Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat (Jabar) memiliki pengalaman memanfaatkan teknologi informasi (TI) pemutakhiran daftar pemilih. TI itu diberi nama Sitagis, Sistem Informasi Data Terpusat Berbasis GIS.
Latar belakang Sitagis
Anggota KPU Jabar, Titik Nurhayati menyampaikan bahwa Sitagis dibuat karena KPU Jabar menginginkan adanya aplikasi yang menyambungkan semua data tahapan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat 2018. Dengan Sitagis, data pemilih hasil pemutakhiran daftar pemilih oleh Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) tersambung dengan tahapan lainnya, seperti tahap pencalonan.
“KPU Jabar pengennya ada aplikasi yang gak ribet, yang bisa menampilkan semua tahapan. Jadi, kalau orang mau tau Pilkada Jabar, aplikasinya gak beda-beda. Untuk memudahkan masyarakat lah, melihat tahapan dan proses pemilu sampai dimana,” kata Titik pada webkusi “Digitalisasi Data Pemilih E-Coklit dan Menjaga Kemurnian Suara Pemilih“ (19/5).
Prosedur Sitagis
Terdapat beberapa kategori operator pada Sitagis, yakni operator provinsi, operator kabupaten/kota, operator kecamatan, operator kelurahan, operator TPS, dan operator pengawas pemilu. Masing-masing operator memiliki wewenang masing-masing, dengan tugas kontrol yang berbeda.
“Masing-masing punya kewenangan akses. Siapa yang punya weweneng unggah daftar pemilih, ubah, saring data, dokumentasikan, dan mengisi tahapan. Ada juga sistem kontrol dari operator di provinsi dan kabupaten/kota,” jelas Titik.
Semua dokumentasi kegiatan pencocokan dan penelitian (coklit) diunggah ke dalam Sitagis. Jika PPDP tak dapat mengunggah on the spot atau di lokasi coklit, PPDP dapat mengunggah di lokasi dengan sinyal yang lebih kuat. Ada fitur unggah gambar dari galeri, selain fitur unggah foto dari hasil jepretan langsung kamera.
“Foto coklit di lapangan langsung bisa diunggah. Karena kamki mikir, kenapa DPT selalu dipertanyakan? Jadi, daripada besok-besok, gimana kalau pas coklit kita langsung foto aja, biar kalau partai tanya, kita ada buktinya. Misal, orang itu dicoklit tanggal sekian,” ujar Titik.
Sitagis juga menyediakan menu profil petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Data seluruh KPPS seperti nama dan nomor ponsel terhimpun di dalam Sitagis.
Selain itu, dokumen Daftar Pemilih Pindahan (DPPh), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), dan Form C1 Plano juga dapat diunggah ke Sitagis.
“Kita juga sudah membuat proses checking, dia laki-laki atau perempuan. Lalu, jumlah perempuan berapa, laki-laki berapa,” tukas Titik.
Kendala menggunakan Sitagis
Kendala terbesar yang dihadapi dalam pemanfaatan Sitagis, kata Titik, adalah perbedaan formulir yang disediakan oleh menu Sitagis dengan menu Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) KPU RI. Hal ini menyebabkan petugas mesti bekerja kembali menyesuaikan format data sesuai format Sidalih.
“Contoh, kalau kita isi form DPT, DPTb, DPPH, misal kita ingin output-nya Excel. Itu gak bisa langsung sama formatnya dengan yang digunakan Sidalih. Itu dua format dan dua kerjaan yang berbeda. Pekerjaan yang melelahkan,” tandas Titik.
Oleh karenanya, Titik menyarankan agar format yang akan dibuat untuk suatu aplikasi yang dikembangkan oleh KPU daerah disamakan dengan format yang dibuat KPU RI. Tujuannya, memudahkan proses penyandingan, pengunggahan, dan rekapitulasi data.
Kendala lain yang juga dihadapi yakni ketersediaan sarana bagi petugas adhoc dan kemampuan mereka dalam mengoperasikan aplikasi. Ponsel yang digunakan petugas PPDP dalam pemutakhiran daftar pemilih tak seragam spesifikasi dan KPU tak memiliki dana untuk memfasilitasi PPDP dengan ponsel pintar. Dengan demikian, implementasi coklit dengan Sitagis, banyak bergantung pada kualitas ponsel dan sinyal internet yang dimiliki PPDP.
“Kami merasa di Jabar, hampir semua spot bisa dijangkau internet, itu pun hasilnya akhirnya gak maksimal. Ada sinyal, tapi pas proses unggah, gak lancar. Apalagi, kalau smartphone-nya sudah lama. Kita gak bisa nuntut juga karena kita gak bisa memberi,” tutur Titik.
Anggaran juga dibutuhkan untuk uji coba aplikasi. Pada uji coba Sitagis, KPU Jabar menyediakan anggaran 10 ribu per TPS. Jika jumlah TPS mencapai 74 ribu, maka dibutuhkan 740 juta rupiah untuk uji coba.
“Bagaiman kalau paketnya lebih dari 10 ribu? Ya lebih mahal lagi. Kalau TPS sedikit, gak terlalu berasa, tapi kalau TPS–nya lumayan, anggarannya harus dipikirkan dari mana,” pungkas Titik.
Regulasi yang melegitimasi sistem IT pendamping mesti terjamin
Titik mengingatkan agar setiap sistem IT pendamping yang dimanfaatkan untuk tahapan pemutakhiran daftar pemilih dan tahapan lainnya mesti memiliki landasan hukum. Ia menyarankan agar ada regulasi yang dengan jelas membolehkan penggunaan aplikasi pendamping dalam tahapan pilkada untuk membantu penyelenggaraan proses pemilu.
“Demi asas kehati-hatian dan agar ada kepastian hukum, perlu ada kebijakan yang menjelaskan sistem informais atau aplikasi yang boleh dibuat sebagai sistem informasi epndamping dalam tahapan Pilkada untuk melengkapi proses,” tutup Titik.