August 8, 2024

Survei SPD, 60 Persen Lebih Pemilih Mau Terima Politik Uang

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) mempublikasi hasil riset mengenai sikap persmisif masyarakat terhadap politik uang. Riset dilakukan pada Januari hingga Maret 2020, melibatkan 400 responden di Sumatra, Kalimantan, dan Jawa.

Hasil riset SPD menunjukkan bahwa di tiga provinsi riset dilakukan, lebih dari 60 persen responden mengaku akan menerima politik uang jika ada pihak yang memberikan. Alasannya, rejeki tak boleh ditolak, pengganti karena hari pemungutan suara libur bekerja, menambah uang untuk kebutuhan dapur atau keperluan sehari-hari, dan lain-lain.

“Profiling, orang yang menjawab ini perempuan atau ibu-ibu. Mereka pragmatis, untuk menambah kebutuhan dapur sehari-hari. Memang lebih banyak karena alasan uang pamali ditolak. Ini alasan yang tidak bergeser dari dulu,” jelas Peneliti senior SPD, Dian Permata, pada diskusi “Politik Uang di Pilkada 2020: Madu vs Racun?” (2/7).

Dari 60 persen lebih reponden yang mengatakan akan menerima politik uang, 64 sampai 76 persen memilih pemberian uang ketimbang barang. Sementara 23 sampai 35 persen responden yang memilih pemberian barang menginginkan barang berbentuk sembako, bibit, pupuk, alat pertanian, dan lain-lain.

“Ada keterkaitan momentum antara pilkada dengan musim tanam dan musim panen. Rata-rata mereka memang tetap memilih sembako dibandingkan bibit, pupuk, atau alat pertanian,” ujar Dian.

Di Jawa, responden yang mengatakan mau menerima politik uang, menginginkan uang sebesar lebih dari 100 ribu rupiah. Sedangkan di Sumatra, kurang dari 50 ribu, dan di Kalimantan antara 50 ribu sampai 100 ribu rupiah.

Mengenai efektivitas, 49 persen responden di Jawa menjawab akan mengikuti arahan pemberi politik uang. Besaran persentase ini lebih besar di Kalimantan dan Sumatra, yaitu 60,35 persen dan 54,15 persen.

“Jai, di Pulau Jawa, ada sekitar 40, 30 persenan orang yang mengaku mau menerima uang, tapi gak mau ikuti arahan si pemberi. Ini mereka tau betul momentum Pilkada, ada uang beredar tapi mereka memilih tidak mau ikuti arahan si pemberi uang. Kalau di Kalimantan, proporsinya lebih besar mau mengikuti,” terang Dian.

Data tersebut, diakui Dian, mengkhawatirkan, terutama mengingat Pilkada Serentak 2020 diselenggarakan di tengah pandemi yang mengakibatkan ekonomi melesu. Di Mojokerto, telah ada kasus pemberian politik uang berkedok sedekah ke pesantren.

“Di Mojokerto, sudah masuk pondok pesantren. Dia mengaku itu sebagai sedekah. Lalu ada konsultan pemenangan politik menggunakan politik uang sebagai strategi pemenangannya dia,” ujar Dian.

Was-Was Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)

Ketua Bawaslu RI, Abhan, memprediksi politik uang akan semakin gencar dimainkan di Pilkada Serentak 2020, terutama oleh petahana yang di masa pandemi Coronavirus disease 2019 (Covid-19) menjabat sebagai ex officio Kepala Gugus Tugas di daerah. Motif politik uang dapat berbentuk pembagian bantuan sosial (bansos), sembako, voucher, alat pelindung diri (APD), bantuan kesehatan gratis, dan politisasi anggaran untuk aliran dana kepada partai guna diberikan kepada masyarakat selama kampanye Pilkada.

“Saat ini, tantangan berikutnya, karena kondisi pandemi ini ekonomi kurang baik, maka potensi money politic bisa tinggi dibanding pada pilkada-pilkada sebelumnya. Ada relasinya antara kondisi ekonomi dengan politik,” jelas Abhan.

Bawaslu akan melakukan pencegahan politik uang secara lebih masif. Bawaslu mendorong Bawalsu daerah untuk menggencarkan gerakan anti politik uang, melakukan sosialisasi dan pendekatan budaya, serta melakukan patroli pengawasan di masa tenang.

“Ada deklarasi di desa-desa anti politik uang. Di Jogja, Sulawesi. Dibuat aturan di dalam peraturan kepala desa. Ini menjadi komitmen kepala desa agar masyarakat tidak menerima politik uang,” tutup Abhan.