November 15, 2024

Tantangan dan Upaya Keterlibatan Pemuda Berpolitik

“The engagement of young minds in political discourse is the catalyst for societal transformation, a testament to the perpetual renewal of democratic ideals.”

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih muda cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih tua. Faktor-faktor seperti ketidakpahaman terhadap proses politik, kurangnya kepercayaan terhadap sistem politik, dan rasa apatis seringkali menjadi penyebab utama rendahnya partisipasi ini.

Temuan Center for Strategic and International Studies (CSIS), misalnya. Studi pada Agustus 2022 ini menemukan partisipasi pemilih muda pada Pemilu 2019 sebesar 91,3%, memang mengalami kenaikan dari 85,9% pada Pemilu 2014. Namun ketika berkaitan dengan pandangan, persentase pemuda yang menyatakan minatnya pada politik hanya 1,1%. Banyak pemilih muda yang ragu-ragu, pesimistis terhadap situasi politik dan kurang percaya pada elite politik.

Survei yang dilakukan UMN Consulting juga mengkonfirmasi itu. Berdasar sampel di Jabodetabek pada 2022 lalu, ditemukan 48,25% Gen Z menggunakan hak pilih mereka pada Pemilu 2019, sementara 4,86% memutuskan untuk golput, dan 46,88% belum memiliki hak pilih pada tahun tersebut. Angka ini menjadi sorotan karena mencerminkan bahwa sebagian besar pemilih muda belum sepenuhnya terlibat dalam proses politik yang menentukan arah negara.

Riset ini juga mengidentifikasi bahwa kurangnya kepercayaan terhadap institusi politik dan partai politik menjadi salah satu faktor utama yang menghambat partisipasi pemilih muda. Rasa ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dan kurangnya representasi pemuda dalam struktur politik juga menjadi penyebab rendahnya partisipasi.

Ada dugaan juga gejala apatisme terhadap partisipasi pemilih muda ini dikarenakan representasi wakil rakyat hasil pemilu sebelumnya masih sedikit yang berasal dari generasi muda. Bisa juga karena jagoan pilihan pemuda banyak yang tumbang. Di satu sisi, wakil rakyat yang terpilih dari generasi tua ini “berjarak” dengan mereka sehingga banyak pemilih muda ini kemudian menyimpulkan, suara mereka hanya dimanfaatkan ketika momen pemilihan saja. Selanjutnya, mereka tidak terlalu dianggap oleh wakilnya.

Data dari KPU terkait anggota DPR yang terpilih di Pemilu 2019 lalu, misalnya. Dari 575 kursi yang diperebutkan, kelompok usia anggota dewan yang terpilih dari rentang  41-50 tahun mendominasi di 82%  dengan total perolehan 472 kursi. Coba bandingkan dengan perolehan kursi anggota yang berusia <30 tahun yang hanya 19 kursi (3%), dan rentang usia 30-40 tahun yang hanya mendapat 75 kursi (13%).

Padahal saat Pemilu 2019, berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) KPU, persentase Pemilih dari kelompok usia 17-39 tahun mencapai 34,2%. Besar kemungkinan, diskusi yang berkembang di kelompok usia pemilih muda ini merasa ada semacam tidak tersedianya ruang aktualisasi untuk generasi muda, atau bahkan yang lebih parah, dugaan bahwa proses demokratisasi dibajak, dan dicurangi oleh generasi tua untuk melanggengkan kekuasaannya. Apalagi jika dilihat dari data pelanggaran dan vonis bersalah pada Pemilu 2019 lalu yang jumlah dan varian kecurangannya begitu banyak, seolah semakin mengonfirmasi bahwa pemilu yang lalu tidak benar-benar “bersahabat” bagi pemilih muda.

Kurang aktif

Beberapa pendapat mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi hambatan bagi partisipasi pemilih muda. Salah satu faktor utama adalah kurangnya pemahaman mereka terhadap sistem politik dan peran mereka dalamnya. Pemahaman-pemahaman mengenai demokrasi dan hak asasi manusia merupakan sebuah bekal yang sangat berguna bagi kelompok pemilih muda dalam menghadapi pemilu yang diadakan. Selain itu, kemudahan untuk mendapatkan pemahaman-pemahaman tersebut juga merupakan sebuah dimensi dari hak asasi manusia, tak terkecuali pemilih muda di Indonesia.

Pendidikan politik yang kurang memadai di tingkat sekolah dan perguruan tinggi sering kali menyebabkan pemilih muda merasa terputus dari proses politik. Selain itu, masih banyak pemuda yang menganggap politik bukan bagian dari mereka dan juga politik itu identik dengan hal yang kotor.

Setidaknya ini menurut Pengamat komunikasi politik dari Universitas Multimedia Nusantara, Silvanus Alvin. Ia berpendapat, bahkan generasi muda khususnya Gen Z sebenarnya tidak apatis terhadap permasalahan politik. Menurut Silvanus, pemuda ini cukup melek politik karena terpapar banyak informasi lewat media social. Namun masalahnya, mereka memiliki preferensi sosok pemimpin ideal yang mereka inginkan. Sosok yang tidak memiliki rekam jejak korupsi, peduli akan isu-isu lingkungan dan melek teknologi, serta tahu cara memanfaatkannya untuk masa depan.

Ini sejalan juga dengan studi CSIS di makalah yang sama tentang Pemilih Muda dalam Pemilihan Umum 2024. Temuan CSIS pada survei Agustus 2023, menunjukkan terjadi perubahan kebutuhan pemilih muda terhadap kepemimpinan nasional mendatang. Sebanyak 34,8% responden berpendapat bahwa pemimpin yang jujur dan antikorupsi dibutuhkan Indonesia, dan 15,9% untuk karakter pemimpin yang merakyat dan sederhana. Selain itu juga terjadi peningkatan kebutuhan terkait pemimpin yang berpengalaman, yaitu naik dari 8,7% pada 2019 menjadi 16,8% pada 2022.

Beberapa negara telah berhasil meningkatkan partisipasi pemilih muda melalui berbagai strategi. Misalnya Pemilu di Australia 2019 yang lalu dimana penyelenggara pemilu menerapkan registrasi otomatis pemilih pada usia 18 tahun, menggunakan kampanye media sosial yang berfokus pada isu-isu yang relevan bagi pemilih muda, serta melibatkan selebriti dan tokoh masyarakat yang populer untuk meningkatkan daya tarik. Hasilnya cukup signifikan baik secara persentase maupun konstelasi politik.

Diskusi tentang pemilih muda semakin maju di negara Australia. Beberapa pihak terkini bahkan mengajukan penurunan usia pemilih muda, dari yang sebelumnya minimal di usia 18 tahun, diajukan di minimal 16 tahun. Atau pemilu parlemen di Belanda pada tahun 2021 lalu, di tengah isu Covid-19 yang begitu massif, Belanda akhirnya menemukan model strategi pendekatan menggunakan teknologi digital/online untuk memberikan informasi dan materi kampanye yang mudah diakses, menerapkan sistem pemilihan yang lebih fleksibel, termasuk pemungutan suara dini dan surat suara pos, membuat platform partisipasi online untuk memungkinkan pemilih muda berpartisipasi dalam perumusan kebijakan.

Model yang sukses biasanya melibatkan kombinasi upaya pendidikan politik, pemanfaatan teknologi, dan inklusi isu-isu yang relevan bagi pemuda dalam platform politik. Pendidikan politik yang dimulai sejak dini di sekolah telah terbukti efektif dalam meningkatkan pemahaman pemilih muda tentang sistem politik dan dampak pilihannya. Selain itu, kampanye yang memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk membangun kesadaran politik juga telah sukses dalam menjangkau pemilih muda yang lebih luas. Dengan semakin baiknya infrastruktur digital di Indonesia, akses terhadap informasi menjadi lebih mudah. Ini membuat pemilih muda sekarang cenderung memiliki literasi yang lebih baik terhadap informasi. Teknologi juga memungkinkan pemilih muda mengakses sumber informasi alternatif penyeimbang informasi di luar media-media konvensional.

Bahkan jika kita ingin lebih berani, mari berikan ruang yang lebih luas untuk generasi muda ini masuk dalam panggung politik nyata dengan cara mengadopsi mekanisme pemilihan yang lebih inklusif, atau memberikan kuota khusus untuk pemuda dalam partai politik. Langkah-langkah ini dapat memberikan insentif lebih besar bagi pemilih muda untuk terlibat secara aktif dalam politik. Sebagai tambahan, penting juga untuk mempertimbangkan relevansi gender dalam partisipasi pemilih muda. Tidak dapat dipungkiri bahwa gender juga memainkan peran penting dalam partisipasi pemilih muda. Pemilih muda perempuan sering menghadapi tantangan tambahan seperti stereotipe gender dan kurangnya representasi dalam politik. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan partisipasi pemilih muda juga harus memperhatikan dimensi gender, memastikan bahwa baik pemuda perempuan dan lelaki memiliki akses yang setara dan mendapat dukungan yang sama dalam proses politik.

Masa depan demokrasi

Demokrasi, sebagai bentuk pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat, menggantungkan eksistensinya pada partisipasi aktif warganya. Dalam mengukur kesehatan suatu sistem demokratis, fokus pada partisipasi pemilih muda menjadi semakin penting. Mereka adalah generasi penerus, pemimpin masa depan, dan memahami peran mereka dalam membangun masa depan demokrasi adalah kunci.  Pemilu adalah pilar utama dalam proses demokratis. Saat pemilihan umum mendekat, pertanyaan tentang bagaimana memotivasi pemilih muda untuk terlibat muncul sebagai fokus utama. Sebuah penelitian mendalam menyoroti peran krusial partisipasi pemilih muda dalam membentuk masa depan demokrasi. Bahwa pemilih muda memiliki potensi besar untuk memperkuat fondasi demokrasi. Namun, tantangan yang dihadapi oleh kelompok ini adalah kurangnya kepercayaan terhadap sistem politik dan rasa apatis. Perlu kolaborasi semua pihak untuk menyambungkan pemahaman  tentang bagaimana kita bisa membimbing dan mendorong pemilih muda untuk aktif terlibat.

Partisipasi pemilih muda bukan hanya tentang memberikan suara dalam pemilu, tetapi juga tentang membentuk arah demokrasi di masa depan. Dalam konteks Pemilu 2024 di Indonesia, 114 Juta pemilih milenial dan Gen Z ini berarti segmen terbesar yang menentukan output Pemilu adalah pemilih muda. Keterlibatan pemilih muda menjadi kunci untuk memastikan bahwa kepentingan mereka terwakili dan bahwa demokrasi dapat berkembang dengan sehat. Dalam upaya meningkatkan partisipasi pemilih muda, langkah-langkah konkret seperti perbaikan pendidikan politik, pemanfaatan media sosial dengan bijak, dan reformasi sistem politik harus diterapkan. Kita dapat melihat bahwa tantangan ini memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan pemerintah, lembaga pendidikan, partai politik, dan masyarakat sipil.

Dengan memberikan perhatian khusus pada pemilih muda, bukan hanya pada saat kampanye, tetapi juga melalui upaya berkelanjutan untuk membangun pemahaman politik dan rasa tanggung jawab kewarganegaraan, Indonesia dapat melangkah maju menuju demokrasi yang lebih kuat dan inklusif. Masa depan demokrasi kita bergantung pada keterlibatan generasi muda, dan saatnya bagi kita untuk bersama-sama membangun fondasi yang kokoh bagi masa depan politik Indonesia. []

ARDIANSYAH

Aktivis, Peneliti, dan Pemerhati Pemilu