibutuhkan.
Penggunaan Sipol bisa mempermudah proses pendaftaran lebih efisien dan proses verifikasi administrasi lebih akurat, valid, dan absah. Sipol, misalnya, berperan memeriksa kegandaan keanggotaan partai. Sedangkan bagi partai, Sipol menjadi instrumen untuk konsolidasi dan penguatan institusi partai menuju Pemilu 2019.
“Kalau sekadar mengandalkan pendaftaran murni manual, bisa dipastikan KPU akan amat sulit bekerja dengan teliti dan cermat. Biaya bisa membengkak karena kebutuhan pada sumberdaya manual yang mendukung proses itu. Juga soal efektivitas waktu,” kata Titi.
Pantas partai langsung kalang kabut ketika KPU—melalui Pasal 13 Ayat (1) PKPU 11/2017—mewajibkan partai memasukkan data syarat-syarat yang bejibun itu ke dalam Sipol. Partai harus bergegas menyiapkan data-data yang disyaratkan undang-undang dalam waktu yang singkat. Padahal dulu mereka beranggapan tidak perlu menyiapkan syarat-syarat karena mereka otomatis lolos. Partai terlihat tidak siap.
Selain itu, ada konsekuensi hukum jika partai tak bisa memenuhi kewajiban itu. Merujuk Bab V PKPU 11/2017, terutama pada Pasal 61, ada kemungkinan partai (bahkan partai lama) tidak lolos menjadi partai peserta Pemilu 2019 jika tidak menempuh prosedur pendaftaran melalui Sipol dan tidak memenuhi syarat. Ini berkesesuaian dengan Pasal 176 UU Pemilu yang menyaratkan partai mendaftar dengan memenuhi persyaratan yang ada
Beberapa partai bermanuver menilai Sipol masih bermasalah dan tak cukup memudahkan partai. Ketiadaan akses internet di wilayah tertentu, jaringan yang sering down, dan ketiadaan metode konversi data partai yang berbeda format dengan Sipol dijadikan alasan partai untuk menggugat ketentuan KPU yang mewajibkan penggunaan Sipol.
Keluhan-keluhan ini diterima Bawaslu. Bawaslu juga bersurat ke KPU untuk tidak menjadikan Sipol syarat wajib bagi partai politik untuk mendaftar sebagai peserta pemilu. Ketentuan ini dinilai tak memiliki landasan hukum dan tak sesuai dengan undang-undang. KPU semestinya membuka alternatif lain agar partai politik yang tak dapat mengisi Sipol karena berbagai alasan dan kendala, tetap dapat mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu.
Meski tidak ada di undang-undang, KPU sebagai lembaga yang independen berwenang membuat peraturan untuk penyelenggaraan pemilu. Yang tidak boleh dilakukan oleh KPU adalah mengatur hal yang bertentangan dengan undang-undang.
“Tidak ada pengaturan Sipol yang bertentangan dengan undang-undang. Karena itu, dibilang wajib tidak apa-apa. KPU berwenang membuat aturan penyelenggaraan pemilu. Sepanjang itu tidak bertentangan ya tidak masalah untuk kebermanfaatan tahapan pemilu,” kata Fadli Ramadhanil, peneliti hukum pada Perludem (6/10).