August 8, 2024

Sengketa Hasil Pilkada Serentak 2017, Manipulasi DPT Jadi Dalil Permohonan Paling Dominan

Sebanyak 53 permohonan sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2017 diajukan oleh pemohon kepada Makhamah Konstitusi (MK). Berdasarkan pantauan yang dilakukan oleh Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif terhadap proses perselisihan hasil, dalil utama yang paling dominan disampaikan oleh para pemohon adalah terkait manipulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT), yakni sebanyak 19 permohonan.

“Dalam permohonan para pemohon, MK melihat dalil utama pemohon dalam mengajukan permohonan. Dalil utama ini juga dikategorikan sebagai dalil yang paling sering disebut oleh pemohon di dalam permohonannya,” kata peneliti KoDe Inisiatif, Adam Mulya, pada diskusi “Potret Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada Serentak 2017 di MK” di Cikini, Jakarta Pusat (22/5).

Selain dalil manipulasi DPT, terdapat enam dalil permohonan lain yang diklasifikasikan oleh KoDe, yakni netralitas penyelenggara, pengurangan suara, politik uang, kesalahan penghitungan suara, syarat pencalonan, dan politisasi birokrasi. Jumlah permohonan berturut-turut: 16 permohonan, 6 permohonan, 6 permohonan, 3 permohonan, 2 permohonan, dan 1 permohonan.

“Terkait dengan kesalahan penghitungan suara, salah satunya terjadi karena perbedaan jumlah data pemilih antara rekapitulasi yang dilakukan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan formulir C1-KWK. Ini terjadi untuk Pilkada Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Maluku Tengah, dan Kota Kendari,” jelas Adam.

Di Pilkada provinsi, pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur Banten, Rano Karno-Embay Mulya Syarif, dan paslon gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Barat, Suhardi Duka dan Kalma Katta, menyampaikan dalil manipulasi DPT. Paslon gubernur dan wakil gubernur Aceh, Muzakir Manaf-T.A. Khalid, menyampaikan dalil netralitas penyelenggara pilkada.

Paslon gubernur dan wakil gubernur Gorontalo, Hana Hasanah Fadel-Tonny S. Junus, mengajukan dalil yang mempermasalahkan status Rusli Habibie selaku calon gubernur  Gorontalo nomor urut 2 yang seharusnya tidak memenuhi persyaratan sebagai calon gubernur karena yang bersangkutan berstatus terpidana kasus “Mengadu Secara Fitnah Kepada Penguasa”.