August 8, 2024

Tiga Pola Arus Rekrutmen Politik di Pilkada

Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM), Abdul Gaffar Karim, menjelaskan bahwa terdapat tiga pola arus rekrutmen politik di Pilkada. Ketiga arus tak banyak melibatkan partai politik, dan aliansi strategis yang dibangun tak mengutamakan kesamaan ideologi. Sebagai contoh, dua partai berbeda ideologi, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sering menjalin koalisi di Pilkada.

Pola pertama, yaitu arus bawah ke atas atau bottom-up current. Pola rekrutmen ini mengambil kandidat yang memiliki basis lokal. Kandidat yang dimaksud berdomisili di suatu daerah dan merupakan tokoh daerah, seperti aktivis, tokoh keagamaan, atau pengusaha lokal.

“Arus ini membawa orang-orang ini dari bawah ke atas. Menjadi gubernur, lalu jadi presiden,” kata Gaffar pada seminar Election Visit Program di Hotel Shangri La Surabaya, Jawa Timur (26/6).

Kepentingan tokoh-tokoh daerah adalah karir. Gaffar mencatat, banyak mantan sekretaris daerah (sekda) yang mengincar jabatan bupati atau wali kota atau gubernur sebagai jabatan di masa pensiun.

Selain karir, banyak tokoh-tokoh daerah yang juga mencoba membangun dinasti. Dinasti dapat terbangun atas relasi pesantren, bisnis, dan keluarga. Di daerah kaya sumber daya alam (SDA), biasanya terdapat dinasti yang berkepentingan untuk membangun kepentingan bisnis.

“Adanya dinasti ini seperti membenarkan kata-kata Karl Marx. Negara adalah organisator untuk kepentingan borjuasi. Contoh Jokowi. Dia jadi wali kota Solo, lalu jadi gubernur DKI, lalu jadi presiden. Arus dari bawah ke atas terbukti bisa membawa tokoh lokal jadi tokoh nasional. Tentu sponsor dan dana besar yang membawanya dari Solo ke DKI,” terang Gaffar.

Pola kedua yakni arus atas ke bawah atau top-down current. Rekrutmen calon memanggil tokoh-tokoh nasional untuk mengisi posisi pimpinan eksekutif di daerah. Tokoh yang biasanya direkrut adalah politisi, aktivis nasional, dan pimpinan lembaga nasional.

Gaffar menyebutkan, pada arus top-down biasanya diselipkan kepentingan bisnis pengusaha nasional dan merupakan titipan partai politik nasional kepada pengurus partai di tingkat lokal. Pada Pilkada Jawa Timur 2018 misalnya, semua pasangan calon (paslon) merupakan tokoh top-down. Khofifah merupakan tokoh nasional yang pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan menteri sosial. Emil Dardak merupakan politisi partai tingkat pusat. Syaifullah Yusuf merupakan Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor, dan Puti Guntur merupakan anggota DPR RI.

“Arus yang membawa kedua paslon, nampak bahwa mereka semua adalah top-down. Meskipun Khofifah adalah orang Jawa Timur, tapi aktivitasnya selalu tingkat nasional. Pada arus ini, partai berperan sebagai penitip kepentingan nasional,” ujar Gaffar.

Tiga, arus kombinasi atau combination current. Pada arus ini, target seorang politisi adalah pemimpin eksekutif di tingkat lokal, namun ia mengawali langkahnya dengan terlebih dulu menjadi anggota DPR RI.

“Contohnya bupati Pamekasan. Dia jadi anggota DPR RI, lalu PAW (pejabat antar waktu), lalu nyalon jadi bupati. Yang biasanya melakukan ini adalah kader-kader partai politik,” terang Gaffar.

Pada pilkada, aliansi partai politik biasanya menggabungkan tokoh top-bottom dengan bottom-top.  Langkah ini dilakukan untuk memperkecil konflik yang dapat muncul pada saat pencalonan.

“Ini cara untuk berkompromi dengan konflik. Paslon yang berasal dari arus atas biasanya meminta kendali yang lebih besar atas tokoh bawah. Misal, bupatinya orang nasional, wakilnya orang lokal,” tutup Gaffar.