Gerakan pemuda dan mahasiswa dalam menolak UU Pilkada hari ini berhutang pada perjuangan Hendriawan Sie, Hafidhin Royan, Elang Mulia Lesmana, dan Hery Hartanto—aktivis mahasiswa proreformasi. Mereka gugur melawan oligarki Soeharto, yang runtuh sembilan hari setelah tragedi Trisakti itu.
Setidaknya, ada dua (dari enam) tuntutan penting yang didengungkan gerakan mahasiswa proreformasi. Tuntutan yang kemudian sohor sebagai Tuntutan Reformasi ini penting dalam meruntuhkan oligarki. Di masa Orde Baru, kita tahu, oligarki cukup menjaga loyalitas kepada rezim berkuasa.
Dua poin penting Tuntutan Reformasi itu adalah, pertama, mengadili Soeharto dan kroninya. Tuntutan ini mencoba membabat habis semua oligarki yang berafiliasi dengan Soeharto. Kedua, amandemen konstitusi. Tonggak reformasi ini digemakan untuk menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara. Dari sinilah cikal bakal perubahan sistem pemerintahan parlementer ke presidensial. Amandemen ini juga mencoba memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi.
Perjuangan reformasi telah meruntuhkan tatanan politik patron-klien secara drastis dan cukup membuat oligarki kelimpungan. Meskipun pada perjalanannya, oligarki kemudian secara perlahan mencoba mengonsolidasikan aset ekonomi dan menyesuaikan diri dengan demokrasi. Oligarki mencari aliansi dengan penguasa politik baru.
Oligarki yang Mewabah Kembali
Oligarki dalam demokrasi kita yang masih muda merangsek pelan-pelan. Saya kemudian ingat wabah sampar di Oran, dalam novel La Peste milik Camus si eksistensialis Perancis. Sampar mula-mula menjangkiti tikus yang mati satu per satu di Oran. Lalu, di tahun-tahun yang sulit itu, dengan perlahan penyakit sampar kemudian mencoba membunuh seluruh penduduk Oran.
Oligarki, yang bagai sampar itu, masuk pelan-pelan melalui politik elektoral. Konglomerat terlibat aktif dalam politik. Mereka menjadi pengurus partai politik atau dinominasikan sebagai kandidat. Oligarki mulai mencoba menguasai demokrasi.
Wabah oligarki juga menjangkiti partai politik di parlemen kita. Riset Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI merinci basis keterpilihan anggota DPR hasil Pemilu Legislatif 2014 lalu mengandalkan kekuatan finansial dan kekerabatan untuk mendukung elektabilitas yang tinggi. Tujuh dari 77 anggota terpilih yang memiliki jaringan kekerabatan masuk dalam 10 besar peraih suara tertinggi.
Komposisi anggota baru yang lolos dengan basis oligarki ini menempati 57 persen kursi di DPR. Sementara 43 persen sisanya adalah anggota DPR petahana. Puskapol mengidentifikasi petahana yang tidak terpilih kembali justru adalah petahana yang kritis terhadap posisi dan kebijakan partai atau fraksi.
Hal ini menunjukkan adanya peluang kuat dominasi fraksi dan partai atas sikap otonom seorang anggota. Anggota DPR baru nantinya akan ditundukkan pada kebijakan internal partai serta dominasi kuat sikap fraksi. Anggota DPR berpeluang menjadi pion-pion yang digerakkan oligarki.
UU Pilkada dengan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD juga adalah bentuk upaya oligarki untuk kembali mendominasi ranah politik dan ekonomi. UU Pilkada ini berbahaya dan berpeluang membuka kembali model pemerintahan yang disebut Luky Djani sebagai Timokrasi—segelintir orang kaya atau oligarki menguasai demokrasi.
Episode 2014 ini, sejatinya merupakan kelanjutan dari reposisi pasca krisis moneter 1998. Pemilihan kepala daerah melalui DPRD perlu dicurigai sebagai kelanjutan proses bentuk-membentuk (shape and reshape) akibat perubahan struktural pascareformasi. Tujuannya sama: agar proses politik dapat dikontrol oleh oligarki seperti pada masa Orde Baru.
Dr. Rieux, UU Pilkada, dan Gerakan Mahasiswa Hari Ini
Penduduk Oran yang terjangkit sampar memberi respons yang beragam. Yang menonjol adalah sikap Dr. Rieux yang sangat-sehari-hari. Bagi Dr. Rieux, terlibat memerangi sampar adalah kewajaran. Bagi seorang dokter, kewajaran di situ berarti menjalankan pekerjaan dengan sebaik-baiknya—bukan soal menang-kalah, baik-buruk, atau benar-salah. Dia tak mempedulikan itu.
“That’s an idea that may make some people smile, but the only means of fighting a plague is—‘common decency’,†kata Rieux.
Dalam melawan wabah oligarki yang mencoba masuk melalui UU Pilkada, gerakan mahasiswa perlu berkaca pada niat Rieux dalam melawan Sampar. Ia bergerak jauh dari pretensi heroik gagah-gagahan. Gerakan mahasiswa tak bisa hanya ikut berlandaskan pada gonjang-ganjing perebutan kuasa elit pasca-Pemilu Presiden 2014.
Landasan gerakan justru perlu menjejak dan bersangkut-paut pada kepentingan rakyat. Telah jadi urusan sehari-hari mahasiswa dalam melawan (kemungkinan) kesewenang-wenangan kuasa yang tak memerhatikan rakyat sama sekali. Adalah kewajaran juga untuk mahasiswa dalam mengabdi pada masyarakat sebagaimana terpatri dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Dengan berlandaskan hal ini, sudah saatnya gerakan pemuda dan mahasiswa turut berkontribusi. Ia perlu memberi tekanan publik mengawal UU Pilkada dan terbitnya perpu pencabutan UU ini oleh SBY. Tekanan publik itu, salah satunya bisa didorong melalui konsolidasi lintas elemen masyarakat, pembuatan pernyataan sikap bersama, dan aksi turun ke jalan.
Perkara hilangnya hak politik warga, efisiensi biaya pemilukada, potensi konflik pascapemungutan dan perhitungan suara, serta banyaknya kepala daerah yang terpilih secara langsung ternyata terlibat dalam skandal korupsi adalah ekses dari demokratisasi itu sendiri. Hal ini akan membaik dengan turut serta mendorong perbaikan mekanisme rekrutmen partai politik.
Demokrasi memang bisa ditindas sementara karena kesalahannya sendiri. Tetapi, mengutip Bung Hatta dalam Demokrasi Kita: Idealisme dan Realitas Serta Unsur yang Memperkuatnya, “setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan.†[]
MAHARDDHIKA