November 15, 2024

Tren Ketimpangan Perempuan Anggota Bawaslu Berlanjut

Rekrutmen anggota Bawaslu di 25 provinsi baru saja rampung. Jumlah perempuan terpilih masih timpang.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI (16/9) mengumumkan calon terpilih anggota Bawaslu provinsi masa jabatan 2017—2022 di 25 provinsi. Melalui pengumuman bernomor 0486/BAWASLU/SJ/HK.01.00/IX/2017, hanya ada 14 perempuan terpilih dari total 75 orang terpilih (18.67 persen) di 25 provinsi. Pengumuman ini adalah hasil akhir rekrutmen terhadap 1955 orang pendaftar yang kemudian disaring seleksi administrasi jadi 1609 orang—1349 orang laki-laki (83.84 persen) dan 260 orang perempuan (16.15 persen).

“Jumlah total (perempuan) di fit and proper test ada 23 orang. Yang terpilih itu 14 orang perempuan,” kata Ratna Dewi Pettalolo, anggota Bawaslu, saat konferensi pers hasil rekrutmen Bawaslu Provinsi 2017—2022, di kantor Bawaslu, Jakarta (18/9).

Empat belas perempuan tersebut antara lain:

No. Nama Daerah Latar belakang
1. Rafiqoh Pebrianti Jambi Ketua Panwas Kabupaten Sarolangun
2. Masita Nawawi Gani Maluku Utara
3. Erna Kasypiah Kalimantan Selatan Anggota Bawaslu Kalimantan Selatan 2012—2017
4. Sri Rahayu Werdiningsih DIY Anggota Bawasu DIY 2012—2017
5. Marlenny Momot Papua Barat Anggota Panwas Kota Sorong
6. Zatriawati Sulawesi Tengah Anggota KPU Palu 2013—2018
7. Astuti Usman Maluku Anggota KPU Kabupaten Maluku Tengah 2009—2014
8. Patimah Siregar Bengkulu Anggota Panwas Kota Bengkulu
9. Rosnawati Kepulauan Riau Anggota Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Kepulauan Riau
10. Tuti Yurkrisna Kalimantan Tengah Anggota Bawaslu Kalimantan Tengah 2012—2017
11. Sri Wahyu Araningsih Jawa Tengah Dosen Universitas Diponegoro
12. Fatikhatul Khoiriyah Lampung Anggota Bawaslu Lampung 2012—2017
13. Nuryati Solapari Banten Aktivis pemberdayaan perempuan
14. Siti Khopipah DKI Jakarta Dosen Universitas Jayabaya

Stagnan

Jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, jumlah perempuan di 25 provinsi ini stagnan. Pada periode 2012—2017, ada 14 perempuan dari total 75 anggota Bawaslu (18.67 persen). Empat belas perempuan ini tersebar di 13 daerah antara lain Riau, Kalimantan Selatan, Kep. Bangka Belitung, DI Yogyakarta, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Bengkulu, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan DKI Jakarta.

Beberapa daerah yang pada periode 2012—2017 memiliki perempuan anggota Bawaslu perempuan, pada periode 2017—2022 tidak lagi dihuni perempuan. Daerah tersebut adalah Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur. Bahkan di Sumatera Barat yang pada periode sebelumnya ada dua perempuan, pada periode ini tak ada lagi perempuan.

Namun, ada pula daerah yang dulu tak ada perempuan, pada periode 2017—2022 ini dihuni perempuan. Daerah tersebut adalah Jambi, Maluku Utara, Papua Barat, Maluku, Kalimantan Tengah, dan Banten.

Hambatan

Sri Budi Eko Wardani, akademisi Ilmu Politik FISIP UI yang juga terlibat sebagai tim seleksi anggota Bawaslu Provinsi Nusa Tenggara Timur, mencatat dua hal utama yang menjadi penyebab tren ketimpangan perempuan berlanjut. Dua hal itu adalah ketersediaan perempuan yang minim dan regulasi teknis yang masih bias atau netral gender.

Jumlah perempuan yang minim berawal dari tindakan afirmasi untuk perempuan yang mulai dipikirkan dan diimplementasikan pada rentang waktu 2007 hingga pemilu 2009. Tindakan afirmasi kala itu lebih ditekankan pada pengisian posisi di internal partai dan calon anggota legislatif.

Banyak perempuan diproyeksikan menjadi anggota partai atau calon anggota legislatif pada rentang waktu itu. Lima tahun kemudian, banyak nama perempuan—baik yang dulu berniat terjun ke politik atau dicomot—masih tercatat di keanggotaan partai. Stok perempuan yang terlatih secara politik lebih banyak berada di partai politik.

Hal ini menjadi kendala bagi perempuan yang hendak menjadi penyelenggara pemilu. Ia tak bisa mengisi posisi-posisi penyelenggara pemilu sebab terganjal ketentuan yang menyaratkan calon penyelenggara pemilu tidak menjadi anggota partai politik atau sekurang-kurangnya dalam waktu lima tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik. Oleh karena itu, stok perempuan tak memadai.

Keadaan seperti ini baru disadari belakangan. Sulit mencari perempuan potensial untuk menjadi penyelenggara pemilu di daerah-daerah. Hal ini menjadi tantangan bagi gerakan perempuan untuk tak hanya memikirkan perempuan sebagai anggota partai dan caleg, tetapi turut juga memikirkan regenerasi perempuan untuk mengisi posisi penyelenggara pemilu. Sri Budi Eko Wardani menyarankan agar gerakan perempuan secara serius mengembangkan pemantauan pemilu sebagai tahap awal menjaring perempuan yang berpotensi. Pemantauan pemilu bisa jadi ajang membentuk perempuan yang berpengalaman khusus di bidang pemilu.

“Paling utama adalah mencari orang atau calon yang memiliki integritas tanpa cela dan juga tidak memiliki, bahkan potensi, afiliasi politik. Tanpa disadari, dalam rekam jejak yang dilalui, ada catatan afiliasi politik langsung ataupun tidak yang bisa ditelusuri dan hal itu menjadi catatan,” kata Sri Budi Eko Wardani, dalam keterangan yang didapat redaksi (19/9).

Selain keadaan itu, riset Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI juga menyebut ada faktor kultural yang sangat khas dihadapi perempuan dan menyebabkan jumlah stok perempuan minim. perempuan seringkali berhadapan dengan berbagai pertimbangan untuk membagi porsi kerja di ruang domestik dan berkarir di ranah publik. Keputusan politik yang diambil perempuan berpengaruh pada relasi-relasi sosial dan domestik.

“Kondisi kultural masih jadi akar masalah. Tuntutan peran di ranah domestik jadi kendala yang menyebabkan posisi perempuan tak mencapai kemandirian di ranah politik,” kata Julia Ikasarana, tim riset “Meningkatkan Keterwakilan Perempuan dalam Lembaga Penyelenggara Pemilu”, saat dihubungi (20/9).

Peraturan teknis belum afirmatif

Regulasi juga turut jadi penyebab jumlah perempuan anggota Bawaslu provinsi terpilih masih timpang. UU 15/2011 memang mengamanatkan 30 persen keterwakilan perempuan di penyelenggara, tapi peraturan pelaksana–khususnya dalam proses seleksi–belum cukup memadai untuk memenuhi amanat itu. Peraturan seleksi masih bias atau netral gender, belum menurunkan pasal afirmatif dalam undang-undang pada tataran teknisnya. Sehingga terjadi standar ganda, bahkan itu terjadi dalam timsel.

Sebagai rekomendasi, ketentuan teknis yang mendorong tim seleksi untuk berperan aktif menelusuri dan mengundang perempuan potensial untuk mendaftar mesti ada. Ketentuan ini nantinya akan merangsang Bawaslu untuk menyediakan data terpilah penyelenggara pemilu hingga tingkat paling bawah yang dirinci menurut jenis kelamin untuk membantu tim seleksi melakukan identifikasi kelompok-kelompok potensial.

“Ya harus ada database terpilah penyelenggara dulu. Dari situ ketahuan peta ketimpangan. Baru mulai treatment. Pengumuman anggota Bawaslu provinsi terpilih kemarin saja hanya memuat nama dan daerah, tidak ada jenis kelamin,” tandas Julia.

Stagnasi jumlah perempuan anggota Bawaslu harus jadi bahan evaluasi untuk Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menyusun peraturan teknis. Peraturan teknis rekrutmen untuk gelombang rekrutmen kedua yang mengacu pada undang-undang baru harus dipastikan memuat afirmasi yang komprehensif bagi perempuan.

“Saya kira Bawaslu dan KPU periode ini punya kesempatan untuk mengevaluasi dan memperbaiki peraturan seleksi dengan komprehensif. Menghasilkan peraturan seleksi yang adil gender adalah langkah awal,” tegas Sri Budi Eko Wardani.