Dalam rapat kerja Senin (21/9), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah bersepakat untuk jalan terus dengan proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) 2020. Artinya, pemungutan suara tidak akan bergeser dari 9 Desember 2020.
Pilkada 2020 akan berlangsung di 270 daerah, meliputi 9 pilkada provinsi, 224 pilkada kabupaten, dan 37 pilkada kota. Kalau kita tengok ke belakang, pertimbangan untuk melanjutkan pilkada di penghujung Mei 2020 lalu -pasca penundaan 4 (empat) tahapan pilkada oleh KPU pada 21 Maret 2020—tidak lepas dari adanya surat Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo, yang menyatakan bahwa pandemi Covid-19 tidak bisa dipastikan kapan akan berakhir, oleh karena itu pilkada bisa dilanjutkan dengan penerapan protokol kesehatan dalam setiap tahapannya dan koordinasi dengan Kementerian Kesehatan dalam pelaksanaannya.
Keputusan melanjutkan hajat pilkada ini sejak awal sudah menimbulkan pro kontra. Sebab dilakukan di tengah meroketnya kasus positif Covid-19 di Indonesia. Bahkan saat ini, ketika berlangsung proses pencalonan dan menjelang tahapan kampanye, kasus positif Covid-19 mencapai angka tertinggi dalam perkembangan penanganan Covid-19, yaitu melampaui 4.000 kasus harian. Selain itu, bertambahnya jumlah tenaga kesehatan yang gugur akibat terpapar Covid-19 saat bertugas, sungguh membuat duka kita makin dalam.
Pelanggaran Protokol Kesehatan
Ironisnya, peserta pemilihan dan aktor politik ternyata juga tidak menunjukkan disiplin yang baik pada protokol kesehatan. Ini bisa terlihat saat pendaftaran bakal calon pada 4-6 September 2020 lalu dan juga sebelumnya saat beberapa bakal calon melakukan deklarasi pencalonan mereka di pilkada 2020. Kerumunan massa dalam jumlah sangat besar bahkan sampai ribuan berkumpul, yang mengabaikan penerapan protokol kesehatan, sama sekali tidak bisa dikendalikan. Nampak sekali terjadi kegagapan di antara para pemangku kepentingan dalam menyikapi pelanggaran besar-besaran protokol kesehatan tersebut.
Parahnya lagi, beberapa bakal calon yang terkonfirmasi positif tetap nekat datang mendaftar ke KPU meski aturannya sudah melarang. Artinya, kesadaran untuk patuh pada protokol kesehatan amat lah rendah, termasuk di antara para elite politik yang akan berkontestasi menjadi pemimpin daerah. Imbasnya tidak main-main, beberapa penyelenggara akhirnya terpapar Covid-19, misalnya di Agam dan Kota Sibolga. Bahkan di Boyolali, akibat melaksanakan tugas pengawasan pilkada, terbentuk klaster Bawaslu dengan jumlah kasus positif mencapai 103 orang lebih.
Ditambah lagi, data terkini menyebutkan pasangan calon juga tidak luput dari paparan Covid-19. Tercatat setidaknya 63 orang bakal calon yang berdasar hasil pemeriksaan kesehatan terkonfirmasi positif Covid-19.
Selain itu, Bawaslu juga mencatat terjadi 243 pelanggaran protokol kesehatan saat pendaftaran bakal pasangan calon lalu. Namun, tidak ada sanksi atau penegakan hukum berarti yang bisa dilakukan sebagai efek jera. Kalau kita melihat pemberitaan televisi bagaimana masyarakat awam yang melanggar protokol kesehatan diberi sanksi membayar denda, menyikat WC, menyapu jalanan, atau membersihkan makam, namun tidak demikian dengan para elite politik pelanggar protokol kesehatan saat pendaftaran bakal calon lalu. Tidak ada satupun dari mereka yang diproses karena melanggar UU Wabah Penyakit Menular maupun UU Karantina Kesehatan. Ataupun sampai dijatuhi sanksi administrasi pencabutan hak berkampanye apalagi diskualifikasi seperti banyak digembar-gemborkan.
Hal itu disebabkan karena instrumen hukum pilkada yang ada saat ini masih bersandar pada aturan main lama yang didesain sebagai kerangka hukum penyelenggaraan pilkada di situasi normal. Bukan undang-undang pemilihan yang didesain khusus untuk merespon situasi pandemi seperti saat ini kita hadapi.
Tunda ke Pertengahan 2021
Berdasarkan pertimbangan di atas dan melihat perkembangan penyelenggaraan pilkada di daerah-daerah, memang pilihan bijaksana bagi pihak-pihak yang berwenang, yaitu KPU, Pemerintah, dan DPR, adalah menunda pelaksanaan Pilkada 2020 sampai jumlah kasus positif Covid-19 melandai atau berkurang signifikan secara konsisten. Setidaknya ditunda hingga Juni atau ke pertengahan 2021.
Penundaan pilkada bukan berarti pilkada baru bisa diselenggarakan saat pandemi berakhir. Penundaan pilkada bertujuan agar semua pihak serius, bersungguh-sungguh, dan berupaya optimal dalam mengendalikan dan mengatasi penyebaran Covid-19 di masyarakat. Sembari terus membangun kesadaran dan disiplin masyarakat pada protokol kesehatan penanganan Covid-19.
Selain itu, di masa penundaan pilkada, pembuat UU diharapkan mampu menyiapkan instrumen hukum setingkat undang-undang yang memuat ketentuan yang jelas dan memadai bagi penyelenggaraan pilkada dengan protokol kesehatan. Revisi atas Undang-Undang Pemilihan (UU Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana sudah diubah terakhir kali dengan UU Nomor 10 Tahun 2016) mendesak untuk dilakukan.
Revisi UU Pemilihan diperlukan guna mengakomodir sejumlah inovasi teknis pemilihan yang kompatibel dengan kondisi pandemi Covid-19 yang sedang kita hadapi. Misalnya saja memperpanjang durasi waktu pemungutan suara, akomodasi terhadap kotak suara keliling atau pemilihan via pos secara terbatas, juga membuat pengaturan komprehensif soal pelaksanaan rekapitulasi elektronik bagi daerah-daerah yang dianggap siap. Termasuk pula menyiapkan pengaturan sanksi yang memberi efek jera bagi pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam proses pemilihan. Semisal pelarangan berkampanye atau bahkan terberat, diskualifikasi sebagai pasangan calon.
Ketegasan juga diperlukan dari pihak aparat keamanan untuk menindak tegas aktor-aktor politik yang dengan sengaja membuat kerumunan dan mengumpulkan massa dengan mengabaikan protokol kesehatan agar menjadi pembelajaran berharga bagi semua pihak soal urgensi protokol kesehatan untuk mencegah meluasnya penyebaran Covid-19.
Mengapa usulan Perpu dari Pemerintah untuk mengakomodir inovasi teknis pemilihan dan sanksi pelanggaran atas protokol kesehatan tidak akan efektif tanpa penundaan? Sebab sebuah aturan tidak bisa diharapkan berlaku efektif bila tidak diberi ruang yang cukup untuk sosialisasi maupun internalisasi serta penguatan kapasitas pada pihak-pihak yang akan menerapkannya. Pelatihan bagi para petugas penyelenggara adalah sebuah keniscayaan. Tidak bisa hit and run. Membuat aturan namun pelaksanaannya penuh dengan ketergesaan. Apalagi bila pertaruhannya adalah keselamatan warga negara.
Oleh karena itu, agar keselamatan dan kesehatan warga negara tidak terkorbankan hanya demi ambisi politik segelintir orang atau akibat kebijakan yang tidak dipersiapkan dengan baik untuk mampu melindungi masyarakat dari paparan bahaya pandemi Covid-19, pilihan menunda pilkada adalah langkah bijaksana. Bukan kegagalan apalagi wujud ketidakmapuan.
Penundaan pilkada adalah bentuk keberpihakan negara pada kemanusiaan dan kualitas pemilihan. Menunda pilkada adalah artikulasi komitmen kuat negara untuk menjaga demokrasi. Tunda pilkada, kita jaga demokrasi. []
TITI ANGGRAINI
Pegiat Pemilu