September 13, 2024

Sistem Pemilu Ideal

ilustrasi-tahapan-10

Jika yang ideal ada, sistem pemilu ideal adalah sistem pemilu yang sesuai dengan pengalaman demokrasi dan pemilu tiap negara. Ideal di satu negara belum tentu ideal di negara lain. Amerika Serikat mungkin ideal dengan pemilu pluralitas(/mayoritas). Australia bisa jadi memang ideal terus menggunakan sistem pemilu preferensial (varian pluralitas/mayoritas). Banyak negara Eropa bisa dibilang ideal dengan sistem proporsional dengan segala variannya.

Selain, soal pengalaman demokrasi dan pemilu tiap negara, sistem pemilu ideal pun berkait dengan tujuan yang ingin dicapai dari undang-undang pemilu. Hal biasa jadi tujuan yang cenderung dimaknai hitam putih adalah, apakah undang-undang pemilu bertujuan menciptakan pemerintahan efektif atau meningkatkan keterwakilan?

Pemahaman fatalis itu menilai tujuan efektivitas bertolakbelakang dengan representatif. Dasar pengertian proporsional adalah jumlah suara yang diperoleh di pemilu sesuai (secara persentase) dengan jumlah kursi yang diperoleh. Semakin sesuai persentase suara dan kursi yang diperoleh, maka semakin proporsional.

Berbeda dengan sistem proporsional, sistem pluralitas/mayoritas yang bertujuan menguatkan efektivitas pemerintahan hasil pemilu cenderung mengabaikan perolehan suara calon tak terpilih. Dalam sistem mayoritas yang biasa dikenal dengan pemilu 2 putaran (mayoritarian two round system), keterpilihan ditentukan dari jumlah suara 50%+1 sehingga suara 50%-1 diabaikan atau hangus. Dalam sistem pluralitas yang biasa dikenal pemilu satu putaran (single round system), berapapun keadaan perolehan suara antar peserta, peraih kursi adalah peserta bersuara terbanyak (first past the post/FPTP) meskipun gabungan suara partai lain sangat mungkin jumlahnya bisa lebih banyak (the winner take all).

Pengalaman Indonesia

Sejak 1955 sampai 2014, Indonesia bisa dibilang cenderung ideal dengan pemilu proporsional. Kita fokuskan pada pemilihan legislator DPR. Pada Pemilu 1955, peserta tak hanya partai tapi juga ada calon perseorangan. Jika berpegang pada ortodoksi pembagian sistem pemilu, calon perseorangan lazimnya ada dalam sistem pemilu pluralitas/mayoritas. Tapi, kepersetaan perseorangan di Pemilu 1955 ada dalam satu kesatuan sistem proporsional bersama kepesertaan partai.

Merujuk International Institute Democracy and Electoral Assistance (IDEA) sistem pemilu proporsional (proportional representation/PR), merupakan sistem pemilihan yang pada setiap daerah pemilihan terdapat lebih dari 1 kursi yang diperebutkan. Sistem yang menekankan pada hubungan rakyat dengan kelembagaan partai ini bersifat: semakin banyak kursi di satu dapil tingkat proporsionalitas dari banyaknya peserta pemilu akan lebih mungkin dicapai. Secara ortodoks, sistem proporsional menggunakan metode memilih lambang partai di surat suara pemilu, bukan nama/foto caleg.

Evaluasi pemerintahan terpilih hasil pemilu bersistem proporsional merujuk pada partai parlemen, bukan tiap nama anggota dewan. Sistem yang lebih cocok di pemerintahan parlementer ini menguatkan relasi politik antara komunitas pemilih dengan partai, bukan individu. Bentuk kedaulatan pemilih adalah dengan meneruskan/menghukum partai yang dipilih di pemilu berikutnya. Meski kinerja tiap anggota legislatif jadi acuan awal, tapi nilai evaluasi akhirnya berdasarkan kolektivitas orang-orang tiap fraksi.

Di konteks Indonesia, karena citra partai tak kunjung baik serta rasa tak sabar/puas dalam menghukum partai parlemen hanya (dengan mengganti pilihan lain) melalui pemilu berikutnya, sistem proporsional pernah ingin diganti dengan sistem pluralitas. Pencalonan orang/bukan partai dalam sistem pluralitas dinilai jauh lebih mendorong transparansi dan akuntabilitas dewan secara personal. Ketaksabaran/ketakpuasan pemilih pun difasilitasi mekanisme recall di tengah periode jabatan dewan antar dua pemilu.

Saat Pemilu 1999 dirancang, sistem pluralitas dengan istilah sistem distrik sempat diajukan. Tapi, semangat Reformasi untuk menghukum Golkar memutuskan sistem proporsional dipertahankan. Memang hitung-hitungnya, jika Pemilu 1999 menggunakan sistem distrik, (partai) Golkar yang kesekretariatan dan anggotanya merata senasional selama Orde Baru dipastikan kembali memenangkan pemilu.

Pemilu pluralitas/mayoritas merupakan sistem yang lebih mengapresiasi daerah pemilihan (distrik) dibanding suara atau jumlah penduduk. Karena dalam sistem ini setiap dapil cuma ada 1 kursi, dinamika politik kota/distrik yang banyak penduduknya dinilai setara dengan daerah desa yang bersifat homogen dan sedikit penduduk. Dasar hitung-hitung ini yang jika diterapkan di Pemilu 1955, Indonesia bisa menjadi negara Islam karena Partai Masyumi akan dominan menjadi pemenang pemilu.

Pakar pemilu, Didik Supriyanto sering menyimpulkan, sistem proporsional di Indonesia sudah given. Dibanding efektivitas sistem pluralitas/mayoritas, proporsionalitas bersifat lebih ramah keragaman identitas/politik Indonesia yang terberi. Bisa disimpulkan, jika ada yang mengingkan sistem pluralitas/mayoritas diterapkan di Indonesia, pihak berkeinginan berarti antikeragaman.

Pengalaman panjang beserta “takdir” keragaman Indonesia itu berkesimpulan sistem pemilu ideal Indonesia adalah sistem proporsional. Pertanyaan lanjutannya, sistem proporsional seperti apa?

Undang-undang dan tujuan pemilu

Konteks kebutuhan demokratisasi satu negara yang bisa dituangkan dalam undang-undang pemilu bisa menjawab, sebetulnya sistem pemilu proporsional seperti apa yang ideal bagi Indonesia. Ketakterhubungan tujuan dengan variabel sistem pemilu dalam UU No.8/2012 yang menyebabkan Pemilu 2014 kontradiktif antara tujuan dan hasilnya.

Setidaknya ada tiga tujuan dari UU No.8/2012 yang kemudian hasilnya kontradiktif melalui penyelenggaran Pemilu 2014. Pertama, tujuan menciptakan presidensial efektif malah pemilu menciptakan pemerintahan terbelah. Kedua, tujuan menyederhanakan sistem kepartaian malah pemilu menghasilkan sistem kepartaian menjadi multipartai ekstrim yang berarti partai relevan di parlemen 2014-2019 lebih banyak dibanding 2009-2014. Ketiga, tujuan meningkatkan derajat keterwakilan melalui proporsionalitas malah menghasilkan disproporsionalitas karena metode penghitungan kursi lebih menguntungkan partai-partai kecil.

Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-undang Pemilu (Sekber UU Pemilu) dalam naskah akademis dan rancangan UU Pemilu merumuskan variabel-variabel sistem pemilu yang sesuai dengan ketiga tujuan UU No.8/2012 yang dipertahankan. Pertama, presidensial efektif coba dicapai melalui desain pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah sehingga mutlak, pilkada masuk sebagai rezim pemilu di dalam kodifikasi. Kedua, menyederhanakan sistem kepartaian coba dicapai melalui mengurangi besaran dapil dari 3-10/3-12 kursi menjadi 3-6 kursi. Ketiga, meningkatkan proporsionalitas coba dicapai dengan konversi suara menjadi kursi melalui metode Saint League (pembagian suara dengan bilangan 1, 2, 3, dan serterusnya) yang netral atau tak bias partai kecil/besar.

Mengenai variabel sistem pemilu metode pencalonan/pemilihan, daftar partai (tertutup) atau daftar calon (terbuka), bisa dibilang, semua pakar sistem pemilu merekomendasikan daftar partai. Memilih dan menyediakan pilihan partai saja pada surat suara merupakan konsistensi sistem proporsional yang bertujuan menguatkan partai melalui relasi pemilih dengan partai. Ingat, kursi dewan dari hasil pemilu proporsional, bukan kursi kepemilikan individu si dewan melainkan kursi (fraksi) partai.

Selain itu, sistem pemilu proporsional daftar partai menjadi lebih relevan di konteks pemilu serentak. Pemilu serentak (concurrent elections) yang menggabungkan pemilu presiden dan pemilu DPR dalam satu hari pemungutan suara, bertujuan menciptakan presidensial efektif. Bentuknya, presiden dan wakil presiden terpilih bersamaan dengan partai pengusungnya yang juga memenangkan pemilu DPR menjadi partai mayoritas parlemen.

Memilih partai saja pada surat suara mengoptimalkan efek menarik kerah (coattail effect) sebagai keistimewaan pemilu serentak. Jika pemilih disodorkan surat suara memilih presiden dan partai sekaligus, akan berkecenderungan kuat pilihan partai selaras dengan pilihan presiden. Jika pemilu serentak diterapkan di Pemilu 2014 lalu, pemilih Jokowi yang pilihan partainya PDIP akan lebih banyak—termasuk  pemilih Prabowo yang juga semakin banyak yang pilihannya Partai Gerindra.

Bandingkan dengan sistem proporsional daftar calon. Jika pemilih disodorkan pilihan presiden dan pilihan partai menyertakan daftar caleg, maka ada kecenderungan pilihan partai tak sesuai dengan pilihan presiden karena pemilih memilih caleg berdasarkan kualitas caleg bukan kualitas partai/presiden. Kecenderungan ini tetap terjadi meski pemilu diserentakan.

Jika kita memaksa tetap menggunakan sistem proporsional daftar calon (terbuka), baiknya mengakomodir usulan dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) untuk lebih mengecilkan besaran daerah pemilihan menjadi 2 kursi tiap dapil. Ini yang dilakukan Chile untuk mengatasi terbentuknya pemerintahan terbelah dan multipartai ekstrim dari pemilu. Tapi efek sampingnya, kursi 2 tiap dapil cenderung menghasilkan disproporsionalitas sehingga kontradiktif dengan tujuan undang-undang pemilu. Jika proporsional terbuka dipaksakan dengan pemilu presiden, pemilu serentak kecil peluang menghindari pemerintahan terbelah malah bisa bernasib tragis seperti pemilu serentak Brasil yang presiden hasil pemililihan langsungnya dimakzulkan.

Lalu bagaimana dengan usulan sisitem pemilu mixed member proportional (MMP) dan pararel? Sebaiknya, kita jangan menambah kompleksitas pemilu serentak dengan menggunakan sistem pemilu MMP yang berkemungkinan tak mengoptimalkan efek menarik kerah pemilih serentak. Untuk sistem pararel, selain kontradiktif dengan tujuan meningkatkan proporsonalitas dan karakter keragaman Indonesia, aspek pluralitas dalam sistem pararel sebetulnya sudah diakomodir dalam pemilu DPD. []

USEP HASAN SADIKIN