August 8, 2024

Tantangan Demokrasi Indonesia

Menurut Global State of Democracy atau (GSoD) dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Indonesia pada 2015 punya indeks di atas rataan dunia. Aspek penilaiannya sebagai berikut: Representative Government berskor 0,71 dengan rataan regional 0,50 dan global 0,58; Clean Elections 0,73 (0,51 dan 0,59); Free Political Parties 0,62 (0,46 dan 0,62); Civil society Participation 0,82 (0,58 dan 0,63). Subnational Elections 0,67 (0,42 dan 0,42). Bahkan untuk aspek Elected Government and Inclusive Suffrag, Indonesia berskor sempurna, 1 atau 100%.

Data itu tanda Indonesia berkondisi baik, baik regional maupun global. Namun harus diingat, nilai 2015 itu hanya berdasar Pemilu 2014 dan Pilkada 2015. Sedangkan Indonesia punya pesta demokrasi selanjutnya yaiut Pilkada 2017 dan 2018 serta Pemilu Nasional 2019.

Penyelenggara pemilu Indonesia telah bekerja baik pada kurun 2012-2017. Bahkan KPU telah menjadi champion atau pionir pada penerapan standar tinggi keterbukaan pemilu. Melalui berbagai inovasi penggunaan teknologi sistem informasi (Sidalih, Sitap, Situng, Silon, dan lainnya) yang menunjang tata kelola pemilu, menjadikan Indonesia sebagai rujukan dunia.

Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu Serentak Nasional 2019 menjadi tantangan Indonesia dengan skor GSoD yang tinggi. Pilkada 2018 yang serentak diselenggarakan di 171 daerah tahapannya beririsan dengan Pemilu 2019. Dari 171 daerah berpilkada ada pemilihan gubernur-wakil gubernur di daerah amat banyak penduduk, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Lampung. Persiapan pesta demokrasi lokal secara serentak berhimpit dengan pesta demokrasi nasional yang serentak memilih 5 kotak jabatan politik: presiden-wakil presidan, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota.

Baik prosedur kurang substansi

Meski secara prosedural pemilu Indonesia relatif baik, secara substansial banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Masih banyaknya legislator dan kepala daerah yang bermasalah hukum. Mulai dari korupsi, penyimpangan jabatan atau birokrasi yang berpihak (partisan), manipulasi suara rakyat, atau lainnya. Semua masih sulit dijangkau penegakan hukum. Belum lagi konflik kekerasan di daerah khusus seperti Papua dan Papua Barat.

Skor baik Indonesia dari GSoD International IDEA belum berdasar pada konteks konflik identitas Pilkada 2017. DKI Jakarta sebagai salah satu daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak di 101 daerah pada 2017 mengalami polarisasi massa amat kuat. Aktor politik secara langsung/tak langsung menggunakan kampanye jahat, pembohongan (hoax), berita palsu (fake news), dan politisasi identitas.

Media sosial dan aplikasi percakapan memfasilitasi dan menjadi pemicu berkembangnya kampanye jahat, hoax, dan politisasi identitas. Pengguna media sosial dan aplikasi percakapan larut dalam emosi sebagai lovers atau haters terhadap politisi yang mengejar/mempertahankan kekuasaan. Facebook, Twitter, Whatsapp, LINE, dan BBM memediasi begitu cepat dan berefek domino merusak nalar dan percakapan banyak warganet.

Korupsi politik pun dipraktikan dengan berbagai bentuk. Ada jual/beli tiket pencalonan di pilkada dan pemilu (candidacy buying) yang dijadikan mekanisme pembiayaan kerja elite dan organisasi partai politik. Lalu ada vote buying dan menyuap penyelenggara atau hakim pemilu. Semua merupakan virus demokrasi yang masih dianggap ampuh memenangkan kompetisi pemilu.

Korupsi politik dan pembiayaan pemilu yang tinggi sering dikaitkan dengan sistem pemilu proporsional daftar calon (biasa disebut daftar terbuka). Tapi, menurut saya, persoalannya tak sesederhana itu. Sebab mengganti sistem pemilu sekalipun selama akar masalahnya tak dibenahi. Regulasi yang belum baik dan penegakan hukum yang tak tegas merupakan hal yang lebih menjadi sebab dibanding sistem pemilu.

Memperbaiki pengawasan dan partai politik

Kotornya ruang publik digital tak lepas dari buruknya penegakan hukum. Pengawasan menyeluruh yang ditindaklanjuti peringatan, penandaan, hingga penindatakan kejahatan, belum dilakukan optimal. Sehingga, tak ada efek jera bagi pembuat dan penyebar kampanye jahat, hoax, dan politisasi identitas.

Obat paling mujarab melawan kampanye jahat, hoax, dan politisasi identitas adalah dengan menciptakan masyarakat melek digital. Pendidikan bagi warga pengguna media sosial dan aplikasi percakapan agar bijaksana terlibat dalam ruang demokrasi digital merupakan hal penting yang mesti menjadi agenda prioritas dan berkesinambungan.

Antarpemangku kepentingan terkait pemilu, semua harus terlibat tanpa kecuali. KPU, Bawaslu, DKPP, Kominfo, Kemendiknas, Kemendikti, Kemenpora, KPPPA, Kemendagri, dan pemerintah daerah punya peran, kewenangan, dan anggaran yang harus sinergis pemberbaiki. Keterlibatan masyarakat sipil harus solid dan tak terjebak pada sifat/sikap partisan terhadap politisi atau peserta pemilu.

Selebihnya, partai politik menjadi permasalahan mendasar demokrasi Indonesia. Kampanye jahat, hoax, dan politisasi identitas serta korupsi politik buah dari pragmatisme juga begitu elitisnya partai politik.

Pembentukan partai politik dan kepesertaan partai politik di pemilu menjadi amat berat dan mahal. Indonesia punya syarat pembentukan dan kepesertaaan pemilu partai politik paling mahal, rumit, dan kompleks di dunia. Partai harus punya kantor di seluruh provinsi, 75% kab/kota pada setiap provinsi, dan di 50% kecamatan pada kabupaten/kota. Partai politik pun harus punya jumlah anggota minimal 1.000 orang di setiap kabupaten/kota.

Modal dan struktur partai politik amat besar itu hanya bisa dilakukan segelintir elite. Partai politik sebagai sendi pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat menjadi eksklusif, bahkan diskriminatif. Eksistensi dan pengaruh partai politik cenderung dipertahankan melalui kekuasaan hasil pemilu dan korupsi politik. Pragmatisme partai politik menjadi konsekuensi dan gelagatnya adalah menjawab kebutuhan mempertahankan dan pengembalian modal dan struktur yang amat besar.

Memudahkan pembentukan partai politik dan kepesertaannya di pemilu menyertakan perubahan sistem pemilu akan signifikan memperbaiki pemilu dan demokrasi Indonesia. Partai politik akan inklusif dan bekerja secara melembaga dan terorganisir. Ideologi atau platform partai politik yang menjadi penghubung masyarakat sebagai pemilih akan menguat dan terjaga.

Peningkatan bantuan keuangan negara atau subsidi terhadap partai politik merupakan insentif perbaikan partai politik untuk menjadi inklusif dan lepas dari jerat kuat segelintir elite politik/pemodal. Subsidi selama ini terlalu kecil sehingga membuat kendali struktur organisasi partai politik dikuasai oligark. Peningkatan subsidi tentu saja menyertakan transparansi dan akuntabilitas kelembagaan dan keuangan partai politik. Pemberian subsidi secara bertahap menyertakan mekanisme reward/punishment dengan nilai yang signifikan menjadi bagian insentif perbaikan. []

TITI ANGGRAINI

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Democracy Ambassador The Global State of Democracy (GSoD)