August 8, 2024

Telaah Putusan DKPP terhadap Evi Novida Ginting

Universitas Sumatera Utara (USU) mengundang tiga pakar pemilu dan hukum tata negara pada webinar “Keadilan bagi Penyelenggara Pemilu, Mengkaji Ulang Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) No.317 Tahun 2020” (15/5). Putusan tersebut adalah putusan yang memberhentikan tetap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2017-2022, Evi Novida Ginting, atas perkara yang diajukan oleh Hendri Makaluasc terkait hasil pemilihan umum. (Baca selengkapnya: https://rumahpemilu.org/anggota-kpu-ri-evi-novida-ginting-diberhentikan-tetap-dkpp/).

Syarat kuorum rapat pleno pengambilan keputusan DKPP tidak terpenuhi

Dalam desain lembaga penyelenggara pemilu, DKPP adalah lembaga yang menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. DKPP termasuk penyelenggara pemilu, sehingga anggotanya, dalam menjalankan tugas dan wewenang, wajib memegang prinsip-prinsip penyelenggara pemilu yang tertuang di dalam Pasal 3 Undang-Undang (UU) No.7/2017. Diantara prinsip-prinsip itu yakni, mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, dan terbuka.

Dalam mengambil keputusan terhadap suatu perkara, Pasal 1 angka 36 Peraturan DKPP No.3/017 mengatur agar rapat pleno dihadiri oleh 7 orang anggota DKPP. Dalam keadaan tertentu, rapat pleno boleh hanya dihadiri oleh 5 anggota. Namun, tak ada satu pun aturan di dalam Peraturan DKPP yang menyebutkan rapat pleno boleh dihadiri oleh kurang dari 5 orang. Putusan DKPP No.317/2020 diambil oleh 4 orang.

“Kalau kita baca semua Peraturan DKPP yang mengatur hukum acara penanganan pengaduan kode etik penyelenggara pemilu, tidak ada sama sekali peraturan yang mengatur bahwa rapat pleno bisa dihadiri oleh lebih sedikit dari 5 orang,” tandas Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, pada webinar tersebut.

Selanjutnya, Pasal 30 ayat 1 menormakan, apabila anggota DKPP ex officio KPU atau Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menjadi teradi, maka mereka tak dapat menjadi majelis. Pada perkara No.317, anggota DKPP ex officio KPU, Hasyim Asyarie menjadi salah satu teradu sehingga Hasyim tak boleh menjadi majelis. Sedangkan ex officio Bawaslu, Rahmat Bagja, menjadi pihak terkait.

“Nah kalau orang jadi pihak terkait, apa dia tidak boleh ikut dalam rapat pleno? Kalau dia ikut memberi keputusan kan lain lagi ya. Nah, di Peraturan DKPP, tidak ada aturan yang melarang anggota DKPP dari unsur Bawaslu untuk ikut dalam rapat pleno yang memutus pelanggaran kode etik, dimana Bawaslu menjadi lembaga terkait. Kan bisa saja orang hadir untuk memenuhi syarat kuorum, tapi mengatakan abstain karena dia pihak terkait,” urai Titi.

Dengan demikian, Titi memandang, rapat pleno tersebut tidak memenuhi syarat kuorum. Jika rapat hanya dihadiri oleh 4 orang, maka perbuatan DKPP melanggar prinsip kepastian hukum dan tertib dalam UU Pemilu.

“Rapat pleno yang hanya dihadiri oleh 4 orang anggota DKPP adalah perbuatan tidak berdasar hukum dan melangggar prinsip berkepastian hukum dan tertib yang diatur di Pasal 3 UU 7/2017,” ujarnya.

Pandangan Titi senada dengan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari. Menurutnya, dalam hukum tata negara, jika syarat kuorum tak terpenuhi, maka pihak-pihak yang melangsungkan rapat pleno pengambilan keputusan dianggap tidak memiliki wewenang untuk memutuskan. Prosedur yang ditetapkan yakni, kuorum terpenuhi lebih dulu untuk mendapatkan wewenang pengambilan keputusan.

“Pertanyaannya, kalau dia hanya berwenang dengan kuorum, kalau tidak kuorum, apa dia berwenang? Maka dalam rumusan UU No.30/2014, dikatakan tidak berwenang. Harus penuhi kuorum dulu, baru punya kewenangan. Sesuatu yang dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya mengalami cacat procedural, dianggap batal demi hukum,” kata Feri.

Sejumlah kesalahan formil dan materil

Tim Advokasi Penegak Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Heru Widodo, mencatat Putusan DKPP No.317/2020 juga cacat formil dan materi. Cacat formil karena perkara telah dicabut oleh pengadu, Hendri Makaluasc, tak pernah ada dalil yang disampaikan teradu di persidangan, Evi Novida sebagai teradu tak pernah diberikan kesempatan untuk memberikan jawaban, tak ada alat bukti, dan tak ada saksi. Anehnya, kata Heru, DKPP tak mengeluarkan ketetapan, melainkan putusan.

“Biasanya, perkara yang dicabut dikeluarkan ketetapan, tapi ini bentuknya putusan. Dan dalam pertimbangan hukum yang dikeluarkan DKPP, seolah-olah sudah ada pembutkian yang dilengkapi dari pengadu dan teradu,” jabar Heru.

Sementara itu, cacat materil karena dalam pokok permohonan yang disampaikan oleh pengadu, tak ada rumpun pelanggaran kode etik yang disebutkan. Heru pun mengkritisi munculnya kata “intervensi” dalam pertimbangan hukum Putusan DKPP No.317/2020, sebab kata itu tak ada di dalam permohonan pengadu.

“Pengadu, ketika belum mencabut aduannya, tidak pernah menyebutkan kata intervensi, tapi tiba-tiba muncul di pertimbangn hukum DKPP. Ada cerita teradu 1 sampai 7 mengintervensi. Ini fakta ini dari mana diambil? Kok bisa ada peristiwa hukum di luar sidang, di luar aduan pengadu?” tukas Heru.

Putusan MK yang tidak terang benderang

Dari telaah Putusan MK No.154/2020 yang dilakukan oleh Titi, Putusan MK memang tidak membatalkan Keputusan KPU terkait penetapan suara dan hasil pemilu. Putusan tersebut hanya menambah suara pemohon, Hendri Makaluasc, sebanyak 59 suara, dan tidak menyatakan perolehan suara final yang didapatkan oleh Makaluasc dan Cok Hendri Ramapon, caleg yang dipersoalkan dalam kasus yang sama. Sebabnya, Makaluasc tidak meminta MK untuk mengoreksi perolehan suara caleg lainnya.

“Kalau di banyak putusan MK yang lain, ketika ada suara terdampak, dia menyebutkan perolehan suara partai menjadi segini, suara caleg jadi segini. Nah, di Putusan ini, MK tidak eksplisit membenarkan suara Cok Hendri Ramapon dikurangi dua ribu lebih. Beda dengan putusan Hajah Kasumi, bahwa 4 suara yang ditambahkan ke dia diambil dari suara calon lain. Nah, MK di sini, MK tidak menjelaskan 59 suara itu dia ambil dari mana,” jelas Titi.

Sebab Putusan MK No.154/2019 tidak terang benderang, Titi memaklumi jika terdapat perbedaan tafsir putusan MK diantara penyelenggara pemilu mengenai asal-muasal 59 suara yang diberikan kepada Makaluasc.

DKPP tak berwenang mengadili perbedaan tafsir MK

KPU merupakan lembaga yang berwenang mengeksekusi Putusan MK terhadap hasil pemilihan umum. KPU, menurut Titi, tak dapat dipermasalahkan secara etik dalam eksekusi Putusan MK, kecuali dalam pelaksanannya, KPU mendapatkan bisikan dari pihak lain. Dalam hal ini, DKPP hanya berwenang mengadili pelanggaran etik anggota KPU, bukan mengadili keputusan yang diambil oleh KPU dalam rangka melaksanakan Putusan MK.

“DKPP tidak boleh memutuskan sengketa atas keputusan yang diambil KPU. Kecuali kalau KPU dalam eksekusi kewenangannya itu, bisa kita buktikan, dia menerima kickback dari pihak lain,” tandas Titi.

Menambahkan argumentasi Titi, Feri Amsari menilai DKPP juga tak berwenang memaknai lebih Putusan MK. DKPP tak dapat memaksa KPU untuk menafsirkan siapa yang berhak duduk di parlemen, sebab Putusan MK No.154/2019 tak menunjuk langsung pihak yang berhak duduk di parlemen.

“KPU memang tidak boleh melebihi makna MK. Oleh karena itu, DKPP tidak boleh juga mamaksakan KPU untuk menafsir lebih dalam pembuatan kebijakannya. Malah, kalau KPU memaknai lebih, KPU merasa ini tindakan tidak etis, jangan-jangan dihukum oleh DKPP. Ini  sebaliknya terjadi, ketika KPU melaksanakan utuh, oleh DKPP dianggap tidak etis. DKPP mencoba memaknai Keputusan MK secara berlebihan,” terang Feri.

Prinsip kolektif kolegial

KPU, oleh kosntitusi, dirancang sebagai lembaga auxiliary atau lembaga bantu yang keputusan diambil secara kolektif kolegial. Oleh karena itu, meski terdapat ketua divisi dan koordinator wilayah, keputusan tetap diambil secara kolektif. Dengan konsep ini, maka tindakan dan kebijakan KPU tak dapat dipandang sebagai kebijakan personal, melainkan kelembagaan.

Feri pun melihat, pemohon perkara No.317 kepada DKPP juga memahami makna kolektif kolegial sebagai keputusan yang diambil bersama dengan disebutnya teradu 1 sampai teradu 7. Ia menilai Putusan DKPP yang memberhentikan Evi Novida karena dianggap memiliki tanggungjawab lebih sebagai Ketua Divisi Teknis dan Koordinator wilayah Kalimantan Barat sebagai tindakan yang salah memahami makna kolektif kolegial dan tak berkeadilan.

“Di dalam pertimbangan putusan ini, setelah menyebutkan dalil-dalil pengadu, tindakan-tindakan yang dilakukan KPU, tiba-tiba di dalam putusan itu direspon tanggungjawab personal. Anehnya, ada tafsir soal kolektif kolegial di tubuh KPU. Penjelasan dalam pertimbangan hukum DKPP, meskipun KPU bersifat kolektif kolegial, namun dalam hal ini, pada dasarnya tidak kolektif kolegial karena ada divisi khusus yang menentukan sendiri kebijakan kelembagaan. Dari mana dasar hukumnya bahwa kebijakan hukum itu ditetapkan divisi? Tidak ada dalam pertimbangan hukum DKPP,” tegas Feri.

Feri kemudian menyampaikan, bahwa dalam konsep kolektif kolegial, seorang yang dominan pun tak dapat menentukan kebijakan sendirian. Sebab, kebijakan itu diambil bersama-sama. Menurut Feri, jika DKPP memutuskan Evi perlu diberhentikan sementara teradu yang lain hanya peringatan keras terakhir, mesti ada perbedaan mencolok seperti Evi terbukti melakukan komunikasi dengan pihak lain atau menerima suap. Perbedaan mencolok itu tak terbukti dalam persidangan.

“Misal dibuktikan bahwa ternyata diantara teradu 1 sampai 7, teradu 7 satu-satunya yang menerima uang. Ini kan tidak ada di perkara itu. Jadi, apa alasan pemberatnya? Kalau posisi divisi, semua punya divisi masing-masing dan divisi tidak berhak menetukan, kecuali rapat pleno,” ucapnya.

Solusi mencari keadilan pemilu bagi Evi

Sebagai solusi keadilan, Feri memandang bahwa gugatan dapat diajukan kepada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam gugatan yang diajukan, Evi direkomendasikan untuk menekankan bahwa tindakan yang diambil oleh KPU merupakan tindakan kolektif kolegial, bukan tindakan personal. Keputusan Presiden yang memberhentikan Evi dapat menjadi objek gugatan di PTUN.

“Putusan DKPP memang tidak bisa jadi objek PTUN, yang dipersoalkana adalah surat keputusan presiden. Bahwa keputusan yang tidak jelas prosesnya, secara administrasi maka akan bermasalah,” tutur Feri.