October 8, 2024

The Edge of Democracy dan Reformasi yang Dikorupsi

Media sosial, sejak publikasi para pemenang Oscars, ramai dengan postingan terkait film Parasite, Joker, The Irishman, dan Toy Story 4. Banyak yang mengucapkan selamat kepada Bong Jon-hoo, sutradara Parasite, seraya menyerukan pembelaan terhadap orang-orang miskin yang hidup terjepit dalam sistem kapitalisme. Lebih sedikit postingan yang berani ugal-ugalan melawan euforia Parasite is absolutely the best movie. Saya pribadi, memberanikan diri untuk sekonyong-konyong mengatakan sedih Ford versus Ferrari kalah dari Parasite, film yang bagus pula hingga saya tonton dua kali. Tak ada yang memprotes atau mem-bully. Barangkali cukup bijaklah kata-kata yang saya pilih dalam postingan, sehingga orang berpikir “Ah sudahlah, itu soal rasa dan perspektif personal saja.”

Sebagai informasi, seperti tahun-tahun sebelumnya, penghargaan Oscars tahun 2020 diberikan kepada pemenang dari beragam kategori, diantaranya film feature, animasi, dan dokumenter terbaik.  Untuk kategori yang disebutkan terakhir, American Factory keluar sebagai jawara. Lagi-lagi, favorit saya beda dengan penilaian Oscars. American Factory memang bagus dan isu didalamnya layak menjadi bahan diskursus, tetapi tak semembekas itu seperti halnya dengan The Edge of Democracy untuk saya.

Sebagai seorang pegiat demokrasi yang bekerja pada isu elektoral dan demokrasi saban hari, The Edge of Democracy yang menceritakan tentang perjalanan demokrasi di Brazil terasa amat relevan dengan kondisi di Indonesia. Film itu diawali dengan aksi bentrok antara pengunjuk rasa pendukung Lula da Silva dengan pendukung partai sayap kanan, Partido do Movimento Democrático Brasileiro (PMDB). Pendukung Lula, pemimpin Partai Pekerja Brazil, mendorong agar Lula tak dipenjara atas kasus Car Wash. Sementara pendukung PMDB lantang meneriakkan slogan “Lula, Out with PT”. PT merupakan kepanjangan dari Partido dos Trabalhadores atau Partai Pekerja.

Plot kemudian dilanjutkan dengan kilas balik perjuangan melawan rezim otoritarian yang telah bertahan selama 20 tahun. Rekaman perlawanan membuat bulu kuduk merinding, sebab perjuangan reformasi menghadapi penyiksaan, terror, dan memakan korban jiwa. Reformasi menjadi latar naiknya popularitas Lula yang saat itu menjadi tokoh pergerakan kaum pekerja dan miskin kota. Tuntutan reformasi berhasil, rakyat Brazil kini dapat memilih presidennya secara langsung melalui pemilu. Terus merangkak, Partai Pekerja akhirnya memenangkan calon presidennya, Lula, meski perolehan kursi partai di parlemen tidak menjadi mayoritas.

Terpilihnya Lula, dikisahkan oleh narator yang merupakan seorang jurnalis, faktanya tak banyak mengubah sistem yang korup, sebagaimana dijanjikan dan selalu ditentang oleh Lula bersama Partai Pekerja. Ketidaksanggupan Lula melawan oligarki yang ternyata mendanai kampanyenya, bahkan menjadi sebab ia beraliansi dengan partai terkuat di parlemen, PMDB. PMDB disebut dalam film ini sebagai oligarki tua di Brazil.

Meski demikian, Lula berhasil memperbaiki keadaan ekonomi Brazil. 20 juta orang lolos dari garis kemiskinan. Brazil bertransformasi sebagai negara dengan ekonomi terbesar ketujuh di dunia. Bahkan, ekonomi Brazil sanggup mendanai program Bolsa Familia, dimana negara memberikan bantuan keuangan sebesar 30 dolar per bulan untuk keluarga termiskin di Brazil. Singkat kata, Lula dicintai oleh rakyat miskin dan kelas pekerja Brazil atas kepeduliannya pada rakyat kecil, sekalipun ia gagal mereformasi sistem politik sebagaimana yang dijanjikan.

Turun dari jabatan, Lula digantikan oleh kawan seperjuangannya di Partai Pekerja, Dilma Rousseff, pada Pemilu 2010. Dilma mengeluarkan kebijakan menurunkan suku bunga bank untuk merangsang usaha kecil menengah. Namun tak disangka, kebijakan tersebut dipandang merugikan para oligark pemilik bank sehingga melakukan serangan terhadap Dilma. Ekonomi yang terus mengalami krisis, serta bocornya rekaman percakapan antara Dilma dan Lula⸻Dilma melindungi Lula dari skandal Car Wash⸻akhirnya membuat Dilma diberhentikan dari jabatan presiden melalui skema impeachment.

Film berangsur berakhir seiring dengan redupnya kuasa Partai Pekerja. PMDB, partai yang terkenal oligarkis, kerap melakukan praktik klientelisme, tak segan menggerakkan aparat bersenjata untuk menciptakan stabilitas nasional⸻bahkan turut terlibat dalam skandal Car Wash dan impeachment Dilma⸻kini berkuasa kembali. Seorang politisi yang tak malu menunjukkan pesan-pesan fasistik(INews.co.uk dan Independent.co.uk), Jail Bolsonaro, bahkan memenangkan Pemilu Brazil 2018.

Film ini ditutup dengan puisi yang membuat saya merinding. Adapun puisi itu begini bunyinya dalam bahasa Indonesia yang saya terjemahkan:

Seorang penulis Yunani mengatakan bahwa demokrasi hanya benar-benar bekerja kala orang kaya merasa terancam

Namun sebaliknya, oligarki mengambil alih

Dari ayah kepada anak, dari anak kepada cucu, dari cucu kepada cicit, dan seterusnya

 

Kita adalah republik keluarga

Beberapa menguasai media, yang lain mengontrol bank

Mereka yang memiliki pasir, batu, dan besi

Dan seringkali, mereka bosan dengan demokrasi, pada aturan hukumnya

 

Bagaimana kita menghadapi rasa sakit karena telah terlempar ke masa depan yang terlihat lebih suram dari masa lalu kita yang paling gelap?

Apa yang akan kita lakukan kala topeng kesopanan telah jatuh dan yang muncul justru adalah citra diri kita yang semakin berhantu?

Di mana kita mengumpulkan kekuatan untuk berjalan menyusuri reruntuhan dan memulai yang baru?

 

Puisi tersebut membuat saya ngeri jika dipikir sembari mengingat perjalanan demokrasi Indonesia akhir-akhir ini. Namun sebelum sampai ke situ, saya ingin mengutarakakan bahwa The Edge of Democracy arahan surtradara Petra Costa, membuat saya menyimpulkan dua hal. Pertama, bahwa reformasi tanpa mengeliminasi oligarki akan sulit menciptakan demokrasi yang sehat. Malahan, pemerintahan terpilih akan tersandera oleh kepentingan oligarki yang diuntungkan oleh demokrasi liberal dimana politik berbiaya mahal menjadi salah satu ciri khasnya. Hal ini terjadi pada Partai Pekerja Brazil. Meski aktor-aktor utama reformasi berupaya merubah sistem yang korup, namun parlemen yang masih dicengkram oleh oligarki lama membuat presiden akhirnya berkompromi demi berjalannya program pemerintahan.

Kedua, regulasi yang buruk dibidang politik, ditengah besarnya kesenjangan ekonomi, lama kelamaan akan memunculkan pemerintahan korup nan transaksional, pun menjadi ladang subur bagi tumbuhnya politik dinasti. Benarlah barangkali thesis Winters dalam bukunya Oligarchy (2011) bahwa oligarki memang muncul akibat tiadanya distribusi ekonomi yang merata. Regulasi atau hukum menjadi alat oligark untuk mempertahankan kekuasaannya yang bersumber dari kekayaan. Memang, tak seperti sumber kekuasaan elit, sumber kekuasaan oligarki adalah khas kekayaan material. Oligarki dapat menggunakan kekerasan ataupun tidak, bergantung pada sejauh mana negara memberikan proteksi pada privilege yang dimilikinya.

Ujung demokrasi Indonesia?

Di Indonesia, telah ada film pendek dokumenter bertema demokrasi dan ekonomi-politik seperti Reformasi Dibajak, Jakarta Unfair, Korupsi Abadi di Negeri Setengah Hati, Rayuan Pulau Palsu, Sexy Killers, Reformasi Dikorupsi, dan Mosi Tidak Dipercaya produksi Watchdoc Documentary. Film-film yang memotret kondisi Indonesia ini berhasil diputar di kampus-kampus dan forum-forum diskusi kaum muda di berbagai kota. Barangkali, film ini pulalah⸻kecuali film-film yang baru muncul setelah demonstrasi September 2019⸻yang menggerakkan milenial, dari mahasiwa, pekerja, hingga pelajar Sekolah Teknik Mesin (STM) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) turun ke jalan mengepung gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mendesak sejumlah permintaan. Konon katanya, jumlah massa yang turun pada demonstrasi itu lebih banyak dari jumlah mahasiswa yang turun pada saat Reformasi 1998 melawan Orde Baru.

Masalah demokrasi yang dipotret dalam The Edge of Democracy di Brazil tak berbeda jauh dari Indonesia. Saya mencatat setidaknya ada empat masalah demokrasi Indonesia. Satu, tak adanya undang-undang politik yang menghendaki reformasi partai politik dan mendorong pemilu menjadi mekanisme pemilihan yang menghasilkan pemerintahan yang berkualitas dan berkeadilan. Sebagai contoh, tidak ada sistem pelaporan dana politik yang transparan dan akuntabel untuk mencegah transaksi politik dan membuka informasi kepada masyarakat soal arah kebijakan politik partai politik dan kandidat. Laporan dana politik yang betul-betul menggambarkan sumber dana politik beserta penyumbangnya akan menjadi referensi bagi pemilih untuk menentukan pilihan politik secara sadar. Sebagai contoh, saya anti rokok. Tak mau saya pilih partai politik atau kandidat yang mendapatkan sumbangan dari perusahaan rokok.

Dua, partai politik sangat elitis, tak demokratis, dan bergantung pada dana pemilik modal. Kasus suap kepada pejabat politik, mahar politik, dinasti politik, politik ijon, politik uang, dan suap untuk menjadi wakil rakyat selalu muncul di media tiap kali ada penyelenggaraan Pilkada atau Pemilu. Yang terakhir terjadi, beberapa partai politik mengambil jalur paksa untuk memasukkan calon anggota legislatif (caleg) pilihannya ke DPR, menggantikan caleg pilihan pemilih.

Tiga, minimnya pertumbuhan ekonomi membuat pemeritah mengambil pendekatan pembangunan ekonomi yang sangat developmentalis. Pendekatan ini seringkali menggunakan kekuatan aparat bersenjata untuk menciptakan ketertiban dan stabilitas nasional, dan agar agenda pembangunan mulus joss tanpa hambatan. Moga tak hilang ingatan kita pada kasus Salim Kancil di Lumajang tahun 2015, kasus penembakan empat aktivis penolak tambang di Bengkulu Tengah pada 2016, kasus Golfrid Siregar di Medan pada 2019, serta kasus-kasus penangkapan warga penolak tambang dan penggusuran di Lebak, Bogor, Pati, Kulon Progo, Kubu Raya, dan Tamansari di Bandung. Baru-baru ini juga, para buruh ramai menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja yang disingkat oleh para aktivis dengan RUU Cilaka. Alasannya, UU bertujuan melancarkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan kepentingan buruh.

Empat, populisme berbau politik identitas mayoritas menganaktirikan hak-hak minoritas. Politik identitas dimainkan di Pilkada DKI Jakarta 2017 dan berlanjut di Pemilu 2019. Keberadaannya bahkan bertambah barah dengan ditetapkannya ambang batas pencalonan presiden sebesar 25 persen dari perolehan suara nasional pada Pemilu 2014.

Dua hari lalu, sebuah diskusi diselenggarakan oleh gabungan masyarakat sipil, terdiri atas Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Exposit Indonesia, Cakra Wikara, Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Pemilih (JPPR), dan Lingkar Madani. Di kantor KIPP di Kuningan, Jakarta Selatan, diskusi menyebut-nyebut oligarki yang menguat. Para oligark ini, yang menggagas penyempitan ruang partisipasi warga negara di politik formal lewat ambang batas pencalonan presiden, peningkatan ambang batas parlemen, dan syarat menjadi partai politik peserta pemilu yang kian berat. Para oligark ini, yang akhirnya mendorong masyarakat sipil turun ke jalan bersama elemen pelajar, mahasiswa, dan kelompok buruh menentang disahkannya Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rancangan UU Kitab  Hukum Pidana (KUHP), dan UU Pertanahan. Tagar Reformasi Dikorupsi bergema baik di dunia maya maupun nyata. Tak malu lagi milenial bangsa, yang dicap sebagai generasi frappe-sipping, berpanas-panasan memekikkan kutukan kepada para politisi atas masalah-masalah bangsa. Yang paling sopan yang saya temukan dalam rentetan demonstrasi September 2019 adalah poster bertuliskan “Gue pernah lihat kabinet yang lebih baik di IKEA.”

Masalah demokrasi, sebetulnya, telah lebih dari sering dibicarakan di media sosial dan diskusi-diskusi tatap muka. Ia menggerakkan massa untuk protes turun ke jalan-dari catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),  sebanyak 51 orang tewas terkait unjuk rasa sepanjang 2019 atau sejak Januari hingga 22 Oktober 2019 (Kompas.com, 27 Oktober 2019). Bahkan, jika memperhatikan fenomena di Pemilu 2019, tak banyak pegiat pemilu yang masih tegar menebarkan optimisme dalam Pemilihan Presiden. Beberapa pegiat menahan kesal dan malu dengan menawarkan pilihan agar pemilih tetap datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Membuat surat suara tidak sah, seingat saya, setidaknya agar surat suara tak digunakan untuk manipulasi suara oleh calon berduit.

Masalah-masalah demokrasi, bukan tak mungkin akhirnya akan meledak dan mengikis habis kesabaran massa jikalau capaian reformasi semakin dikorupsi, hukum semakin tak progresif, ruang ekspresi masyarakat semakin dipersempit, politik semakin elitis, dan pemerintah semakin represif. Akan sampai dimana kiranya ujung demokrasi Indonesia?

Membalas narasi akhir film The Edge of Democracy, saya pun mau turut berpuisi.

 

Seorang pegiat demokrasi

Mestinya tak hanya berceramah dan duduk-duduk di ruang yang nyaman

Berkomentar tentang hal-hal yang jauh dari jangkauan yang dibawah

Namun diam saat entah apa makna dari demokrasi elektoral

 

September 2019 itu

Saat marah terpanggil lagi, sebab dulu tiada yang semarah ini pada UU Pemilu yang buruk yang hasilkan pemerintahan buruk

Daku ikut turun bersama kawan-kawan

Menyauti teriakan mahasiswa dari atas bis sewaan di sepanjang jalan

Aku sedih hampir tak tertahan

 

Betullah daku sadari, bahwa demokrasi tak bisa hanya dipertahankan melalui tulisan

Melainkan perlu dengan turun ke jalan

Menulis, kata Pram, adalah sebuah keberanian

Namun kini Pram, moga moga lebih banyak jenis keberanian baru

Di tulisan, di jalanan, di media-media sosial

Sebab jika demokrasi makin-makin dikorupsi

Hanya ada satu kata

Lawan!

 

Amalia Salabi

Pegiat demokrasi

 

Referensi

  1. INews.co.uk. 29 Oktober 2018. “Jair Bolsonaro: 17 quotes that explain the views of Brazil’s fascist president-elect“. Artikel dalam https://inews.co.uk/news/world/jair-bolsanaro-quotes-brazil-election-2018-result-president-elect-235199.
  2. Independent.co.uk. 29 October 2018. “Fascism has arrived in Brazil – Jair Bolsonaro’s presidency will be worse than you think.” Artikel dalam https://www.independent.co.uk/voices/jair-bolsonaro-brazil-election-results-president-fascism-far-right-fernando-haddad-a8606391.html.
  3. Jatam.org. 13 Juni 2016. “Kronologis Penembakan Warga Oleh Aparat Saat Demo Tolak Tambang”. Siaran pers dalam http://www.jatam.org/2016/06/11/kronologis-penembakan-warga-oleh-aparat-saat-demo-tolak-tambang/.
  4. Kompas.com. 26 September 2016. “Kasus Pembunuhan Salim Kancil Dinilai Belum Sentuh Aktor Intelektual”. Berita dalam https://nasional.kompas.com/read/2016/09/26/20315051/kasus.pembunuhan.salim.kancil.dinilai.belum.sentuh.aktor.intelektual?page=all.
  5. Kompas.com. 27 Oktober 2019. “YLBHI: Sepanjang 2019, 51 Meninggal Terkait Unjuk Rasa”. Berita dalam https://nasional.kompas.com/read/2019/10/27/16493861/ylbhi-sepanjang-2019-51-meninggal-terkait-unjuk-rasa.
  6. LBH Jakarta. “Diteror Preman Tambang, 3 Orang Petani Melakukan Aksi Jalan Kaki ke Jakarta dari Mojokerto”. Siaran pers dalam https://www.bantuanhukum.or.id/web/diteror-preman-tambang-3-orang-petani-melakukan-aksi-jalan-kaki-ke-jakarta-dari-mojokerto/.
  7. Tirto.id. 7 Oktober 2019. “Kejanggalan Kematian Golfrid Siregar, Sang Aktivis Lingkungan”. Artikel dalam https://tirto.id/kejanggalan-kematian-golfrid-siregar-sang-aktivis-lingkungan-ejnp.
  8. Tirto.id. 5 Desember 2017. “Di Mana Undang-Undang Saat Para Petani Disikat Aparat?”. Artikel dalam https://tirto.id/di-mana-undang-undang-saat-para-petani-disikat-aparat-cBaG.