Salah satu pemohon uji materi Pasal 222 Undang-Undang (UU) No.7/2017, Feri Amsari, mengatakan bahwa tak ada konsep presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dalam original intent Pasal 6A dan pasal-pasal lain yang berkaitan dengan kepemiluan di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Yang ada hanyalah pembahasan mengenai electoral threshold atau ambang batas pemilu.
“Hanya ada pembahasan mengenai electoral threshold yang disampaikan oleh dua orang, yakni Pataniari Siahaan dan Sudiarto. Artinya, secara original intent, memang tidak ada maksud pembatasan terhadap pencalonan presiden di konstitusi kita,” jelas Feri pada sidang pemeriksaan pendahuluan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Gambir, Jakarta Pusat (3/7)
Feri berargumentasi, Pasal 6A UUD 1945 telah jelas mengatakan bahwa calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai poltik atau gabungan partai politik. Pasal tak memuat aturan mengenai ambang batas pencalonan dan tak ada perintah untk mengatur persyaratan pencalonan lebih lanjut.
“Di ayat 5 Pasal 6A UUD 1945 kita, itu memerintahkan bahwa yang diatur lebih lanjut adalah tata caranya, bukan persyaratannya. Sementara di Pasal 222 UU Pemilu, yang ditambahkan justru persyaratannya,” kata Feri.
Oleh karena tak adanya perintah untuk mengatur lebih lanjut, maka Pasal 6A UUD 1945 bukanlah open legal policy atau kebijakan hukum terbuka. Dalam hukum pembuatan UU, penafsir dan pembuat UU tak dapat menetapkan sebuah pasal di dalam konstitusi sebagai kebijakan hukum terbuka.
“Pasal-pasal yang open legal policy dimaktubkan di dalam konstitusi secara jelas. Misal, ada kalimat diatur lebih lanjut di UUatau ditetapkan dalam UU. Makanya, pembuat konstitusi memberikan amanah kepada pembuat UU untuk mengatur lebih lanjut.Nah, pasal yang tidak ada perintahnya, tidak boleh dimaknai sebagai pasal open legal policy seenaknya,” tandas Feri.