November 11, 2024

Tangani Sengketa Hasil Pemilu 2019, 3 Tantangan Mahkamah Konstitusi

Dijadwalkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengumumkan penetapan hasil Pemilu Serentak 2019 pada Rabu (22/5). Sebagaimana peraturan di Undang-Undang (UU) Pemilu pada Pasal 474 ayat (2) dan Pasal 475 ayat (1), tiga hari setelah penetapan hasil, peserta Pemilu dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Tantangan kelembagaan

Rumahpemilu.org mencatat setidaknya ada tiga tantangan yang akan dihadapi MK dalam menerima, memeriksa, dan memutus sengketa hasil Pemilu Serentak 2019. Tantangan pertama datang dari kelembagaan MK sendiri, yakni kesiapan MK dalam memberikan pelayanan yang optimal. Diprediksi para pengamat pemilu, jumlah laporan ke MK akan lebih banyak dari jumlah laporan yang masuk pada Pemilu 2014, sebab jumlah peserta pemilu kali ini lebih banyak dari Pemilu sebelumnya.

“Dari sisi kandidat saja, Pemilu 2019 ini punya jumlah kandidat yang lebih banyak daripada Pemilu sebelumnya. Kalau perselisihan, kan tidak hanya antar partai, tapi juga antar caleg (calon anggota legislatif) di dinternal partai karena memang dibuka keran untuk mengajukan perkara sebagai dampak dari diterapkannya sistem proporsional daftar terbuka,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pada diskusi “Tantangan MK dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu 2019” di Cikini, Jakarta Pusat (17/5).

Terdapat 7.968 caleg Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. 28.912 caleg DPR Daerah (DPRD) provinsi. 207.860 caleg DPRD kabupaten/kota.

Mantan ketua MK tahun 2013-2015, Hamdan Zoelva mengatakan ada hampir seribu perkara yang masuk ke MK pada Pemilu 2014. 600 ribu perkara memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti, sementara 300 ribuan perkara dinyatakan tidak memenuhi syarat. Bukan perkara mudah untuk memutus banyak sengketa hasil ditengah waktu yang singkat.

“600 ribu perkara gimana membuktikannya? Karena itu, dulu dibatasi, satu kasus maksimal diajukan oleh tiga orang. Nah kalau 600 kasus, kali 3, maka 1.800 yang diperiksa. Ini bukan pekerjaan yang gampang. Satu hakim paling tidak harus baca 300 putusan,” tukas Hamdan.

Kondisi politik memberikan tekanan lebih

Tak mudah memutuskan sengketa hasil ditengah polarisasi politik yang kian tajam, kata Titi dan Hamdan. Terutama Pemilihan Presiden (Pilpres), Hamdan mengakui bahwa menyelesaikan kasus sengketa hasil Pilpres tidaklah terlalu rumit. Yang berat adalah tekanan psikologis.

“Tantangannya, kasusnya tidak terlalu rumit. Karena untuk memeriksa kasus pemilu itu sederhana sekali. Tapi yang berat adalah tekanan psikologis dari kiri kanan,” ungkap Hamdan.

Titi mengingatkan agar MK tetap menggelar sidang sengketa hasil secara transparan, akuntabel, profesional, dan adil, karena ia meyakini akan selalu ada oknum-oknum yang membangun narasi tidak percaya pada mekanisme hukum. Sejalan dengan itu, Hamdan berpesan agar hakim MK memperlihatkan sikap adil selama menyidangkan sengketa hasil Pemilu. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan hakim kepada pelapor dan terlapor tak boleh berat sebelah.

“Akan selalu ada pihak yang membangun wacana tidak percaya pada proses. Sekarang saja, belum apa-apa, sudah ada yang bilang gak akan pergi ke MK karena tidak percaya MK. Jadi, menurut saya, MK mesti transparan dan akuntabel, karena ketidakpercayaan itu akan jadi narasi yang akan terus digerakkan,” tandas Titi.

Keterbatasan waktu dan kualitas putusan

Selain tantangan untuk bersikap adil dan tidak berat sebelah, tantangan MK lainnya yakni menyelenggarakan sidang sengketa ditengah keterbatasan waktu. Pengurangan sidang pemeriksaan saksi yang mengurangi esensi pembuktian tak diharapkan terjadi.

“Kalau banyak laporan, biasanya jumlah saksi dikurangi. Kalau saksi dikurangi, maka sidang pembuktian dikurangi. Nah, kita harap MK tidak mengurangi itu karena MK adalah tumpuan terakhir bagi mereka yang mencari keadilan pemilu,” ujar Titi.

MK diharapkan tak berlaku layaknya mahkamah kalkulator yang terjebak pada urusan salah hitung dan salah jumlah. MK dapat mengambil jalan progresif dengan mengambil interpretasi dan penafsirkan atas bukti-bukti yang diajukan, dan apabila menemukan proses yang mempengaruhi hasil pemilihan.

“MK bisa saja untu mudahnya, mengurus sengeketa hasil saja, prosesnya tidak usah. Tapi untuk menegakkan keadilan pemilu, tidak boleh menutup mata. Hakim harus melakukan inovasi, interpretasi untuk menafsirkan itu. Dulu juga begitu. Maka, jika ada proses yang mempengaruhi hasil, sebaiknya dapat diinterpretasikan,” jelas Hamdan.

Adapun Heru Widodo, pengacara konstitusi mengingatkan MK untuk berhati-hati dalam menuliskan pertimbangan hukum dan putusan. Pengalaman di 2014 saat Heru menjadi kuasa hukum Partai Golongan Karya (Golkar), MK salah menuliskan perolehan suara caleg sehingga berakibat pada putusan. Akibatnya, caleg yang bertikai tak mendapatkan keadilan.

“Ada selisih suara terhadap dua caleg. Di pertimbangan hukumnya salah sehingga permohonan tidak dikabulkan. Yang bersnagkutan mengadu ke Dewan Etik, tapi itu kan tidak bisa mengubah putusan. Ketika diselesaikan di partai, katanya separuh-separuh jabatannya. Tapi yang sudah duduk gak mau diganti,” kisah Heru.

Yang diharapkan dari persidangan di MK

Hamdan, Titi, dan Heru mengutarakan tiga harapan, baik kepada MK maupun publik. Satu, agar MK menjaga kepercayaan semua pihak dengan menggelar sidang yang terbuka, akuntabel, profesional, dan berintegritas. Dua, agar MK mempertimbangkan hal-hal substansial, tak semata pada jumlah atau angka. Tiga, agar elit tak mengeluarkan wacana yang menyebabkan publik tak percaya pada hukum.

“Kalau kecewa dengan hasil tapi tidak datang ke MK, tidak masalah. Yang kita tidak harapkan adalah upaya adu domba, menggunakan mekanisme di luar hukum dan membenturkan masyarakat. Yang mesti kita lakukan pasca pemilu adalah mengingatkan agar yang terpilih menjalankan visi misi mereka,” tegas Titi.

Mengenai sengketa hasil Pilpres, jika taka da pihak yang mengajukan laporan kepada MK, Heru mengusulkan agar proses persidangan Pemilihan Legislatif (Pileg) dimajukan. Sesuai jadwal yang dipublikasi oleh MK, persidangan Pilpres digelar pada 11 Juni dan Pileg mulai 1 Juli.

“Apabila tidak ada sengketa Pilpres, apakah tidak sebaiknya Pileg dimajukan proses persidangannya? Karena, rentang waktu yang cukup banyak itu, bisa memberi kesempatan untuk membuat bukti baru bagu mereka yang baru mau mengajukan,” kata Heru.