Selain penggabungan surat suara, penggunaan teknologi pungut-hitung kembali menjadi wacana yang bergulir. Dengan istilah Sirekap (sistem informasi rekapitulasi suara elektronik) terus dipersiapkan dengan harapan bisa diterapkan dengan baik pada Pemilu 2024.
Teknologi pungut-hitung khususnya rekapitulasi hasil pemilu sudah diterapkan sejak Pemilu 1999. Pada Tahun 1999, KPU menggunakan jaringan yang digunakan BNI dan BRI dan Satelit VPSAT Telkom. Di Pemilu 2004, setiap kecamatan disediakan satu komputer untuk input hasil pemilu lalu dikirim ke KPU pusat melalui Virtual Private Network (VPN). Demi mempercepat rekapitulasi, digunakanlah teknologi pemindai intelligent character recognition (ICR) pada Pemilu 2009. Pemilu 2014 dan 2019 menjadi ajang dimana hasil formulir C1 diinput melalui mesin scanner (Pratama & Salabi, 2019).
Proses rekapitulasi yang berlangsung sampai saat ini belum mampu menghadirkan hasil yang diketahui dengan cepat oleh publik. Imbasnya, muncul gagasan penggunaan Sirekap untuk mempermudah petugas pemilu dan mempercepat proses rekapitulasi hasil suara untuk diketahui publik.
Secara khusus, Penggunaan Sirekap dalam PKPU Nomor 18 Tahun 2020 diatur pada Bab VA, Pasal 58 A, 58 B dan 58 C mengenai Sistem Informasi Rekapitulasi. Pemilu. Di dalam pasal-pasal ini, dijelaskan mengenai penggunaan aplikasi Sirekap yang ada di ponsel pintar berkamera untuk memindai form C1. Teknologi pemindaian yang digunakan adalah OCR (Optical Mark Recognition) dan OMR (Optical Character Recognition) yang pemindaiannya menerjemahkan gambar kedalam sebuah tulisan.
Menurut Arief Budiman selaku Ketua KPU pada saat itu, Sirekap sempat diusulkan sebagai rujukan utama dalam penentuan hasil Pilkada 2020 (KPU Kota Surabaya, 2020). Hal ini diperkuat dengan studi yang dilakukan oleh tim peneliti IT pemilu pada tahun 2016, bahwa e-rekap mampu menghadirkan hasil rekapitulasi di TPS dengan cepat dan akurat, tidak melibatkan emosi dan kepentingan pihak manapun, menyediakan kemudahan, dan dapat didesain di dalam negeri (Pratama & Salabi, 2019).
Meskipun begitu, Sirekap hanya diuji coba pada Pilkada 2020. Menurut Ferry Kurnia Rizkiyansyah, hasil unggahan Sirekap yang sampai satu hari setelah pemungutan hanya mencapai 52 persen dari 90 persen target yang dicanangkan oleh KPU (Sadikin, 2020). Tentunya ini menjadi tantangan mengingat ada hal teknis seperti aksesibilitas aplikasi yang terkadang mengalami kendala dan daerah yang jaringan internetnya kurang memadai.
Tulisan ini mencoba membedah ujian-ujian yang dihadapi oleh potensi penerapan Sirekap pada Pemilu 2024. Ujian tersebut dilihat dari dua aspek. Pertama, pengambilan keputusan dalam pembuatan regulasi pemilu. Kedua, urgensi kecepatan dan keakuratan rekapitulasi hasil pemilu. Brazil dipilih sebagai negara pembanding. Brazil merupakan negara yang sudah 25 tahun menggunakan teknologi pungut-hitung pada pemilunya.
Gagasan mengenai penggunaan eletronik dalam pemungutan suara secara mandiri sudah ada sejak tahun 1932 di Brazil (Silva, 2020). Realisasi ke dalam undang-undang pemilu baru terjadi pada tanggal 29 September 1995. Pasal 18,19,dan 20 mengizinkan pemilih menggunakan mesin e-voting.
Selain PKPU, belum ada regulasi secara khusus penerapan teknologi pungut-hitung dalam proses pemungutan suara di Indonesia. UU No. 10 Tahun 2016 mengenai Pilkada pada pasal 85 ayat 2 juga mengatur mengenai pemberian suara melalui internet, bukan rekapitulasi. Menariknya di Indonesia sudah berjalan penggunaan sistem informasi melalui rekapitulasi tanpa adanya regulasi yang akurat.
Keberadaan regulasi pemilu juga tidak bisa dilepaskan dari pemahaman aktor yang terlibat dalam proses pemungutan suara. Mesin urna electronica yang dimiliki oleh Brazil merupakan mesin Direct Recording Electronic (DRE) yang dapat disertai dengan Voter-verified paper audit trail (VVPAT) atau tidak disertai VVPAT. Pengaturan mengenai bukti cetak pemilih VVPAT tersebut terdapat dalam undang-undang pemilihan 10.480 yang akan diujicobakan pada tahun 2002. Tetapi TSE, selaku mahkamah pemilu di Brazil, bersikukuh bahwa Mesin VVPAT rentan akan kesalahan. Imbasnya, pada tahun 2003 penggunaan mesin VVPAT ditarik dari penyelenggaraan pemilu.
Pada tahun 2009, Partai Pekerja Brazil berhasil memasukkan penggunaan VVPAT kembali demi persiapan pemilu 2014. Tetapi TSE mengajukan judicial review, karena VVPAT dianggap mengganggu kerahasiaan hak pilih pemilih jika printer yang digunakan macet. Bahkan TSE melakukan kampanye anti-VVPAT pada tahun 2010 dan berujung pada ditetapkanya inkonsistensi VVPAT (Goldsmith & Ruthrauff, 2013). Aranha dan De Graaf (2019), menilai bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh TSE cenderung didasarkan pada pendapat pribadi hakim dan bukan didasarkan pada penelitian sebelumnya mengenai teknologi pemilu. Bahkan masyarakat sipil menganggap bahwa TSE gagal mendidik petugas pemungutan suara mengenai penggunaan VVPAT. (Aranha & van De Graaf, 2018)
Jika berkaca pada kasus Indonesia, meskipun belum ada regulasi khusus yang memayungi teknologi pungut hitung, terdapat kendala teknis yang pasti dihadapi oleh penyelenggara. Aksesibilitas internet belum merata. Kualitas aplikasi juga belum memadai pada Sirekap. Lalu, pemahaman petugas pemilu dalam penggunaan aplikasi juga patut dipertanyakan.
Pada Pemilu 2009, kurangnya pelatihan pada petugas pemilu, juga menjadi imbas lambatnya hasil rekapitulasi yang masuk ke Data Center KPU (Pratama & Salabi, 2019). Sehingga data yang masuk hanya 13 persen. Tentunya, pemahaman teknis dilapangan tidak bisa dilepaskan dari bagaimana regulasi dibuat sebagai panduan penyelenggara. Oleh karena itu dalam upaya untuk membuat peraturan mengenai Sirekap, perlu dibuat kajian ilmiah dan pertimbangan yang didasarkan oleh kajian ilmiah yang intensif dan ketat mengenai penggunaan Sirekap jika ingin digunakan pada Pemilu 2024.
Kecepatan dan Keakuratan
Wills (1966), menyatakan bahwa kecepatan dan keakuratan merupakan hal yang penting dalam demokrasi modern. Hal ini tak bisa dihindari karena akan ada potensi-potensi kecurangan yang hadir sehingga mengakibatkan hasil pemilu menjadi tidak akurat (Darmawan, NurHandjati, & Kartini, 2014).
Penggunaan mesin e-voting DRE di Brazil pada tahun 2002 menunjukkan bahwa hasil Pemilu dapat diketahui dalam waktu 24 jam. Meskipun publik mengetahui hasilnya lebih cepat dan akurat, tetapi karena masalah VVPAT yang tidak ada, membuat publik sulit untuk memastikan suaranya mengarah kepada siapa. Bahkan yang terbaru Jair Bolsonaro beserta dengan pendukungnya secara terang-terangan menolak hasil Pemilu 2022, jika menggunakan e-voting. Jair Bolsonaro melakukan tuduhan adanya potensi e-voting memenangkan politisi lain yang akan maju pemilihan presiden yaitu Luiz Inacio Lula da Silva.
Berbeda halnya dengan Indonesia yang haru mengetahui hasil pemilu 35 hari setelah pemungutan suara. Hal ini sudah dinyatakan pada pasal 413 UU No. 17 Tahun 2017 bahwa KPU menetapkan pemilu secara nasional dan hasil perolehan suara pasangan calon, perolehan suara parpol untuk DPR RI dan perolehan suara DPD paling lama 35 hari setelah pemungutan suara. Imbasnya, pada Pemilu 2019, terdapat klaim kemenangan yang disajikan dalam bentuk spanduk oleh pasangan Prabowo-Sandi di beberapa daerah. Begitu pula dengan Pasangan Jokowi–Ma’aruf yang mewujudkan klaim kemenangannya dalam bentuk karangan bunga.
Selain kecepatan, penggunaan teknologi informasi dalam pemilihan umum tidak bisa dilepaskan dari keakuratan. Keakuratan tentunya menyangkut pada apakah hasil suara merupakan manipulasi atau tidak. Dasar dari pertimbangan peralihan penggunaan hak pilih dari kertas suara menuju mesin e-voting di Brazil adalah masalah inklusivitas dengan kerentanan manupulasi terhadap pemungutan suara berbasis kertas suara. Hal ini dibuktikan dari kasus manipulasi suara yang terjadi di Rio De Janeiro pada Pemilu 1994 dan tingginya angka suara tidak sah yaitu 40 persen yang diakibatkan oleh tingginya angka buta huruf di Brazil sebesar 20 persen (Goldsmith & Ruthrauff, 2013).
Setelah e-voting diterapkan, tingkat suara tidak sah turun dari 40 persen ketika menggunakan surat suara kertas menjadi 7,6 persen. Meskipun penggunaan e-voting di Brazil dipercaya oleh pemilih, tetapi isu hoax video yang dilayangkan oleh anak Bolsonaro mengenai pemilih yang diarahkan untuk memilih Fernando Haddad sebagai lawan Bolsonaro, membuat pemilih tidak boleh menutup mata (Pratama & Salabi, 2019).
Menurut Vickery dan Shein, manipulasi suara berkaitan dengan Electoral malpractice, yang merupakan suatu pelanggaran dalam pemilu yang memiliki sifat tidak sadar atau tidak sengaja seperti ceroboh, lalai, tidak sengaja, kurang teliti, permasalahan sumber daya yang minim dan kekurangmampuan dari penyelenggara dan pelaksana pemilu (Vickery & Shein, 2012).
Kelalaian juga tidak bisa dilepaskan dari Pemilu Serentak 2019. Meskipun sudah menggunakan teknologi dalam rekapitulasi, masih terdapat 269 kesalahan input dari 700.238 perolehan suara di TPS, 189 kesalahan input melalui kegiatan monitoring data, dan 80 kesalahan input ditemukan masyarakat (Pratama & Salabi, 2019).
Peranan Sirekap, seharusnya mampu menanggulangi masalah-masalah ini, mengingat kemampuan Scaning OCR dan OMR-nya yang akurat. Ditambah lagi dengan cara yang praktis menggunakan kamera telepon pintar yang langsung di-upload ke data center KPU membuat petugas pemilu akan sulit melakukan kecurangan karena kecurangan saat rapat pleno dapat di-cross check pada data center KPU.
Banyak Pihak
Cepat atau akuratnya teknologi pemilu tentunya harus mempertimbangan pengetahuan rakyat terhadap kepemiluan. Praktik yang terjadi baik di Indonesia dan Brazil seperti yang sudah dijelaskan di atas memperlihatkan bahwa pemilih sekedar berperan menjadi pendukung kandidat semata, tanpa memahami di balik kerumitan sistem yang ada. Hoax, klaim kemenangan sebelum pemutusan hasil pemilihan, dan potensi kecurangan yang terjadi pascapencoblosan mengindikasikan hal tersebut.
Bagaimanapun teknologi yang diterapkan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang terpenting saat ini adalah pentingnya kapabilitas aktor dalam membuat kebijakan, khususnya dalam penerapan Sirekap. Yang penting diingat, Sirekap sebaiknya tidak hanya berputar pada ranah pemerintah dan penyelengara saja. Kajian lebih jauh bagi Sirekap pun dibutuhkan.
Lingkungan publik dan pemilih juga perlu diberikan ruang yang aksesibel dan mendapat sumber kredibel melalui hasil penghitungan Sirekap. Teknologi pungut-hitung, seyogyanya diterapkan agar meminimalisir kecurangan yang terjadi. Karena teknologi dalam Pemilu seharusnya mampu mereduksi bias-bias kepentingan pihak manapun. Walaupun pada akhirnya menghadapi tantangan teknis lain seperti masalah aplikasi, jaringan dan keamanan siber. []
CHRISTIAN DESWINTA
Mahasiswa Tata Kelola Pemilu Program Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia