August 9, 2024

Tak Ada Keterwakilan Perempuan di Tiga KIP Kabupaten/Kota di Aceh, SPKP Akan Gugat SK KPU ke PTUN

Kecewa pada tak dilaksanakannya keterwakilan perempuan di tiga Komisi Independen Pemilihan (KIP) kabupaten/kota di Aceh, Solidaritas Pembela Keterwakilan Perempuan (SPKP) akan menggugat Surat Keputusan (SK) Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 842/PP/06-Kpt/05/KPU/VII/2018 dan SK No.955/PP/06-Kpt/05/KPU/VII/2018 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Masing-masing SK berisi penetapan anggota KIP Banda Aceh dan Kota Langsa dimana tak ada satu pun perempuan calon anggota yang terpilih.

“Kami akan melakukan gugatan terhadap keputusan KPU terkait penetapan anggota KIP Banda Aceh, Aceh Barat, dan Kota Langsa dalam dua minggu ke depan ini setelah materi substansi gugatannya selesai. SK untuk Aceh Barat masih kami cari,” kata Koordinator SPKP, Destika Gilang Lestari, pada diskusi “Potret Perempuan Kepala Daerah Terpilih di Pilkada 2018” di Media Centre KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat (1/8).

Gilang menceritakan, perempuan Aceh terganjal menjadi penyelenggara pemilu akibat budaya patriarkis yang bersumber dari nilai agama yang dipolitisasi oleh elit laki-laki di Aceh. Qanun No.6/2016 yang menyerahkan proses uji kelayakan dan kepatutan calon anggota KIP kabupaten/kota di Aceh kepada Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK), di tengah dominasi politik laki-laki, menyebabkan hanya calon laki-laki yang terpilih.

“Saya adalah salah satu orang yang mencalonkan diri di KPU Banda Aceh. Sudah masuk 15 besar, lalu di tahap fit and proper test di DPRK, dimana saya satu-satunya perempuan yang ikut, saya jatuh. Semua yang terpilih adalah laki-laki. Ini menyalahi .empat aturan sekaligus,” tandas Gilang.

Empat aturan yang dimaksud Gilang yakni, Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang (UU) No.11/2016, Pasal 5 ayat (4) Qanun No.6/2016, Peraturan KPU (PKPU) No.1/2018, dan Pasal 10 UU No.7/2017. Semua aturan memberikan mandat adanya keterwakilan perempuan minimal 30 persen.

Kehadiran perempuan di dalam institusi penyelenggaraan pemilu dinilai penting karena sedikitnya dua alasan. Pertama,  tanpa perspektif gender yang baik, penyelenggara pemilu akan sulit memahami kebutuhan khas pemilih perempuan sebagai bekal penyusunan program-program pendidikan pemilih. Kedua, perempuan anggota berperan dalam menentukan strategi sosialisasi pendaftaran anggota KPU selanjutnya kepada perempuan.

“Kalau ada komisioner perempuan, dia tahu kapan dan dimana perempuan bisa memperoleh informasi pendaftaran, karena perempuan punya tuntutan yang berbeda dengan laki-laki. Perempuan sulit keluar rumah malam hari dan kalau siang hari dia punya tanggung jawab mengurus rumah. Ketidakpahaman merekrut perempuan ini jadi sebab selama ini perempuan yang mencalonkan diri sedikit,” papar Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin.

Gilang menyebutkan bahwa selain di tiga kabupaten/kota yang telah disebutkan, keterwakilan perempuan juga absen di sembilan KIP kabupaten/kota lainnya, yakni Meulaboh, Lhoksemawe, Aceh Utara, Subulussalam, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Besar, Aceh Tengah, dan Simeulue.