Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bersama Komisi untuk Orang Hilang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) dan ILab meluncurkan aplikasi Mata Massa sebagai alat pelaporan temuan kekerasan dalam Pemilu 2019. Mata Massa yang telah ada sejak Pemilu 2014 ditujukan untuk memudahkan masyarakat dalam melaporkan temuan tindak kekerasan dalam Pemilu 2019.
“Mata Massa didesain untuk memudahkan masyarakat, agar masyarakat mau berpartisipasi melaporkan,” kata Direktur ILab, Nanang Syaifudin, pada acara peluncuran Mata Massa di Media Centre Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Gondangdia, Jakarta Pusat (13/3).
Nanang menjelaskan, untuk melaporkan temuan, masyarakat hanya perlu menempuh empat langkah. Pertama, mengisi judul laporan. Kedua, menjelaskan deskripsi temuan. Ketiga, mengisi lokasi kejadian. Keempat, mengunggah bukti temuan.
Laporan yang dikirimkan ke Mata Massa akan diverifikasi faktual dengan memeriksa langsung ke lapangan. Setelah diverifikasi dan dinyatakan masuk dalam kategori kekerasan dalam pemilu, laporan akan ditampilkan pada laman Mata Massa. Selanjutnya, laporan diteruskan ke Bawaslu untuk ditindaklanjuti.
“Akan ada proses verifikasi, yaitu memproses laporan-laporan dari masyarakat. Verifikaisnya ke lapangan. Baru kemudian ada approval, sehingga bisa tampil di situsnya Mata Massa,” jelas Nanang.
Aplikasi Mata Massa merupakan aplkasi berbasis peta. Alasannya, agar jika laporan telah diverifikasi dan diterima, aplikasi dapat memberikan gambaran sebaran kasus kekerasan dalam pemilu berdasarkan wilayah.
Mata Massa dapat diakses melalui laman www.matamassa.org dan segera dapat diunduh via Playstore. Masyarakat tak perlu takut untuk melaporkan, sebab identitas pelapor akan dirahasiakan.
“Mata massa menjamin kerahasiaan pelapor. Siapa dia, alamatnya dimana, nomer telpon, itu dijaga. Mata Massa membutuhkan data pelapor karena akan melaporkan lagi ke Bawaslu, tapi data ini akan dirahasiakan,” tandas Nanang.
Bawaslu diharapkan bersedia untuk menyambungkan sistem Gowaslu dengan Mata Massa. Dari berbagai bentuk pelanggaran pemilu, kekerasan merupakan bentuk pelanggaran yang dinilai paling penting mendapat perhatian.
“Dalam kompleksitas pemilu ini, justru kekerasan pemilu ini yang paling penting. Karena, selain berdampak langsung pada hak politik, juga sangat signifikan mengubah hasil pemilu,” ujar Peneliti Perludem, Usep Hasan Sadikin.
Aturan mengenai kekerasan dalam pemilu tertuang dalam Pasal 280 ayat (1) huruf f dan g Undang-Undang (UU) Pemilu. Aturan menyebutkan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan atau peserta pemilu yang lain, serta dilarang merusak dan atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta pemilu.
Sanksi atas tindak kekerasan dalam pemilu tertuang pada Pasal 511 dan 531. Pasal 511 memberikan sanksi pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak 36 juta rupiah bagi setiap orang yang dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan, atau dengan menggunakna kekuasaan yang ada padanya, menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih. Dan Pasal 531 menghukum setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan, dan atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketentraman pelaksanaan pemungutan suara, atau menggagalkan pemungutan suara, dengan sanksi pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah.