Politik Indonesia masih didominasi oleh laki-laki. Di parlemen misalnya, dari total 560 kursi DPR, perempuan hanya mendapatkan 111 kursi (19.8%) untuk periode 2014-2019 (Inter-Parliamentary Union. Women in National Parliaments). Dari 16 partai politik peserta pemilu nasional 2019, 13 pucuk kepemimpinannya dipegang oleh laki-laki dan hanya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang angka keterwakilan perempuan di kepengurusan pusatnnya melampaui 50% (infopemilu.kpu.go.id 23/10/2018).
Ketentuan yang mengharuskan partai untuk menyertakan minimum 30% keterwakilan perempuan di kepengurusan pusat merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di Indonesia. Selain itu, partai juga wajib mengalokasikan 30% kuota pencalonan anggota legislatif untuk perempuan di setiap daerah pemilihan. Affirmative action ini mulai dicetuskan melalui Pasal 65 Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan terus diperkuat dari tahun ke tahun.
Terlepas dari upaya-upaya yang ada, tetap ada beberapa tantangan besar dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. Menurut Norris dan Lovenduski (1993), partai politik memiliki peran yang sangat krusial dan sentral dalam proses seleksi politisi perempuan. Dalam proses ini, partai politik dapat diibaratkan sebagai gatekeeper, yaitu pihak yang berwenang dalam menyaring calon-calon politisi perempuan dan juga menentukan nasibnya.
Ini dapat menjadi tantangan bagi upaya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen karena meskipun mempunyai kualitas dan kompetensi yang mumpuni, karir perempuan di politik tetap bergantung pada partai yang kepengurusannya masih didominasi oleh laki-laki. Dari sini dapat dilihat bahwa rekrutmen partai politik ditentukan oleh elit, bukan didasarkan pada merit system.
Maharddhika dalam “Berebut Nomor Urut di Sistem Pemilu Terbuka Terbatas” (rumahpemilu.org, 17/5/2017) menjelaskan, peran partai politik dalam menentukan nasib dan karir dalam pemilihan legislatif salah satunya tercermin dari kewenangan untuk menentukan daerah pemilihan dan nomor urut. Dengan digunakannya sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2019 nanti, para calon anggota legislatif akan berlomba-lomba untuk mendapatkan nomor urut pertama agar bisa mendapatkan limpahan suara dari pemilih yang mencoblos logo partai. Ini menjadi tantangan tambahan bagi perempuan.
Riset Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) menunjukkan bahwa hanya 140 dari 2.465 total calon legislatif perempuan (5.7%) yang ditempatkan partai di nomor urut 1. Selain dituntut untuk memiliki kemampuan yang mumpuni, “Perempuan juga dituntut harus bisa punya kemampuan untuk mendekati elit partai karena keputusan untuk menentukan nomor urut itu ada di tim pemenangan atau tim rekrutmen caleg. Saya yakin di semua partai itu sistemnya sentralisasi,”, tutur Sri Budi Eko Wardani.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun berbagai kebijakan affirmative action sudah diimplementasikan, upaya peningkatan keterwakilan perempuan di pemilu legislatif tahun 2019 masih menghadapi tantangan besar. Tantangan ini salah satunya datang dari internal partai yang mempunyai hak dan kewenangan untuk memutuskan segala sesuatu, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan proses rekrutmen dan pencalonan calon legislatif perempuan. Di sini, selain dituntut untuk memiliki kemampuan–skill, basis massa, modal ekonomi, dan sebagainya–mereka juga dituntut untuk bisa melakukan tawar-menawar dengan elit partai agar bisa mendapatkan dukungan dalam bentuk penempatan daerah pemilihan dan nomor urut yang menguntungkan.
Sangat disayangkan karena hal ini menggambarkan fakta bahwa sebelum bisa masuk ke dunia politik, perempuan masih harus mendapatkan approval dari elit yang berkuasa dan sangat bergantung pada keputusannya. Ini adalah salah satu alasan dari terhambatnya upaya peningkatan keterwakilan perempuan di Indonesia. []
DEWI MULYANI
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UI