August 8, 2024

Sistem Pemilu Usulan PDIP dan Golkar

Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyelenggarakan diskusi “Menimbang Sistem Pemilu 2024: Catatan dan Usulan” pada Senin (1/11). Dua dari enam narasumber yang diundang ialah politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, dan Partai Golongan Karya (Golkar), Ahmad Doli Kurnia, selaku Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Beberapa usulan keduanya sama namun tak serupa.

Usulan PDIP

Memberikan pemaparan sejarah perjalanan politik bangsa di awal, Hasto menyimpulkan bahwa sistem demokrasi langsung yang menitikberatkan pada kesetaraan nilai suara rakyat atau satu orang satu suara dan satu nilai menimbulkan kerusakan pada politik Indonesia. Lima dampak yang disebutkan Hasto yakni, kapitalisasi kekuasaan politik,  konvergensi politik hukum kapital media, penguatan primordialisme, konflik Pancasila versus transnasional ideologi, dan konflik antar tiga lembaga penyelenggara pemilu.

“Siapa yang punya media, dia akan punya kuasa. Lalu penguatan primordialisme. Akan sulit orang Solo menjadi wali kota di Papua, orang Papua menjadi walikota di Klaten karena dampak demokrasi langsung. Lalu konflik Pancasila versus ideologi transnasional. Dengan Taliban misalnya. Itu terjadi. Kemudian konflik antara KPU, Bawaslu, DKPP. Semuanya memperebutkan kewenangan,” tandas Hasto.

Merujuk pada sejarah perjalanan politik Indonesia, serta pemikiran para tokoh bangsa yang melahirkan Pancasila, Hasto mengusulkan empat hal terkait sistem pemilu. Pertama, proporsional tertutup atau daftar partai sebagai sistem pemilu legislatif. Proporsional terbuka dinilai Hasto mengeliminasi tokoh-tokoh PDIP yang memiliki pemahaman baik terkait sistem politik. Proporsional tertutup juga akan memperjelas tanggungjawab partai di hadapan rakyat. Jika kinerja partai politik buruk, rakyat pemilih akan menghukum partai di pemilu selanjutnya.

“Saya agak heran pada awal-awal persidangan di DPR, di Pemilu 2019 kemarin, ada anggota Dewan yang ketika membahas women trafficking, dia protes. Kenapa women trafficking dibahas di Komisi 3 Hukum, kan harusnya perdagangan di Komisi 6. Nah ini karena gak ada pendidikan politik bahwa DPR menjalankan fungsi legislasi, anggaran, pengawasan, dan representasi, karena mereka hanya populer atau punya basis dukungan keluarga, atau kapital, atau media. Hal-hal seperti ini yang membuat sisi-sisi negatif dari proporsional terbuka,” kisah Harto.

Kedua, Harto mengusulkan penataan pemilu serentak. Ada tiga gelombang pemilu serentak, yakni pemilu serentak untuk memilih Presiden dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pemilu serentak memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dan pemilu serentak memilih kepala daerah.

“Pemilu Presiden dan DPD jadi satu ini karena basisnya sama-sama individual. Karena sebenarnya, dukungan partai, tapi presiden ini kan basisnya lintas partai,” ujar Hasto.

Ketiga, ambang batas parlemen yang harus terus ditingkatkan guna menghasilkan sistem multipartai sederhana di parlemen. Ambang batas parlemen juga diusulkan Hasto untuk diterapkan pada DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

“Yang eligible bisa ikut pemilu juga dibatasi melalui proses yang betul-betul selektif. Dan, yang bisa ada di DPR, itu juga terus menerus ditingkatkan sehingga efektivitas pemerintahan lebih baik. Tetapi, yang kami usulkan, ini juga diterapkan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sehingga konsolidasi kelihatan, mana partai yang di tradisi pemilu, memiliki basis di wilayah-wilayah tertentu,” jelasnya.

Usulan Golkar

Sepakat dengan Hasto mengenai perlunya sistem multipartai sederhana untuk mendukung pemerintahan presidensial yang efektif, Doli setuju jika ambang batas parlemen untuk DPR RI dinaikkan menjadi 5 persen, serta diterapkan ambang batas parlemen untuk DPRD Provinsi sebesar 4 persen, dan DPRD Kabupaten/Kota 3 persen. Usulan ini telah dimasukkan di dalam rancangan revisi Undang-Undang Pemilu.

“Itu sudah ada di rancangan revisi UU Pemilu kita. 5 persen DPR RI, 4 persen DPRD Provinsi, dan 3 persen DPRD Kabupaten/Kota,” pungkas Doli.

Tak hanya itu, untuk mengurangi jumlah partai di parlemen, Doli juga mengusulkan agar besaran daerah pemilihan (dapil) diperkecil. Namun, pihaknya belum mengkaji apakah besaran dapil yang diperkecil akan menambah jumlah dapil dan anggota DPR RI. Doli menilai ideal hanya ada maksimal 6 hingga 8 partai di parlemen.

Selain itu, Doli mengusulkan agar metode konversi suara sainte lague murni diubah. Metode ini dievaluasi menguntungkan dua segmen, yaitu partai politik yang mendapatkan suara mayoritas di dapil, dan partai yang mendapatkan sisa suara berlebih dari partai-partai lain.

“Apalagi kalau tidak ada threshold di kabupaten/kota, ini memungkinkan partai-partai yang tidak punya kursi di DPR RI, dapat banyak kursi di DPRD. Dari segi fairness, (metode) ini kurang memenuhi,” ujarnya.

Kembali bersepakat dengan Hasto mengenai sistem proporsional tertutup yang ideal untuk Indonesia, namun menurut Doli perlu ada masa transisi menuju penerapan sistem tersebut melalui penerapan sistem campuran atau mixed member system, dan harus ada pembenahan demokratisasi internal partai dan pelembagaan partai politik di masyarakat. Tanpa ada pembenahan, tujuan penerapan sistem proporsional tertutup tak akan tercapai.

“Melihat realitas saat ini, party ID belum terbentuk, belum ada apresiasi kader-kader yang sudah mengurus partai politik, masih banyak peluang bagi siapa saja untuk masuk ke partai politik mana saja. Jadi, sebelum menuju sistem proporsional tertutup murni, perlu dipertimbangkan penggunaan sistem campuran atau mixed member. Tentu di dalam mix-nya itu, proporsionalnya lebih besar,” ungkap Doli.

Untuk ambang batas pencalonan presiden, Doli menganggap angka 10 atau 15 persen sebagai angka yang moderat untuk menghasilkan lebih dari dua pasangan calon presiden-wakil presiden.

Doli juga mengusulkan ada penataan keserentakan pemilu. Ia menyetujui model keserentakan pemilu nasional dan pemilu daerah dengan jarak dua tahun. Namun, pemilu presiden dan pemilu legislatif menurutnya harus dipisahkan agar hasil pemilu legislatif yang diselenggarakan tidak jauh waktu dari pemilu presiden dapat digunakan secara relevan sebagai dasar pencalonan presiden.

“Tinggal dianalisis, kita mau bagi secara eksekutif dan legislatif, atau kita campurkan. Misalnya, pemilu daerah itu kepala daerah saja, atau bersama DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Dan pemilu nasional, presiden, DPD, dan DPR RI,” terang Doli.

Doli juga menyatakan dukungannya pada digitalisasi pemilu dan electronic election atau e-election. Salah satunya electronic recapitulation atau e-recap, dipandang Doli dapat membantu meringankan beban kerja penyelenggara.

“Kemarin kita sudah melakukan uji coba e-recap dengan Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi) di Pilkada 2020. Walaupun perlu dievaluasi, tetapi di beberapa daerah, Sirekap bisa membantu beban kerja penyelenggara,” katanya.

Hal lain yang disinggung oleh Doli ialah perlunya penataan lembaga penyelenggara pemilu, dan pembentukan lembaga peradilan khusus pemilu. Revisi UU Pemilu perlu memuat aturan yang lebih tegas terkait kewenangan masing-masing lembaga penyelenggara pemilu dalam penyelesaian masalah-masalah dalam penyelenggaraan pemilu.

PDIP enggan merevisi UU Pemilu di masa pandemi

Diakui Hasto, PDIP mendukung Presiden Joko Widodo untuk fokus pada penanganan pandemi dan normalisasi ekonomi. Meski UU Pemilu tak direvisi, kualitas pemilu tetap dapat dilakukan melalui penguatan netralitas dan independensi KPU.

“Sebenarnya, rekomendasi Kongres (PDIP) itu yang menurut kami ideal. Tetapi melihat dampak pandemi yang menyentuh rakyat, sehingga skala prioritas kami adalah kesejahteraan rakyat. Kami menegaskan tidak melakukan penyempurnaan politik itu pada masa pemerintahan Jokowi ini. Biarkan Presiden Jokowi berkonsentrasi untuk mengatasi pandemi,” tegas Hasto.