November 15, 2024

Ultra Petita Dewan Etik

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menghasilkan putusan atas laporan/aduan yang dialamatkan kepada Ketua dan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Selasa, 27 November 2012. Dalam putusannya, DKPP memutuskan 3 (tiga) hal, (i) Ketua dan Anggota KPU tidak terbukti melanggar kode etik, (ii) Sekretaris Jenderal KPU, Wakil Sekretaris Jenderal KPU, Kepala Biro Hukum KPU dan Wakil Kepala Biro Hukum KPU terbukti melanggar kode etik, dan (iii) memerintahkan KPU untuk mengikutkan 18 parpol yang tidak lolos verifikasi administrasi dalam verifikasi faktual.

Putusan DKPP diatas patut ditelaah lebih lanjut setidaknya untuk memberikan gambaran apakah putusan tersebut telah sesuai dengan amanat pembentukan DKPP. Sebetulnya dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu memberikan kewenangan kepada DKPP sebagai lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (pasal 1 angka 22).

Dalam Peraturan Bersama antara KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan DKPP Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum sudah cukup menjelaskan ranah etik penyelenggara pemilu. Dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum juga memberikan batasan dan ranah etik tersebut.

 “Ultra Petita”

Putusan ini justru menunjukkan bahwa DKPP telah melampaui kewenangannya sebagai penjaga etik penyelenggara pemilu. Dari ketiga putusan tersebut, hanya satu putusan yang sesuai dengan kewenangan DKPP yaitu Ketua dan Anggota KPU dinyatakan tidak terbukti melanggar kode etik.

Sementara putusan bahwa Sekjen/Wakil Sekjen KPU dan Kepala/Wakil Kepala Biro Hukum KPU yang dinyatakan bersalah secara etik justru membingungkan. Undang-Undang Penyelenggara Pemilu mengamanatkan pembentukan DKPP hanya untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota PPK, anggota PPS, anggota PPLN, anggota KPPS, anggota KPPSLN, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi dan anggota Panwaslu Kabupaten/Kota, anggota Panwaslu  Kecamatan, anggota Pengawas Pemilu Lapangan dan anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri (pasal 109 ayat 2). Jadi bisa disimpulkan bahwa putusan DKPP ini jelas salah alamat.

Hal yang lebih berbahaya adalah putusan DKPP yang memerintahkan KPU untuk mengikutkan 18 partai politik yang tidak lolos dalam verifikasi administrasi dalam verifikasi faktual. Hal ini tentu saja tidak berada dalam ranah etik yang menjadi domain kerja DKPP.

Perintah untuk mengikutkan 18 partai politik dalam verifikasi faktual dapat dikatakan sebagai bentuk intervensi DKPP terhadap tahapan pemilu. Sebagai penjaga etik penyelenggara pemilu, DKPP tidak memiliki hak untuk masuk kedalam ranah ini. DKPP tidak memiliki kewenangan untuk memerintahkan penyelenggara pemilu untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan tahapan pemilu karena itu tidak ada hubungannya dengan etik.

DKPP bukanlah saluran gugatan jika ada ketidakpuasan terhadap tahapan penyelenggaraan pemilu. Ada jalur lain yang dapat ditempuh oleh peserta pemilu jika tidak puas dengan keputusan KPU. Begitu juga dengan Bawaslu. Ketika KPU tidak menjalankan rekomendasi Bawslu bukan berarti Bawaslu membawanya ke dalam ranah etik.

Sebelumnya Bawaslu sebetulnya juga telah memberikan rekomendasi kepada KPU untuk mengikutkan 12 parpol kedalam verifikasi faktual. Namun perlu dilihat juga ketentuan dalam pasal 259 ayat (1) UU No 8/2012 disebutkan “Keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa pemilu merupakan keputusan terakhir dan mengikat, kecuali keputusan terhadap sengketa Pemilu yang berkaitan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota.”

Dalam kasus verifikasi partai politik peserta pemilu, jika terjadi sengketa maka terlebih dahulu diselesaikan di Bawaslu. Jika sengketa tidak dapat diselesaikan di Bawaslu, maka dapat dibawa ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), bukan justru melalui DKPP. Ketentuan ini seharusnya dipahami oleh partai politik calon peserta pemilu, Bawalsu dan oleh DKPP sendiri.

Ancaman Proses Pemilu?

Sehubungan dengan putusan DKPP, KPU bisa saja tidak menjalankan putusan tersebut jika memiliki keyakinan dan data yang valid bahwa 18 partai politik memang tidak memenuhi kelengkapan administrasi untuk  diikutkan dalam verifikasi faktual. Maka KPU seharusnya berani untuk tidak mengikutkan 18 partai politik tersebut dalam verifikasi faktual seperti yang diperintahkan oleh DKPP.

Dapat diproyeksikan bahwa menjelang Pemilu 2014 akan banyak laporan yang masuk ke DKPP. Jika DKPP memutuskan apa yang ada diluar kewenangannya maka dapat mengganggu proses pemilu. Padahal integritas pemilu dilihat dari integritas proses dan hasilnya.

DKPP diakui  memang memiliki kewenangan luar biasa karena putusannya yang bersifat final dan mengikat. Keputusan DKPP tidak dapat digugat. Namun DKPP juga harus berhati-hati dalam membuat keputusan. Karena bagaimanapun juga DKPP merupakan bagian dari penyelenggara pemilu yang juga harus menjaga proses dan hasil pemilu. Bukan justru menjadi bumerang dalam penyelenggaraan pemilu. Semoga! []

KHOIRUNNISA NUR AGUSTYATI
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)