Di dalam rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, syarat mengundurkan diri dari keanggotaan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, DPR Daerah (DPRD), Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian RI (Polri), dan aparatur sipil negara (ASN) adalah paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara. Sebelumnya, pada Pilkada 2018, pengunduran diri paling lambat 60 hari sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah (cakada) atau calon wakil kepala daerah (cawakada).
“Aturan di Pasal 99 ayat 4 diubah. Sebelumnya paling lambat 60 hari sejak ditetapkan sebagai calon. Sekarang, paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara,” kata anggota KPU RI, Evi Novida Ginting, pada rapat konsultasi rancangan PKPU di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan (4/11).
Terhadap rencana penormaan itu, tak ada anggota Komisi II yang memberikan masukan batas maksimal penyerahan surat berhenti dari institusi terkait. Adapun komentar yang muncul adalah terkait wacana agar ASN, anggota DPR, DPRD, DPD, TNI, dan Polri yang hendak mencalonkan diri di Pilkada tak perlu mengundurkan diri hingga ditetapkan sebagai calon terpilih. Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Usman Firdaus, mendukung wacana ini. Namun anggota Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Kamarussamad mengambil sikap bersebrangan.
“Dari berbagai aspirasi yang kami terima dari masyarakat, mereka khawatir. Membayangkan dampak dari penyalahgunaan kekuasaan. Bayangkan kalau pejabat struktural maju sebagai calon bupati dan calon walikota, bagaimana dampak psikologi langsung atau tidak langsung terhadap bawahannya karena dia hanya cuti,” tandas Samad.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menentang wacana tak perlu mundur dari jabatan. Menurutnya, selain berpotensi menyebabkan penyalahgunaan wewenang dan politisasi birokrasi, hal tersebut menciderai asas keadilan dalam kontestasi Pilkada. Ia pun menilai dinormakan hal tersebut di dalam revisi Undang-Undang (UU) Pilkada akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi dibawah pemerintahan Presiden Joko Widodo jilid dua.
“Rencana pengaturan ini bisa sangat berbahaya bagi keadilan kontestasi dan bisa jadi preseden buruk bagi kepemimpinan Presiden Jokowi. Ini bisa menyebabkan terjadinya abuse of power dan politisasi birokrasi dan institusi militer atau kepolisian,” tegas Titi kepada rumahpemilu.org melalui Whats App (5/11).