Penyelenggara Pemilu KPU dan Bawaslu telah terbukti selalu sukses menyelenggarakan pemilihan umum dalam berbagai event pelaksanaan demokrasi baik di tingkat daerah maupun secara nasional. Dengan tingkat kompleksitas prosedural dan elektoral yang sangat crowded dibandingkan dengan negara-negara demokrasi yang besar seperti Amerika dan India, dalam hal ini KPU dan Bawaslu perlu diapresiasi setinggi-tingginya.
Akan tetapi sukses penyelenggaraan pemilu tentu saja tidak hanya sekedar berbicara soal penyelenggaraan teknis dan administrasi elektoral semata. Perwujudan kedaulatan rakyat dalam setiap suksesi politik perlu memperhatikan aspek-aspek substantif dalam demokrasi serta kualitas hasil penyelenggaraan pemilu yang legitimatif.
Dalam rangka menghadapi keserentakan pemilu secara nasional ada 6 persoalan yang perlu menjadi fokus perhatian dalam rangka membenahi kualitas pemilu. Pertama, lemahnya komitmen dan aksi lembaga penyelenggara pemilu untuk membuka akses yang luas terhadap konsep, gagasan, visi dan misi para kontestan pemilu sebagai produk utama demokrasi. Kedua, politik uang yang terus mengalami tren kenaikan. Ketiga, partisipasi pemilih yang masih kental dipengaruhi oleh faktor pragmatisme.
Keempat, masih dominannya keterlibatan penyelenggara pemilu dalam pelanggaran etika, administrasi maupun pidana pemilu.Kelima, belum memadainya metode mitigasi dan pengendalian isu terhadap berbagai kerawanan yang kerap menjadi masalah penyelenggaraan pemilu. Keenam, sistem digitalisasi produk elektoral yang rawan persoalan.
Di antara segelintir persoalan tersebut yang terungkap dari beberapa data yang ada yakni menyangkut persoalan integritas penyelenggara pemilu. DKPP-RI mengungkap bahwa selama kurun waktu 2012 – 2017 telah ada 459 penyelenggara pemilu baik dari unsur KPU maupun dari unsur Bawaslu yang telah diberhentikan oleh DKPP akibat pelanggaran kode etik. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir sejak tahun 2015 sampai dengan Februari 2018 sebanyak 360 penyelenggara pemilu telah diberi sanksi peringatan.
Hal yang menarik adalah data tersebut menunjukkan adanya kecenderungan bahwa semakin banyak pilkada yang digelar maka semakin tinggi pula keterlibatan penyelenggara pemilu yang terkana sanksi. Ini artinya bahwa tahun 2018 hingga 2019 dengan tingkat kompleksitas dan volume beban teknis pemilu pada tahun-tahun tersebut akan menjadi masa-masa yang penuh dengan ujian kode etik. Sepertinya persoalan lemahnya standar kompetensi dan independensi dalam proses rekrutmen penyelenggara pemilu masih akan menjadi persoalan mendasar yang akan terus dihadapi oleh KPU dan Bawaslu.
Kemudian juga dengan munculnya isu big data yang kini sedang hangat-hangatnya sepertinya akan menjadi sebuah ancaman yang tidak bisa dianggap remeh. Persoalan pemilu tahun 2014 sesungguhnya sudah menunjukkan adanya sinyalemen tersebut meski hanya berupa isu semata. Santer terdengar bahwa isu big data mulai dilirik oleh beberapa partai politik yang kemungkinan akan cukup membantu mereka dalam memenangkan kontestasi elektoral.
Perang politik di daratan kini akan segera beralih ke arena digital war. Oleh karena itu, perkembangan dalam revolusi teknologi informasi ini menuntut lembaga penyelenggara pemilu untuk dapat menyesuaikan diri. KPU dan Bawaslu perlu mengantisipasi bentuk-bentuk modus pelanggaran baru yang makin canggih dan berkembang pesat di dunia maya.
Ada beragam harapan di balik setiap perhelatan pemilu ketika akan digelar. Ini berlaku penyelenggaraan pilkada, pileg, atau pilpres. Harapan itu akan menemukan faktanya dalam keadaan yang menimbulkan kepuasan publik atau sebaliknya kecaman publik karena ketidakpuasan atas proses penyelenggaraan pemilu.
Semua bisa disalahkan, mulai dari sistem pemilihannya yang tidak berkembang, pembiaran terhadap pelanggaran hukum pemilu, kerumitan prosedur yang menguras energi, kegaduhan di level akar rumput karena ekses politik, dan masih banyak lagi fakta yang menjadi alasan ketidakpuasan. Untuk memenuhi harapan-harapan publik yang sangat ideal tentu saja tidak mudah diwujudkan oleh KPU dan Bawaslu saja. Perlu pelibatan banyak unsur di dalamnya.
Dalam mengukur indeks kualitas penyelenggaraan pemilu tentulah perlu ditetapkan indikator-indikator keberhasilan dalam penyelenggaraan pemilu. Indikator-indikator tersebut dapat mencakup aspek penyelenggaraan teknis, kepastian hukum, stabilitas sosial, dan yang terpenting adalah kredibilitas kelembagaan serta integitas personal penyelenggara pemilu.
Profesionalisme, independensi, dan integritas menjadi sikap mental yang paling menentukan yang harus dimiliki oleh para penyelenggara pemilu termasuk para pegawai organik yang bekerja di lingkup lembaga penyelenggara pemilu. Semua demi mewujudkan kelembagaan penyelenggara pemilu yang kredibel. Olehnya itu secara individu maupun institusi, penyelenggara pemilu harus mampu menjaga jarak yang sama dengan aktor-aktor politik baik yang sedang berkuasa maupun yang tidak.
Secara teknis pemilu memang sedang dioperasionalkan berdasarkan arah kebijakan penyelenggaraan pemilu yang telah tertuang jelas dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017. Namun kenyataan pada tataran implementasi akan tergantung dari sejauh mana penyelenggara pemilu dapat menginternalisasi semangat yang tertuang di dalam undang-undang ke dalam kehidupan demokrasi bangsa. Semangat dan suasana batin yang sama harus terus dibangun dalam menciptakan suasana yang kondusif bagi terselenggaranya pemilu.
Seluruh pemangku kepentingan terutama penyelenggara dan peserta pemilu perlu menunjukkan dedikasi yang nyata dalam mewujudkan cita-cita ini. Kedua unsur penggerak utama demokrasi ini memegang peranan vital dalam menciptakan pemilihan umum yang bermartabat dan berkualitas, tentu saja tanpa menafikan peran stakeholder lainnya seperti media massa, para pegiat pemilu, akademisi, LSM, institusi penegak hukum dan masyarakat pemilih.
Selain peran penting lembaga penyelenggara pemilu dalam menjalankan praktek demokrasi sesuai amanat undang-undang, peran strategis unsur lembaga/institusi, dan kelompok masyarakat lainnya tak boleh dipisahkan sebagai sebuah kesatuan komponen bangsa untuk menciptakan kualitas pemilu yang lebih baik. Dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada dalam penyelenggaraan pemilu idealnya disinergikan dengan berbagai unsur pemangku kepentingan.
Persoalan-persoalan pemilu tentu saja dapat diatasi bila ada keterbukaan untuk saling besinergi. Penting juga adanya kesadaran dan komitmen yang tinggi dari berbagai komponen bangsa terutama para stakeholder pemilu untuk menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik dan lebih berkualitas demi kepentingan masa depan bangsa.
Tidak sedikit persoalan yang ternyata tidak terjangkau secara langsung oleh penyelenggara pemilu. Sebagai contoh yaitu konflik horisontal yang selama ini menjadi imbas dari dinamika kontestasi politik yang memanas. Hal tersebut seharusnya dapat ditekan oleh sikap ksatria dan jiwa besar dari kontestan pemilu dan para aktor-aktor politik.
Demikian pula media massa yang sepatutnya mampu bersikap secara proporsional dan seimbang agar tidak menimbulkan dampak provokatif. Situasi politik yang dinamis dan cenderung panas memang harus diakui kerap menjadi santapan empuk pemberitaan media massa. Tetapi, secara moril di sinilah diharapkan para awak media dapat mengambil peran jurnalistik yang lebih bertanggugjawab dalam menciptakan situasi kondusif di tengah isu-isu politik yang sensitif.
Relawan dan tim pemenangan selayaknya juga memiliki tanggungjawab tinggi terhadap nilai-nilai penting dalam demokrasi. Pihak ini penting menunjukkan sikap-sikap yang dapat mengedukasi masyarakat seperti kesiapan untuk menciptakan persaingan politik gagasan yang sehat dan kesiapan untuk menjadi idea merketer. Amat disayangkan jika pihak ini malah menjadi makelar massa unjuk rasa dan agen money politics.
Salah satu dampak politis yang juga ditimbulkan oleh adanya kontestasi politik adalah rusaknya tatanan birokrasi. Sangat penting untuk memberi batasan yang ketat dan tegas terhadap setiap kekuatan petahana agar dapat menjaga netralitas dan profesiolitas aparat sipil negara. Namun jika tanpa dibarengi oleh kesadaran dan sikap netral dari para pimpinan birokrasi maka akan sulit untuk mewujudkan lembaga birokrasi yang bersih dari pengaruh kepentingan politik.
Masih banyak persoalan klasik lainnya yang juga masih membutuhkan penguatan kerjasama dengan berbagai unsur terkait, seperti manajemen pengelolaan dan sistem pengawasan daftar pemilih, sistem pengawasan dana kampanye, penyalahgunaan APBN/APBD untuk kepentingan politik terselubung, pengaturan kampanye melalui media online dan media sosial, dan lain-lain. Semua persoalan tersebut tentu saja akan sangat menentukan kualitas hasil demokrasi bangsa ini.
Butuh waktu yang panjang hingga bangsa ini dapat menemukan jati dirinya sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Bangsa ini masih terus belajar dan berbenah untuk terus menghadirkan sistem pemilu yang tepat bagi negeri ini. Olehnya itu keterlibatan para akademisi, kelompok pakar, dan para pegiat demokrasi diharapkan juga dapat terlibat dalam kegiatan pemantauan sehingga dapat berperan secara kontributif terhadap perbaikan sistem demokrasi di masa mendatang.
Komponen penting yang juga tidak kalah perannya adalah unsur aparat keamanan yakni TNI dan Polri. Aparat keamanan adalah pihak yang selama ini kadang terlupakan ketika pemilu berjalan aman dan sukses. Namun ketika terjadi gangguan keamanaan yang menyebabkan terhambatnya tahapan pemilu atau pilkada maka aparat kemananlah yang kerap memperoleh kecaman dari berbagai pihak.
Polisi dan TNI harus terus berbenah diri dalam upaya menciptakan stabilitas kemanan dan politik dalam setiap perhelatan demokrasi. Profesionalitas aparat dalam bekerja, netralitasnya dalam bersikap, kesantunan dan ketangguhannya dalam melindungi warga masyarakat ketika terjadi konflik horisontal harus menjadi citra yang melekat erat di institusi Polri dan TNI.
Pelaksanaan pemilu tahun 2019 dan pelaksanaan pemilu serentak nasional tahun 2024 akan menjadi tantangan baru bagi para penyelenggara pemilu baik secara sustantif maupun prosedural. Dengan segala kompleksitas yang makin tinggi pastilah akan menguras energi fisik yang besar. Namun yang teramat penting adalah semua pihak harus bertanggungjawab untuk menata wajah demokrasi Indonesia. Diharapkan politik nusantara semakin menunjukkan perkembangannya yang signifikan dengan menciptakan pemilu yang makin akomodatif terhadap hak-hak demokrasi sipil warga negara secara konstitusional dan dengan sungguh-sungguh dapat mengejawentahkan kedaulatan rakyat yang sesusungguhnya.
Pesta demokrasi telah terlanjur disalah-maknai menjadi ajang untuk menikmati hidangan-hidangan terlarang yang trennya malah terus meningkat, seperti politik uang, mahar politik, politisasi anggaran negara untuk kepentingan politik praktis, dan komoditas politik berupa jabatan birokrasi dan jatah proyek. Sebaliknya politik gagasan dan politik meritokrasi (seleksi berdasarkan prestasi, rekam jejak dan kompetensi figur) menjadi menu politik yang paling tidak diminati dalam pesta akbar lima tahunan. Pemilu seharusnya dirancang laksana sebuah etalase ide dan model calon-calon pemimpin bangsa. Produk berkualitas dari sebuah proses elektoral hanya akan lahir dari sebuah model penyelenggaraan demokrasi yang benar-benar menyiapkan calon pemilih yang tercerahkan, kritis, dan jujur. Inilah tantangan terberatnya.
Hadirnya sistem pemilu yang kompatibel dengan karakteristik demokrasi di Indonesia, kelembagaan penyelenggaraan pemilu yang kredibel dan akuntabel, manajemen pemilu yang modern dan profesional, kesadaran politik masyarakat untuk menggunakan hak kedaulatannya secara cerdas dan kritis, suasana kondusif pemilu tanpa kekerasan dan aksi anarkis, penegakan hukum pemilu yang tidak kompromistis baik dari aspek administrasi maupun etik dan pidana, serta mitigasi potensi kerawanan pemilu yang terus diaktualkan, kesemuanya adalah prasayarat penting menciptakan pemilu yang berkualitas dalam negara demokrasi.
Pembentukan dan penyamaan persepsi terhadap model pelaksanaan demokrasi dan strategi penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dapat dilakukan dengan menggalakkan pendidikan politik dan sosialisasi yang tepat ke semua komponen masyarakat. Pengembangan kerja sama lintas sektor/kelembagaan oleh para penyelenggara pemilu perlu dilakukan secara sustainability, karena pemilu bukan hanya milik KPU, Bawaslu, dan Partai Politik tetapi pemilu adalah milik kita semua.
Peningkatan partisipasi aktif masyarakat untuk ikut terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam mengawal dan mengawasi penyelenggaraan pemilu harus menjadi agenda penting dan terprogram secara berkelanjutan. Terciptanya sebuah sinergi nasional yang kokoh dan solid dari semua komponen bangsa akan menjadi kekuatan penting menuju keserentakan pemilu secara nasional. Bila hal ini serius dilaksanakan maka harapan terwujudnya kualitas penyelenggaraan pemilu tahun 2019 hingga menuju pada keserentakan pemilu secara nasional tahun 2024 akan menjadi kenyataan sekaligus menjadi momentum politik terbesar dalam catatan sejarah demokrasi di dunia. []
NANANG MASAUDI
Penulis adalah Guru dan Pemerhati Politik