August 8, 2024

UU Pemilu Tak Bisa Tindak Politik Uang di Tahap Rekapitulasi Hasil

Terdapat empat norma di dalam Undang-Undang (UU) Pemilu yang memuat larangan politik uang. Satu, Pasal 523, berisi larangan politik uang pada saat kampanye. Dua, Pasal 523 ayat (2), larangan saat masa tenang. Tiga, Pasal 523 ayat (3) larangan pada hari pemungutan suara. Empat,  Pasal 515, larangan saat pemungutan suara. Empat norma ini membagi politik uang berdasarkan tiga tempo, yang tak ditemui pada UU No.10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

“UU Pemilihan (Pilkada), hanya satu pasal soal politik uang. Tidak dikaitkan dengan tahapan tertentu.  Nah, kalau UU Pemilu, ada tiga tempusnya. Jadi, unsur-unsurnya sama, tapi dibuat tempusnya berbeda,” kata Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo Santoso, pada seminar “Politik Transaksional, Korupsi Politik, dan Kampanye Hitam pada Pemilu 2019 dalam Tinjauan Hukum Pidana” di gedung Fakultas Hukum UI, Depok, Jawa Barat (9/10).

Disertakannya tahap pemilu pada norma larangan politik uang membuka lubang penegakan hukum. Tak ada norma yang mengatur larangan dan sanksi terhadap praktik politik uang pada tahap rekapitulasi hasil pemungutan suara. Padahal, berdasarkan pengalaman beberapa pemilu dan pilkada, kerap terjadi praktik politik uang pada tahap rekapitulasi.

“Proses rekap juga bisa terjadi politik uang, tapi ini tidak ada normanya di UU Pemilu. Jadi, hukumnya memang tidak memungkinkan kita menegakkan hukum,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini.

Titi juga mengkritik subjek atau pelaku politik uang yang dapat dijerat sanksi administratif, yakni calon atau pasangan calon. Menurutnya, politik uang tidak diberikan oleh calon itu sendiri, melainkan oleh orang-orang yang tak didaftarkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Calon memang bisa didiskualifikasi kalau melakukan politik uang. Tapi, hanya calon yang kadung bodoh yang ngasih uang ke pemilih langsung hand on hand. Biasanya kan dilakukan oleh bayang-bayangnya, bukan dia langsung,” tandas Titi.

Menimpali Titi, Topo menceritakan perdebatan hukum yang pernah terjadi di Indonesia. Beberapa penegak hukum meminta pelapor kasus dugaan politik uang untuk membuktikan pemberi uang berhasil memengaruhi pemilih untuk memilih kandidat tertentu. Hal ini dinilai Topo mengada-ada, sebab pembuktiannya mengharuskan pemilih untuk membuka kerahasiaan pilihannya yang dijamin oleh konstitusi.

“Ada yang mendebat dari penegak hukum. Katanya harus dibuktikan bahwa orang yang diberikan uang itu ikut pemilu dan memilih partai atau calon yang memberikan dia uang. Nah, itu gimana ceritanya itu? Lah itu kan harus buka kotak suara. Itu merusak kerahasiaan,” ujar Topo.

Titi turut mengisahkan kejadian di Aceh Singkil dimana salah satu kandidat memberikan politik uang kepada pemilih sebesar 500 ribu rupiah untuk memilihnya. Namun, sebab penyelenggara pemilu berhasil meyakinkan pemilih bahwa bilik suara adalah perkara pilihan hati yang kerahasiaannya dijamin dan bahwa pemilu mampu membawa perubahan terhadap nasib masyarakat, kandidat yang memiliki dinasti politik dan merupakan “horang kayah” tersebut tak berhasil menang.

“Dia kalah. Padahal, kepala-kepala dinas itu rata-rata keluarganya. Dia punya kebun sawit, punya SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum). Kekalahan dia membuktikan bahwa masyarakat memahami ada ketidakadilan di situ dan penyelenggara pemilu mampu meyakinkan pemilih bahwa bilik suara itu ruang privat dia untuk memilih,” kisah Titi.

Pemilih diharapkan tidak memilih kandidat yang memberikan sejumlah uang atau barang seperti sembako. Pemilih harus dapat membedakan antara kesalehan individu dengan fungsi seorang pemimpin dalam pemerintahan. Uang yang diberikan oleh calon pemimpin kepada pemilih tak menandakan bahwa yang bersangkutan dermawan atau rajin sedekah, melainkan seorang figur korup yang hendak membeli pilihan pemilih dengan sejumlah uang.

“Kenapa Fuad Amin terpilih terus? Karena masyarakat tidak melihat dia sebagai figur pemimpin yang punya fungsi di pemerintahan. Masyarakat mikirnya, Fuad Amin itu ulama yang kalau di jalan memberi uang. Padahal, dalam konteks pemilu, ini harus dibedakan,” terang Titi.