Penyerentakan pemilu presiden; pemilu legislatif nasional dan daerah; serta pemilihan kepala daerah di tahun yang sama dilakukan tanpa perubahan undang-undang. Konsekuensinya, penyelenggaraan pemilu serentak di 2024 ini akan semakin rumit. Untuk menanggulangi hal tersebut, seluruh pemangku kepentingan pemilu memikirkan penyederhanaan teknis, termasuk menyederhanakan surat suara.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mewacanakan penyederhanaan surat suara untuk pemilu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, dan pemilu presiden. Di Pemilu 2019 lalu, lima surat suara ada dalam lembar terpisah. Untuk 2024, KPU mewacanakan surat suara ini disatukan dalam satu atau dua lembar surat suara.
“KPU sedang mengkaji surat suara yang mungkin nanti tidak perlu banyak. Bisa saja surat suara nanti untuk pemilu itu bisa satu surat suara atau dua surat suara. Bisa saja misalnya surat suara presiden dan legislatif itu disatukan. Nanti dalam surat suara yang disatukan itu untuk yang legislatif kita akan tampilkan daerah pemilihannya apa saja,” kata Ilham Saputra, Ketua KPU RI, pada diskusi “Menakar Kesiapan Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024” (30/5).
Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) mengusulkan alternatif serupa. NETGRIT mendesain satu surat suara untuk lima pemilihan di Pemilu 2024 tersebut. NETGRIT berkaca pada pemilu beberapa negara yang menyatukan surat suara untuk beragam jenis pemilu. Penyederhanaan surat suara akan membuat pekerjaan teknis lain serta penyediaan dokumen lain bisa ikut lebih sederhana. Sebagai ilustrasi, petugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS) hanya perlu membuka satu surat suara saat penghitungan dan dituangkan pada satu formulir sertifikasi hasil saja. Kerja penghitungan suara bisa lebih pendek.
Di desain yang diusulkan NETGRIT ini, satu lembar surat suara dibagi menjadi lima bagian. Di paling atas, bagian pemilu presiden dan wakil presiden, terdapat daftar calon yang memuat nomor urut pasangan calon, foto pasangan calon, serta nama pasangan calon. Di bawah daftar calon tersebut, terdapat satu kolom tempat pemilih memberikan suara. Di bawah bagian pemilu presiden dan wakil presiden, ada bagian pemilu anggota DPR. Di bagian ini terdapat informasi mengenai daerah pemilihan serta daftar partai disertai dengan nomor urut dan tanda gambar yang di sebelahnya terdapat kolom bagi pemilih untuk memberikan suaranya. Bagian ketiga di bawahnya adalah bagian pemilu anggota DPD. Hanya ada satu kolom tempat pemilih memberikan suaranya. Di bawah itu, bagian keempat dan kelima, adalah bagian pemilu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang serupa dengan bagian DPR RI.
Daftar nama caleg tidak dicantumkan di surat suara. Pencantuman nama caleg bisa saja dilakukan tetapi konsekuensinya surat suara akan menjadi lebih besar. Karena tidak dicantumkan di surat suara, perlu dipikirkan penyediaan informasi tentang caleg secara masif di TPS.
“Bilik suara harus bisa memuat informasi nama calon,” kata Anton Merciyanto, Ketua KPU Pekanbaru (30/5)
Perubahan spesifikasi surat suara akan berkonsekuensi pula pada perubahan metode pemberian suara. Metode baru akan menggantikan metode pemberian suara yang diterapkan pada Pemilu 2019—mencoblos nomor urut, nama, foto pasangan calon, atau tanda gambar partai politik.
“Memang di sini supaya betul-betul bisa lebih sederhana, kita perlu juga mengubah cara mencoblos. Kita tinggalkan mencoblos, tapi dengan menulis angka calonnya. Jadi bisa menandai dan/atau menuliskan nomor calegnya untuk caleg DPR, DPRD dan DPD. Ini salah satu alternatif saja,” kata Hadar Nafis Gumay, peneliti senior NETGRIT (30/5).
Selain perubahan metode pemberian suara, potensi kerumitan teknis lain mungkin terjadi. Salah satu kerumitan teknis itu adalah surat suara bagi pemilih yang pindah memilih dan karena itu tidak bisa memilih caleg di domisili asalnya.
Hadar menegaskan, surat suara yang didesain hanyalah salah satu alternatif dari kemungkinan desain-desain lain. Jika ingin melakukan perubahan surat suara, KPU mesti memikirkan dengan matang pilihan alternatif-alternatif desain beserta konsekuensinya. KPU perlu mendalami dan melakukan simulasi atas pilihan-pilihan tersebut.
“KPU perlu mendalami dan segera melakukan simulasi dan jika membutuhkan perubahan undang-undang maka segera dorong dan yakinkan pembuat undang-undang,” tegas Hadar.
Menanggapi wacana ini, Ahmad Doli Kurnia, Ketua Komisi II DPR RI, menganggap perubahan desain surat suara berkaitan dengan sistem pemilu yang dipilih—apakah proporsional terbuka atau tertutup. Ia juga menyoroti efek perubahan surat suara di masyarakat. Pemilih dinilai telah terbiasa dengan surat suara yang terpisah sebagaimana yang digunakan pada Pemilu 2019. Jika ada perubahan, sosialisasi harus dilaksanakan secara masif.
“Pertanyaan kita kemudian adalah sejauh mana tingkat pemahaman masyarakat dengan sistem yang baru lagi. Apakah tidak menimbulkan pertanyaan di masyarakat, ‘ini apa lagi?’ Jawabannya mungkin kita punya waktu yang cukup atau tidak untuk melakukan sosialisasi,” kata Ahmad Doli Kurnia (30/5).