November 27, 2024

Tripartit Penyelenggara Pemilu OLEH ADITYA PERDANA

Minggu lalu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP menyelesaikan tugasnya sebagai pihak yang mengundang KPU dan Bawaslu untuk membicarakan persoalan caleg yang bermasalah dari kasus korupsi, kekerasan, dan narkoba. Isu penting ini memang tidak pernah luput dalam pembicaraan politik dan hukum selama beberapa bulan terakhir ini. Bahkan, dua minggu belakangan, isu ini memang makin liar dan mengkhawatirkan karena para caleg yang bermasalah tersebut mendapat ”dukungan” dari Bawaslu setelah nama mereka dikembalikan oleh KPU.

Tulisan ini tidak akan membahas lebih dalam tentang isu caleg yang koruptor tersebut. Namun, tulisan ini akan melihat mekanisme tripartit (DKPP-KPU-Bawaslu) ini dalam diskursus kelembagaan informal yang juga berkembang dalam studi ilmu politik dan dampaknya bagi proses pemilu yang sedang kita jalani saat ini.

Kelembagaan informal

Dalam studi kelembagaan, ada dua hal yang biasa didiskusikan, yaitu formal dan informal. Kelembagaan formal dilihat sebagai hal yang prosedural dan sesuai aturan secara resmi. Sementara itu, Gretchen Helmke dan Steven Levitsky (2004) mendefinisikan kelembagaan informal sebagai berikut: sesuatu aturan yang secara sosial diatur, biasanya tidak tertulis, sengaja dibuat, dikomunikasikan, dan didorong dari luar ruang yang resmi.

Mengacu tipologi Helmke dan Levitsky, paling tidak ada dua tipe kelembagaan informal yang relevan dengan mekanisme tripartit dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, yaitu tipe complementary (pelengkap) dan tipe substitutive (pengganti).

Tipe pelengkap ini merupakan sebuah norma, rutinitas, ataupun prosedural yang telah disepakati bersama, di mana tipe ini telah membantu dan memudahkan pembuatan kebijakan di birokrasi. Tipe ini sebenarnya tipe ideal sebuah mekanisme kelembagaan informal untuk dapat bekerja efektif apabila hasil yang diinginkan pun sejalan dengan aturan formal yang ada. Sementara tipe pengganti merupakan mekanisme yang belum pernah ada sebelumnya dan otoritas yang sesungguhnya ada belum tampak bekerja seperti diharapkan. Alhasil, kelembagaan ini dapat bersifat pengganti untuk mendukung pencapaian hasil dari kelembagaan formal tersebut.

Sesuai UU Pemilu yang berlaku, lembaga penyelenggara pemilu adalah KPU, Bawaslu, dan DKPP. Ketiga lembaga ini memiliki fungsi yang berbeda. KPU merupakan penyelenggara teknis dalam pelaksanaan pemilu; Bawaslu memiliki fungsi pengawasan dari pelaksanaan pemilu yang dijalankan oleh KPU; sementara DKPP merupakan lembaga peradilan etika bagi penyelenggara KPU dan Bawaslu yang diindikasikan melakukan penyelewengan jabatan dan kewenangannya.

Namun, dalam proses interaksi ketiga lembaga formal tersebut ada mekanisme informal, yang telah terbangun sejak pertama kali DKPP dibentuk pada 2013, yaitu pertemuan tripartit. Pertemuan ini kemudian jadi sebuah kesepakatan dan kebutuhan bersama dan menghasilkan sebuah peraturan bersama yang mengikat hubungan antartiga lembaga tersebut. Satu hal yang menarik kemudian adalah bahwa anggota DKPP berjumlah tujuh orang itu, di mana dua orang merupakan perwakilan dari komisioner Bawaslu dan KPU.

Dalam konteks itulah, pertemuan tripartit merupakan kelembagaan informal karena di luar kelembagaan formal dan resmi yang tidak diatur dalam UU kita. Namun, dengan pertimbangan koordinasi dan komunikasi yang efektif, pertemuan tripartit ini adalah penting untuk menyelesaikan dan menyamakan persepsi dalam penyelenggaraan pemilu.

Secara tipologi, pertemuan tripartit tersebut merupakan bagian dari tipe pelengkap dari mekanisme kelembagaan di penyelenggaraan pemilu. Meskipun ada kesepakatan bersama, dan bahkan membangun prosedur yang dipahami bersama dalam mendorong etika kemandirian penyelenggara pemilu, misalkan, tipe pelengkap ini belum sepenuhnya sesuai dengan harapan. Ada elemen penting yang belum bekerja efektif atau bahkan hilang dalam konteks hubungan kelembagaan antara KPU dan Bawaslu manakala keduanya mengalami perbedaan pandangan yang tajam dan berpotensi ketidakharmonisan dalam berinteraksi.

Di titik inilah maka tipologi pengganti untuk menunjukkan mekanisme informal perlu dibicarakan secara serius. Maka, pertemuan tripartit dalam pembahasan caleg yang korup tersebut masuk dalam kategori pengganti manakala ada kebuntuan pembicaraan untuk menyelesaikan persoalan hubungan antar lembaga yang memanas tersebut. Artinya, pertemuan tripartit dapat dimaknai dengan dua tipologi yang berbeda, yaitu tipe pelengkap sebagai sebuah prosedural penting dalam penyelesaian peradilan etika penyelenggara pemilu, tetapi tipe pengganti pun juga dapat dipikirkan manakala belum adanya mekanisme penyelesaian konflik antarlembaga penyelenggara.

Keberlanjutan

Sebagai sebuah forum yang bersifat informal, pertemuan tripartit sebenarnya memudahkan komunikasi dan koordinasi di antara penyelenggara pemilu agar pelaksanaan semua tahapan Pemilu 2019 dapat berlangsung dengan lancar. Posisi dan peran DKPP sebagai mediasi dan penengah dalam relasi antara KPU dan Bawaslu yang tidak begitu harmonis juga penting dipertimbangkan untuk diperkuat dalam mekanisme bersama tripartit tersebut.

Pada titik lain, DKPP pun dapat memberikan ruang untuk menyampaikan rekomendasi dan masukan bagi penyelenggara agar dapat terus bekerja sama, bukan saling berkompetisi dalam rangka sukses pemilu. Oleh karena itu, pertemuan tripartit ini harus punya peran dan fungsi yang lebih kuat agar hubungan kelembagaan penyelenggara pemilu semakin harmonis, bukan dalam posisi yang bertentangan.

Namun, hal yang paling penting dalam Pemilu 2019 adalah pertemuan tripartit ini terus dilakukan dan rutin setiap waktu. Sebab, akan ada banyak perbedaan pandangan di setiap tahapan berikutnya yang berpotensi sama seperti yang sudah lalu.

Aditya Perdana Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Fisip UI

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 19 September 2018 dengan judul “Tripartit Penyelenggara Pemilu”.