Rekrutmen calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) oleh panitia seleksi (pansel) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dinilai tak menyelesaikan masalah di lembaga legislatif yang eksis dengan sistem dua kamar. Tujuan rekrutmen oleh pansel tak jelas dan tak patut diteruskan.
“Saya kaget mendengar rekrutmen anggota DPD di Pansel. Alih-alih menyelesaikan persoalan, malah akan menambah persoalan,” kata Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, pada diskusi “Polemik Gagasan Anggota DPD Dipilih Pansel dan DPRD” di Kebon Jeruk, Jakarta Barat (9/5).
Zainal berpendapat bahwa rekrutmen oleh Pansel bersifat subjektif. Pengkuran kualitatif yang dinilai secara kuantitatif bermasalah dan tak menjamin menghasilkan orang-orang terbaik.
“Kita mengukur kualitas orang dengan angka. Itu tidak membuktikan apa-apa soal kapasitas seseorang. Misalnya mengukur integritas orang melalui wawancara, bagaimana bisa tau integritas orang hanya selama tiga puluh menit?” ujar Zainal.
Zainal mengatakan apabila tujuan dibentuknya pansel adalah untuk menyaring kualitas calon anggota DPD, semestinya hal yang sama diberlakukan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR adalah kamar pertama yang memiliki wewenang lebih besar. Namun, yang mesti diluruskan, kata Zainal, jabatan di parlemen tak perlu menggunakan merit system atau mendasarkan pada pemahaman akademik, melainkan melalui pemilihan umum.
“Kalau tujuan dibentuknya pansel untuk menyaring kualitas orang yang duduk di DPD, kenapa DPR enggak juga? Tapi, jabatan di parlemen ini kan election,” tukas Zainal.
Gagasan rekrutmen calon anggota DPD melalui pansel dan DPRD akan merusak institusi DPD sendiri. Melalui skema ini, kehadiran anggota DPD partisan partai poitik akan lebih kuat. Persoalan utama parlemen bukan kapasitas individu, melainkan jauhnya relasi antara orang yang dipilih dengan orang yang memilih.