August 8, 2024

Sudahkah Anak Muda Menjadi Subjek Politik?

Saya ingin membuka tulisan ini dengan canda Presiden Joko Widodo pada acara CEO Forum ASEAN-Australia Special Summit 2018 di Sydney, 17 Maret 2018 lalu: “Kita politisi harus berkompetisi dengan Netflix untuk mencuri perhatian Anda-anda. Kita politisi tidak punya pilihan selain mengubah politik menjadi reality-TV. Jika tidak, Anda sekalian akan nonton House of Cards dan Stranger Things.

Presiden kita menggunakan budaya pop yang millennial-friendly dalam pidato resminya. Ia hendak menyitir anak muda yang memegang kekuatan sentral—penentu arah politik ke depan. Posisi generasi milenial—dengan rentang usia 17-37 tahun—berjumlah sekitar 84 juta orang, menurut data Badan Pusat Statistik 2015. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) memperkirakan akan ada 55 persen pemilih muda terdaftar pada Pemilu 2019.

Tak heran jika aktor-aktor politik mulai memperhitungkan representasi anak muda. Sayangnya, para aktor politik meraih anak muda dengan pendekatan yang menempatkan anak muda sebagai penonton saja. Dalam bahasa presiden, politik mesti diubah jadi reality-TV, sehingga anak muda beralih dari nonton House of Cards.

Pendekatan menjadikan anak muda sebagai objek suara (ia yang menguasai preferensi anak muda berpeluang besar memenangkan pemilu) ini sungguh usang.

Mengapa anak muda tetap jadi objek

Anak muda cenderung belum punya ideologi yang ajeg dan mapan. Fakta ini tak menihilkan fakta lain bahwa anak muda punya pilihan politik. Tapi ia tak mengonsolidasi diri dengan sadar dan membentuk kelompok mapan berbasis ideologi.

Survei Kompas pada 19 Maret 2018 menunjukkan sebanyak 57,2 persen responden kelompok usia muda enggan mempertahankan pilihan partai mereka. Mereka yang pernah memilih, baik pada Pemilu 2009 maupun 2014, tampak menghadapi kegalauan (atau justru independen) dalam memilih partai.

Hal itu mengindikasikan, kebanyakan pemilih muda mempunyai preferensi terhadap partai, tapi tidak kuat-kuat amat.

Preferensi yang labil ini bisa dilihat dari pernyataan sikap mereka tentang pilihan parpol pada Pemilu 2019. Sepertiga bagian dari mereka secara tegas menyatakan tidak akan memilih kembali partai yang mereka pilih pada pemilu lalu. Mereka mengalihkan suara mereka kepada partai lain dalam Pemilu 2019. Sebanyak 22 persen lainnya menyatakan belum menentukan pilihan.

Pilihan politik yang beragam dan cepat berubah menjadikan kelompok muda makin terseret menjadi objek dalam arena perebutan kekuasaan. Sangat sulit menjadi subjek di politik yang turut terlibat menentukan arah kebijakan yang ramah anak muda.

Sulitnya beralih jadi subjek

Politik adalah alat bagi rakyat untuk mengakses sumber daya. Dalam dunia politik ini, legislatif (sebagai representasi rakyat) dan eksekutif (yang juga dipilih melalui pemilu) memegang peranan penting dalam proses alokasi dan distribusi sumber daya dalam bentuk anggaran, kebijakan, program, dan regulasi perundang-undangan.

Tak ada jalan lain untuk menjadi subjek di politik kecuali melalui pemilu. Sayangnya, di mata anak muda, subjek-subjek yang berperan penting di dunia politik ini dipersepsikan buruk.

Dalam survei yang dilakukan Kompas (Februari 2018)partai politik masih dianggap gagal melahirkan kader pemimpin yang berkualitas. Sebanyak 61,2 persen responden menilai hingga saat ini partai politik belum berhasil melahirkan kader pemimpin, seperti kepala daerah yang tangguh dan berkualitas.

Saat ditanya mengenai partisipasi yang akan dilakukan untuk menyambut Pemilu 2019, hanya 3,3 persen anak muda yang menjawab menggunakan hak pilih dan aktif dalam partai. Mayoritas anak muda (58,2 persen) menjawab menggunakan hak pilih saja.

Ketidakpercayaan terhadap partai politik ini turut membentuk keengganan anak muda untuk terjun ke partai politik.

Keengganan ini bertambah karena partai tak kunjung demokratis. Partai masih dikuasai oleh elite pemodal  yang menyebabkan regenerasi dan sirkulasi kepemimpinan mandeg. Pola patron-klien masih mendominasi pengisian jabatan strategis di internal partai—anggota partai harus memiliki kedekatan khusus dengan pimpinan. Ketiadaan jenjang karier yang jelas ini menyusahkan anak muda untuk berkarier di partai politik.

Ruang lain juga tertutup bagi partisipasi anak muda. Untuk mendirikan partai politik, misalnya, syarat di UU terlalu berat—hanya mungkin dilakukan oleh orang berduit.

UU 2/2011 tentang Partai Politik menyebut syarat kepengurusan di setiap provinsi dan paling sedikit 75 persen dari jumlah kabupaten/kota dan paling sedikit 50 persen dari jumlah kecamatan. Partai juga harus memiliki kantor tetap di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. UU/7 2017 tentang Pemilu juga memiliki syarat berat ini. Partai politik baru bisa berpartisipasi setelah memiliki kepengurusan di seluruh provinsi dan sekurang-kurangnya 1000 orang.

Syarat lain di ranah pemilihan eksekutif yang memberatkan anak muda adalah syarat usia paling rendah 40 tahun untuk menjadi presiden, 30 tahun untuk menjadi gubernur, dan 25 tahun untuk menjadi bupati.

Syarat-syarat berat inilah yang menjadi benteng pembatas mengapa anak muda sulit menjadi subjek di politik.

Yang bisa dilakukan di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019

Meski demikian, anak muda tak apolitis. Hasil survei Kompas (Desember 2017), 52 persen responden menjawab sangat penting dan 47,6 persen menjawab penting menggunakan hak pilih dalam pilkada. Untuk Pemilu 2019, hampir tidak ada responden yang menjawab tidak akan menggunakan hak pilih.

Ada hal lain yang bisa dilakukan agar anak muda tak sekadar menjadi pemilih, tetapi menjadi pemilih yang berdaya.

Pertama, menciptakan ruang politik yang sehat di media sosial. Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) di tahun 2017, kelompok umur 19-34 mendominasi pengguna internet (49,52 persen). Angka yang besar ini berperan untuk menciptakan demand isu politik yang lebih mementingkan visi, misi, program peserta pemilu ketimbang isu dengan sentimen SARA dan hoaks.

Kedua, berhimpun dan membuat gerakan tolak politisi busuk. Anak muda bisa mengidentifikasi calon-calon bermasalah hukum.

Sejauh ini, ada beberapa calon kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi. Beberapa orang itu di antaranya adalah Mochamad Anton (Pilkada Malang), Ya’qud Ananda Gudban (Pilkada Malang), Mustafa (Pilkada Lampung), Ahmad Hidayat Mus (Pilkada Maluku Utara), Nyono Suharli Wihandoko (Pilkada Jombang), Imas Aryumningsih (Pilkada Subang), Marianus Sae (Pilkada NTT), dan Asrun (Pilkada Sulawesi Tenggara).

Selain itu, anak muda juga bisa mengidentifikasi calon dengan kewenangan kuat/petahana, rekam jejak buruk, dan keuangan tak akuntabel yang rawan berlaku korup.

Ketiga, ada ruang untuk terlibat menjadi penyelenggara pemilu. Syarat usia penyelenggara pemilu ad hoc, sebagaimana tercantum di Pasal 72 UU Pemilu, diturunkan menjadi 17 tahun dari semula 25 tahun.

Penyelenggara pemilu ad hoc meliputi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tingkat TPS, Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN).

Peran anak muda sebagai penyelenggara pemilu ad hoc strategis untuk turut menjaga integritas pemilu. Anak muda perlu terlibat untuk mengubah pandangan yang menyebut penyelenggara pemilu ad hoc adalah penyelenggara pemilu yang paling rawan memanipulasi pemilu.

Maharddhikapeneliti pada Perludem dan pengelola rumahpemilu.org

Tulisan ini telah tayang sebelumnya di http://youthproactive.com/201803/perspektif/politik-anak-muda-dari-objek-menuju-subjek/