Kemarin (14/4), Undang-Undang (UU) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPR Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atau UU MD3 resmi berlaku setelah habis masa tunggu 30 hari sejak Presiden Joko Widodo atau Jokowi menolak menandatangani UU tersebut. Presiden menolak menandatangani dengan dalih tak pernah mendapat informasi terkait aturan-aturan hukum baru di UU MD3. Padahal, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly, sebagai perwakilan Pemerintah, hadir di rapat paripurna penetapan UU MD3.
Pasal kontroversial di UU MD3
Pada acara Indonesia Lawyer Club di TV One, Ketua Panitia kerja (Panja) Revisi UU MD3, Supratman Andi Agtas dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mengatakan, Pasal 122 huruf k yang mengatur bahwa DPR dapat mengambil langkah hukum terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR, tak akan mengkriminalisasi siapa pun yang mengkritik DPR. Pasal ini maupun Pasal 73 tak memuat sanksi pidana.
“Saya heran kalau publik merasa bahwa semua orang akan dipidana karena mengkritik DPR. Padahal, norma 122 k itu bukan delik pidana. Sama sekali tidak ada unsur atau sanksinya di dalam. Itu tugas untuk MKD (Majelis Kehormatan DPR) untuk mewakili seluruh anggota DPR, jika ternyata ada seseorang atau sekelompok orang yang melakukan penghinaan. Ketentuan pidananya ada di KUHP. Jadi, Pasal 122 k sama sekali bukan ancaman,” tegas Supratman (19/2).
Kemudian, Supratman menjelaskan bahwa pemanggilan paksa DPR yang dimuat di Pasal 73 ayat (3) ditujukan sebagai hukum acara pemeriksaan di DPR.
Supartaman bercerita, “Ini murni usulan Komisi III. Ada suatu kejadian. Ada salah seorang pejabat gubernur yang dipanggil tiga kali berturut-turut agar bisa didengar penjelasannya di parlemen. Tapi, ternyata yang bersangkutan tidak hadir. Kemudian, oleh pimpinan Komisi III, lewat Pimpinan DPR RI, bersurat kepada Kepolisian untuk memanggil paksa yang bersangkutan. Tapi, kata Kepolisian, hal itu tidak bisa dilaksanakan karena tidak jelas hukum acaranya. Makanya inilah yang kami rumuskan. Jadi, bukan panggilan paksanya hal yang baru, tapi mekanismenya agar ini bisa dieksekusi.”
Mengenai ketentuan di Pasal 245 yang menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 244 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD, dimaknai sebagai perluasan hak impunitas DPR. Beberapa aktivis demokrasi menyatakan DPR tak patut memperkuat hak impunitasnya di tengah melemahnya produktivitas, integritas, dan kepercayaan publik kepada DPR.
Penolakan keras dari masyarakat
Sejak isu pembahasan UU MD3 muncul ke publik, UU ini langsung mendapat penolakan keras dari masyarakat. Ungkapan-ungkapan marah seperti “Demokrasi kita mati”, “Wakil rakyat kok mengkriminalisasi rakyat?” dan “Shame on you, DPR” mewarnai timeline media sosial.
Bahkan, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika), Komite Pemantau Legislatif (Kopel), Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Indonesia Budget Center (IBC) membuat petisi tolak UU MD3 melalui platform change.org. Petisi ini, per pukul 19.20 WIB, telah ditandatangani oleh 205.647 orang.
Jika melihat komentar dari para partisipan petisi, banyak ucapan kekesalan kepada DPR. Salah satunya, “UU MD3 membatasi hak suara rakyat. Suka mengkritik tapi tidak ingin dikritik” tulis akun Vera Herlina Sihono. Komentar Vera senada dengan komentar Ahmad Rizali yang menulis, “UU MD3 adalah pembungkaman suara rakyat.”
Peneliti Perludem, Usep Hasan Sadikin, berpendapat bahwa UU MD3 lebih mematikan bagi demokrasi dibandingkan dengan UU Pilkada yang mengalihkan pilkada langsung ke pilkada tidak langsung. Tak ada substitusi bagi pembungkaman suara rakyat sebab demokrasi adalah soal suara rakyat.
“Kalau dulu UU Pilkada, konversinya bisa bikin parlementer daerah. Tapi, kalau kita tidak boleh kritik perwakilan yang kita pilih, tidak ada gantinya. Makanya, UU MD3 ini bikin demokrasi lebih mati dari UU Pilkada dulu di zaman SBY (Susilo Bambang Yudhoyono),” kata Usep pada konferensi pers di kantor KoDe Inisiatif, Tebet Timur, Jakarta Selatan (15/4).
UU MD3 menjadi salah satu dari fenomena gunung es kerisauan masyarakat terhadap kinerja DPR. Lalu pertanyaannya, kemana Presiden?
Presiden tak gentleman, Koalisi Masyarakat Sipil tawarkan solusi
Dalam konferensi pers (15/4), Koalisi menyatakan kekecewaan kepada Presiden Jokowi. Sikap Presiden yang hanya menolak menandatangani UU MD3 dan melepas persoalan UU MD3 kepada publik adalah sikap lempar batu sembunyi tangan.
“Jokowi tidak tanda tangan itu hanya akrobat saja. Dia bukan orang yang bisa menyelesaikan masalah, tidak bisa mengambil resiko dan lempar batu sembunyi tangan. Sampai saat ini pun tidak ada sikap beliau terhadap Menkumham. Kita yang diajak untuk JR (judicial review) ke MK (Mahkamah Konstitusi),” tandas Direktur Eksekutif Kopel, Syamsuddin Alimsyah.
Menurut Koalisi, sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, Presiden dapat melakukan tindakan lebih tegas jika memang tak menyetujui aturan-aturan di UU MD3. Dua hal yang dapat menjadi solusi. Satu, merevisi UU MD3 atau merevisi terbatas pasal-pasal yang mencederai demokrasi di UU MD3. Dua, menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu).
“Langkah itu lebih pasti dan menunjukkan kalau Presiden punya keberpihakan. Presiden ayoklah! Jangan belain menterinya yang bodoh. Presiden mestinya belain 200 juta rakyatnya,” tegas Manager Advokasi Yappika, Hendrik Rosdinar.
Koalisi menekankan, Presiden bertanggungjawab menyelesaikan krisis demokrasi yang akan diakibatkan oleh berlakunya UU MD3. “Presiden bertanggungjawab menyelesaikan. Ini kesalahannya ada di Presiden karena membiarkan menterinya tidak melapor soal UU MD3,” ucap Ketua KoDe Inisiatif, Veri Junaidi.
Menyerahkan UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK) bukan jalan keluar
DPR dan Pemerintah mempersilakan masyarakat yang tak setuju pada aturan-aturan di UU MD3 untuk melakukan upaya hukum JR ke MK. Hal ini, selain mencerminkan sikap “lempar bola ke lembaga lain”, juga memiliki resiko. Pasalnya, MK tengah dilanda persoalan etik.
“Misal ke MK untuk JR. Kalau itu ditempuh, lalu kita berserah diri ke MK di tengah realitas yang sedang dihadapi oleh MK, ada masalah etika dan lain-lain yang menimpa MK saat ini, itu beresiko,” ujar Peneliti KoDe Inisiatif, Adelline Syahda.
Koalisi mendesak agar Presiden mampu bersikap tegas. Kinerja buruk kabinet mesti dibayar oleh Presiden dengan tindakan konkrit demi menyelamatkan demokrasi. Ada bukti bahwa rakyat tak ingin UU MD3. Presiden, yang memimpin karena suara rakyat, mesti melaksanakan kehendak rakyat.
Jika Presiden tetap diam dan menyerahkan persoalan kepada pihak lain, maka suara rakyat, “Shame on you, Mr.President!”