Tinggal tersisa kurang dari 250 hari dari waktu pemungutan suara serentak di 270 wilayah di Indonesia. Pencoblosan pada 23 September 2020 berlangsung di sembilan provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten (Kompas, 20/1/2020).
Dari sisa waktu yang tinggal sedikit itu, publik rasanya masih disuguhi informasi yang kelabu. Mereka belum tahu siapa calon yang akan mereka pilih, padahal waktu yang tersisa semakin berkurang dari hari ke hari.
Akibatnya, pemilih kurang memiliki literasi politik siapa calon yang akan dipilih pada 23 September 2020. Dari sembilan provinsi, 37 kota dan 224 kabupaten yang menyelenggarakan Pilkada 2020, situasinya makin terkesan “adem ayem”, ibarat mesin belum ada pemanasan, kecuali pilkada di wilayah tertentu karena isu dinasti politik.
Sebut saja perebutan bakal calon untuk wali kota Solo, Medan, dan Tangerang Selatan. Di ketiga wilayah itu ada calon dari anak dan menantu Presiden dan Wakil Presiden sehingga menjadi magnet pemberitaan media. Selebihnya, dinamika Pilkada 2020 belum terasa.
Walaupun suhu politik belum memanas, Pilkada 2020 dimungkinkan akan mengalami tantangan yang tidak terlalu berbeda dengan pilkada-pilkada serentak sebelumya, 2015, 2017, dan 2018. Setidaknya ada sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi oleh penyelenggara pilkada dan masyarakat pemilih agar pilkada serentak bisa didorong ke arah yang lebih berkualitas.
Walaupun suhu politik belum memanas, Pilkada 2020 dimungkinkan akan mengalami tantangan yang tidak terlalu berbeda dengan pilkada-pilkada serentak sebelumya, 2015, 2017, dan 2018.
Demokrasi “semu” internal partai
Belajar dari penyelenggaraan pilkada serentak 2015, 2017 dan 2018, dinamika politik pilkada akan diwarnai oleh riuh rendahnya kandidasi calon kepala daerah di masing-masing partai. Kisaran masalahnya masih akan relatif sama, partai mana yang memiliki tiket pencalonan dan partai mana yang harus berkoalisi. Koalisi pun tak akan berbasis platform atau ideologi, tetapi lebih pada kepentingan sesaat.
Tak berhenti di situ saja, terhadap partai yang sudah memiliki tiket pencalonan pun, partai juga dihadapkan pada masalah, siapa yang akan dicalonkan. Umumnya setiap partai sudah memiliki kriteria pencalonan, tetapi semua sudah mafhum, faktor elektabilitas dan faktor “gizi” menjadi pertimbangan utama partai dalam mengusung calon.
Dari sisi prosesnya, ada beberapa pola demokrasi internal partai dalam kandidasi. Pertama, pola terpusat, di mana pengurus di tingkat provinsi dan/atau kabupaten/kota hanya mengajukan calon kepada dewan pengurus pusat (DPP). Pengurus pusatlah yang menjadi penentu. Pola kedua adalah pola pengusulan dari bawah yang sudah mengerucut pada satu nama yang kemudian nama tersebut disahkan oleh pengurus DPP.
Pola ketiga adalah pola penunjukan di mana pengurus DPP atau khususnya ketua partai langsung menentukan calon tanpa melibatkan pengurus di tingkat bawah. Pola ini umumnya dilakukan terhadap calon-calon yang berasal dari luar partai, tetapi dianggap berpotensi bisa menjadi pemenang pilkada.
Pola terakhir adalah pola borongan di mana semua parpol sepakat terhadap salah satu calon akibat elektabilitasnya yang sulit ditandingi calon lain sehingga nama tersebut dicalonkan oleh hampir seluruh partai. Inilah yang memicu munculnya fenomena calon tunggal pada pilkada serentak.
Koalisi pun tak akan berbasis platform atau ideologi, tetapi lebih pada kepentingan sesaat.
Dalam konteks pencalonan kepala daerah, hampir sulit menemukan partai melakukan desentralisasi kewenangan. Kesulitan itu sebagai dampak anomali proses nominasi dan seleksi calon kepala daerah sebelumnya, yang justru ketika desentralisasi ke pengurus di tingkat provinsi dan/atau kabupaten/kota diberikan, yang terjadi ialah timbulnya konflik akibat kandidasi dikangkangi oleh kepentingan ketua umum di tingkat provinsi dan/atau kabupaten/kota karena mencalonkan dirinya sendiri, atau mencalonkan orang dekatnya, serta mencalonkan keluarga (dinasti politik).
Situasi demikian menyebabkan desentralisasi kewenangan “dihentikan” dan pengurus pusat partailah yang menetapkan sehingga konflik kepentingan dalam kandidasi dan seleksi dapat dihindari. Fenomena tersebut mengindikasikan para elite partai sebenarnya “belum siap” menerapkan prinsip dasar kandidasi dan seleksi calon kepala daerah yang seharusnya demokratis. Mereka lebih memilih cara musyawarah/mufakat agar lebih murah dan gampang supaya tidak menimbulkan konflik politik, kontroversi, dan menjamin kepentingan politik kelompok tertentu.
Alasan konsolidasi partai agar dinamika politik tak “membelah” sehingga kader partai dapat secara gotong royong dan bersama-sama bekerja dan sama-sama kerja sama memenangkan calon kepala daerah. Itu penyebab proses seleksi dan kandidasi tak bisa lepas dari tawar-menawar dalam bentuk biaya sewa perahu (mahar politik) karena penentunya di tangan segelintir orang.
Anomali elektoral
Harus diakui munculnya gagasan calon independen kepala daerah hasil amendemen UUD 1945 patut diapresiasi sebagai wadah bagi publik untuk mengusung calon kepala daerah alternatif. Masalahnya, pencalonan calon independen terbelenggu administrasi elektoral pilkada. Belenggu elektoral itu akibat adanya syarat dukungan sesuai jumlah penduduk dengan batas minimal 6,5 persen dan maksimal 10 persen dari jumlah penduduk yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Calon independen kepala daerah semakin sulit untuk memenuhinya. Ternyata untuk menyiapkan berkas administrasi diperlukan dukungan biaya tak sedikit. Sebagai ilustrasi, jumlah pemilih dalam DPT Kabupaten Blitar sebanyak 113.544 pemilih (DPT Pemilu 2019) sehingga seorang calon independen minimal harus memperoleh dukungan 11.354 pemilih yang tersebar di 50 persen kecamatan.
Bila setiap fotokopi KTP harus disertai surat pernyataan dukungan bermeterai Rp 6.000, calon harus menyiapkan dana sekitar Rp 68 juta. Belum ditambah dengan fotokopi dan syarat-syarat lain. Sebaran dukungan itu akan diverifikasi dan jika ada satu saja syarat dukungan tak sesuai, calon akan dianggap gugur.
Belenggu elektoral itu akibat adanya syarat dukungan sesuai jumlah penduduk dengan batas minimal 6,5 persen dan maksimal 10 persen dari jumlah penduduk yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Proses elektoral dalam pilkada yang idealnya tak rumit, kompleks, dan mahal berubah jadi jalan terjal akibat rezim administrasi elektoral. Menurunnya calon kepala daerah dari jalur independen, sebagaimana terjadi di Pilkada 2017 dan 2018, menunjukkan ada yang “salah” yang perlu dikoreksi dan direvisi.
Distorsi elektoral itu merupakan wujud anomali atas perintah konstitusi hasil amendemen UUD 1945 yang kemudian dipersulit oleh para pembuat UU. Dalam UU No 10 Tahun 2015 jelas ada nuansa pembatasan oleh para pembuat UU terhadap eksistensi calon independen. Akibatnya, calon-calon yang dianggap layak, bagus, baik, berintegritas, dan memiliki kemampuan secara politik dan administrasi pemerintahan tidak saja merasa kesulitan untuk lolos sebagai calon, tetapi juga terbebani oleh biaya yang tak terukur dan menjadi sangat mahal.
Proses demikian tak lepas pula dari problem perilaku pemilih kita. Harus diakui, perilaku pemilih kita semakin transaksional karena sebagian besar masih meminta “imbalan”. Selain persoalan politik uang (money politics), perilaku pemilih juga masih terlibat dan dilibatkan dalam narasi-narasi politik yang kurang baik, seperti kampanye hitam, penyebaran berita bohong (hoaks), penggunaan isu suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA), serta isu-isu negatif lain.
Literasi politik pemilih masih kental oleh isu yang terus berulang yang diproduksi oleh calon, tim kampanye, hingga kelompok simpatisan politik calon tertentu. Perubahan orientasi perilaku pemilih yang kian oportunis dan materialistik menyebabkan penyelenggaraan pilkada “ternodai” praktik jual beli dukungan politik. Tidaklah heran apabila dalam pilkada serentak yang telah dilakukan tiga kali, 2015, 2017, dan 2018, tak terlalu banyak perubahan yang terjadi.
Harus diakui, perilaku pemilih kita semakin transaksional karena sebagian besar masih meminta “imbalan”.
Proses elektoral pilkada masih ditandai sejumlah fakta memprihatinkan, seperti maraknya dinasti politik, menguatnya oligarki partai, kentalnya politik SARA, meningkatnya politik transaksional, hingga perilaku elite partai, calon, tim kampanye dan pemilih yang tak masuk akal. Semua bentuk anomali politik dan perilaku politik itu akan berpengaruh ke masa depan kepemimpinan politik kita di tingkat lokal dan masa depan demokrasi lokal yang kian memprihatinkan.
Kemasan pilkada serentak yang diharapkan bisa mengubah wajah politik lokal yang lebih baik, diakui atau tidak, masih terkendala berbagai persoalan yang terus berulang. Tragisnya, persoalan berulang itu masalah lama, hanya kemasan dan citranya berbeda, tetapi substansi tetap sama: anomali politik.
MOCH NURHASIM, Peneliti pada Pusat Penelitian Politik-LIPI
Dikliping dari artikel yang terbit di Harian Kompas https://kompas.id/baca/opini/2020/01/22/tantangan-pilkada-2020/