Sebelum dibolehkannya kampanye terutama iklan kampanye di media sosial, Koalisi untuk Etika Media Sosial yang terdiri dari beberapa organisasi masyarakat sipil, meluncurkan “Pedoman Kampanye Politik di Media Sosial” yang di dalamnya ada pemetaan mengenai risiko yang paling rentan terjadi selama masa kampanye. Pemetaan risiko tersebut adalah proyeksi yang dilandaskan pada, pertama, kemungkinan untuk diatasi melalui kebijakan, inisiatif, dan konsensus. Kedua, pengaruh terhadap kredibilitas dan kualitas demokrasi.
Terdapat temuan-temuan yang riil terjadi berkaitan dengan risiko yang telah dipetakan sebelumnya—terutama soal hoaks dan disinformasi serta iklan kampanye di media sosial pada tahapan kampanye Pilkada 2020.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), salah satu organisasi masyarakat yang tergabung dalam koalisi tersebut, melakukan pemantauan di lima daerah yang menjadi bagian dari Pilkada 2020 dan memiliki penetrasi internet yang tinggi. Beberapa pelanggaran yang menjadi temuan awal dari ELSAM termasuk: penayangan iklan dari bulan Oktober, iklan tanpa penafian (disclaimer) mengenai siapa yang membayar iklan tersebut, dan iklan kandidat politik yang dilakukan oleh media online.
“Kami masih menemukan iklan tanpa informasi siapa yang membayar iklan tersebut tayang di Facebook. Meskipun sudah tidak aktif, iklan tersebut telah reach out ke sekitar 7000 pengguna,” kata Alia Yofira, peneliti ELSAM dalam diskusi “Temuan Awal Kampanye Media Sosial Pilkada 2020” (6/12).
Soal iklan kampanye di media sosial, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga memaparkan beberapa temuan seperti iklan kampanye yang dilakukan di luar jadwal, penggunaan ragam kategori akun di luar yang sudah ditentukan untuk iklan kampanye berbayar, serta realita belanja iklan yang tidak sinkron dengan laporan dana kampanye kandidat.
Selain soal iklan kampanye berbayar, terdapat temuan lain mengenai hoaks. Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) menemukan ada 47 hoaks dari jumlah artikel periksa fakta dalam rentang waktu 27 April 2020 sampai dengan 2 Desember 2020.
“Hoaks tersebut didominasi oleh konten palsu atau sesuatu yang diada-adakan sebanyak 34 persen,” kata Aribowo Sasmito, Ketua Factchecking MAFINDO di diskusi yang sama (6/12).
Selain konten palsu, MAFINDO juga menemukan konten yang dimanipulasi sebanyak 23.4 persen, konten yang menyesatkan sebanyak 21.3 persen, konten yang salah sebanyak 17 persen, konten tiruan sebanyak 2.1 persen, serta konten satire 2.1 persen.
Bawaslu juga memaparkan data temuan KOMINFO selama masa Pilkada 2020, terdapat 45 isu hoaks, total 105 iklan kampanye yang aktif selama masa kampanye, 220 jumlah URL yang di minya untuk take down. Terdapat 193 URL yang melanggar pasal 69 huruf c UU Pilkada mengenai ‘menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat; 10 URL melanggar pasa 62 PKPU 13/2020 perihal kampanye di luat jadwal; 15 URL yang melanggar pasal 69 huruf b UU Pilkada mengenai penghinaan seseorang berlandaskan agama, suku, ras, golongan, paslon dan/atau Partai Politik; dan terakhir, 2 URL melanggar pasal 28 UU ITE tentang penyebaran berita bohong.
Diskusi yang terbuka untuk publik ini dihadiri oleh Agus Sudibyo selaku Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negri; Fritz Edward Siregar, SH, LL.M PhD, selaku Komisioner Bawaslu; serta Noudhy Valdryno mewakili Facebook Indonesia
Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa risiko-risiko yang dipetakan benar terjadi dan akan sangat membahayakan demokrasi jika tidak ditangani serius. Risiko-risiko ini menjadi panggilan darurat bagi pembuat kebijakan agar menyiapkan aturan yang jelas yang bisa memitigasi risiko-risiko dalam media sosial.
Koalisi berharap “Pedoman Kampanye Politik di Media Sosial” menjadi embrio untuk pengaturan media sosial, terutama yang digunakan pada saat kampanye. Pengaturan dibutuhkan bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi tapi menjadikan media sosial itu ruang yang sehat bagi pemilih mengakses atau mendapatkan informasi yang setara dan juga jelas tentang penyelenggaraan pemilu maupun kandidat-kandidat yang akan mereka pilih—atau bahkan menjadi ruang dialog—agar demokrasi ke depan juga tetap sehat.