Ditetapkannya Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) dengan cara pemilihan di DPRD menjadi titik kulminasi runtuhnya partisipasi rakyat dalam membangun demokrasi. Partisipasi rakyat yang tidak mendapatkan tempat di alam demokrasi membunuh demokrasi itu sendiri.
Berdalih keterwakilan, partai yang semestinya menjadi mesin penyadaran politik rakyat dalam rangka mengembangbiakkan demokrasi, justru membajak hak partisipasi rakyat dalam berdemokrasi. Praktik predator demokrasi itu kerap dijalankan mereka yang mengatasnamakan wakil rakyat. Di dalam polemik UU Pilkada, praktik itu nampak telanjang.
Dalam hal ini, partisipasi di dalam demokrasi menjadi kunci. Fungsinya bukan sekadar sebagai suara rakyat berkonversi menjadi kursi. Lebih dari itu, ia roh dalam demokrasi itu sendiri. Roh hakikatnya tidak sepenuhnya bisa diwakilkan oleh siapapun.
Belajar dari pembangunan terus menerus proses demokrasi, kita bisa melihat negara-negara Amerika Latin. Terdapat perbedaan mencolok soal partisipasi rakyat yang tidak cukup diukur dalam pemilu. Tetapi, pada praktek demokrasi partisipatoris yang dijalankannya.
Demokrasi partisipatoris menjadi lawan demokrasi representatif atau keterwakilan. Substansi partisipatoris mengoreksi representatif yang mengandalkan fungsi kepartaian elitis sebagai representasi politik rakyat. Arah politik partai diasumsi berasal dari keinginan rakyat. Faktanya, representasi itu tidak lahir dari konsensus dan kesadaran politik rakyat. Alhasil, pembahasan amademen konstitusi, anggaran, dan kebijakan publik dibahas, ditransaksikan, dan ditetapkan melalui tangan keterwakilan partai-partai di parlemen.
Di beberapa negara di Amerika Latin, rejim rakyat yang berkuasa membangun partisipasi konkret rakyat di dalam pembahasan konstitusi, anggaran, dan kebijakan publiknya. Partisipasi rakyat tidak dibatasi dalam koridor pemilu untuk menghindari reduksi demokrasi yang memposisikan sekelompok kecil menentukan nasib sebagian besar orang.
Sebut Venezuela. Negara yang tengah dipimpin Nicolas Maduro, seorang yang pernah menjadi supir bus itu meneruskan upaya membalikkan demokrasi keterwakilan dengan penerapan demokrasi partisipan. Venezuela bisa dikatakan negara yang paling demokratis secara substansial dan prosedural atau elektoral.
Mengadopsi demokrasi partisipatoris tertutup Kuba (1980an) dan didahului dengan penganggaran partisipatif di Porto Alegre, Brasil (1989), massa rakyat di Venezuela dapat memberikan aspirasinya secara langsung. Dampaknya, elitisme parlemen diubah menjadi proses partisipatoris yang menyentuh basis terendah di massa rakyat.
Kondisi partisipatoris memungkinkan rakyat mengorganisir diri untuk merencanakan program untuk mereka sendiri. Pendidikan politikpun dilakukan di dalamnya. Dengan demikian, sistem sosial yang integral membuat mereka menyadari kekuasaan dan kedaulatan ada di tangan mereka sendiri.
Di Venezuela, basis partisipasi rakyat berada dalam wadah yang disebut Dewan Komunal. Dewan-dewan komunal dibentuk di berbagai level massa sampai di desa-desa untuk membahas kebutuhan dasar dan anggarannya melalui program-program kerakyatan yang mereka usulkan ke pemerintah.
Tidak sekadar kebutuhan dasar, mereka juga diberikan ruang dalam penyusunan konstitusi negaranya. Sehingga, konstitusi baru yang digalang dan ditetapkan oleh Hugo Chaves, presiden sebelumnya sekaligus penggerak revolusi Bolivarian, lebih merakyat.
Konstitusi Rakyat
Di dalam mengubah konstitusi, Chavez tidak sewenang-wenang. Ia membutuhkan legitimasi dari massa rakyat dengan menggelar referendum pada tanggal 19 April 1999. Referendum pertama untuk memutuskan perlu atau tidaknya melangsungkan sidang Majelis Konstituante untuk merancang konstitusi yang baru. Sebanyak 92% rakyat memilih setuju.
Majelis konstituante terbentuk dua bulan kemudian di tanggal 25 Juli melalui pemilu. Kelompok masyarakat yang pro revolusi Bolivarian membentuk aliansi Polo Patriotico yang terdiri dari MVR (Movimiento Quinta Republica), PCV (el Partido Comunista de Venezuela), PPT (Patria Para Todos), dan MAS (Movimiento al Socialismo). Mereka memenangkan 120 kursi dari 131 kursi yang diperebutkan.
Majelis Konstituante diberi waktu enam bulan untuk menyelesaikan rancangan konstitusi baru Venezuela. Pada Desember 1999, rancangan itu selesai dan dilakukan pemungutan suara dari rakyat. Untuk pertama kalinya rakyat miskin Venezuela dapat menentukan konstitusi mereka sendiri. Sebanyak 71,8% suara menyetujui konstitusi itu, dengan abstensi 55,6% suara. Konstitusi baru itu kemudian diberi nama Konstitusi 1999.
Konstitusi baru Venezuela terbilang terpanjang di dunia. Di dalamnya terdapat 300 artikel dan banyak perubahan signifikan. Antara lain, perubahan nama negara dari Republik Venezuela menjadi Republik Bolivarian Venezuela. Struktur negara juga diubah. Chavez membuat terobosan demokratik dimana presiden dapat diberhentikan langsung oleh rakyat melalui referendum. Jika massa rakyat tidak puas dengan kinerja presiden, mereka tidak perlu menunggu hingga masa jabatan presiden berakhir untuk menggantinya yang baru.
Referendum pemberhentian presiden ini pernah diuji pada tahun 2004 setelah oposisi berhasil mengumpulkan 20 persen tandatangan. Hasilnya, kemenangan rakyat tetap memilih jalur revolusi Bolivarian itu. Chavez mendapatkan dukungan suara sebanyak 59 persen.
Di Konstitusi 1999 juga menjamin pelayanan gratis bagi rakyat. Isu gender juga menjadi bagian yang penting dalam perubahan ini, dimana konstitusi baru, menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, menjamin hak-hak ibu rumah tangga dengan memberikan jaminan keamanan sosial. Menurut konstitusi, pekerjaan rumah tangga merupakan bagian dari nilai-nilai sosial yang mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran.
Persoalan kepemilikan tanah, pajak tinggi bagi perusahaan asing minyak bumi dan gas, dan perlindungan terhadap hasil perikanan juga dijamin perlindungannya di dalam undang-undang Ley Habilitante yang diterbitkan Chavez. Dengan undang-undang itu Chavez diberi hak mengeluarkan dekrit dengan menerbitkan 49 undang-undang yang berpihak pada buruh, tani, nelayan, dan kaum miskin tanah.
Demokrasi partisipatoris di Venezuela membangkitkan dan menyadarkan praktik politik massa rakyat. Bahkan, kesadaran politik itu terlihat jelas saat peristiwa kudeta militer pro barat pada tahun 2002. Saat itu, Chavez diculik dan pemerintahan diambilalih oleh antek-antek barat. Mengetahui kejadian itu, ribuan rakyat dari kampung-kampung miskin di perkotaan dan desa-desa mengelilingi Istana Milaflores untuk mengembalikan kekuasaan Chavez.
Selain itu, sabotase ekonomi dari para kapitalis dijawab oleh rakyat pekerja dengan okupasi terhadap pabrik-pabrik kaum kapitalis, program-program kerakyatan direncanakan, dioperasionalisasikan dan diawasi langsung oleh rakyat melalui Dewan Komunal.
Kesimpulannya, massa rakyat Venezuela kini lebih dilibatkan dalam menjalankan roda pemerintahan. Mereka berpartisipasi langsung dalam mengawasi guna mencegah peyelewengan kekuasaan yang dilakukan lembaga-lembaga negara. Jika ada penyelewengan, massa rakyat bisa menjatuhkan sanksi.
Pemilu Paling Aman dan Akurat
Di ranah pemilu, kesadaran politik rakyat Venezuela bangkit akibat praktik demokrasi partisipatoris. Dengan kesadaran itu telah menurunkan tingkat golput secara drastis. Tingkat golput menurun secara signifikan secara bertahap dari 65 persen sebelum Chavez berkuasa menjadi 35 persen.
Tidak hanya melalui pemilu, proses referendum juga kembali diaktifkan dan diinformasikan kepada massa. Termasuk, aksi tandatangan pencabutan mandat rakyat terhadap pemerintahan yang berkuasa jika melakukan penyelewengan. Hal itu legal dijamin di dalam konstitusi.
Sejalan dengan praktik demokrasi substansial yang ideal, Venezuela juga memiliki sistem pemilu yang terbaik di dunia, paling aman dan paling akurat (www.forbes.com). Mantan Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter juga ikut memberikan apresiasinya (www.venezuelanalysis.com).
Untuk memudahkan pemilih dan menjamin aman dan akuratnya hasil pemungutan suara, warga di sana tidak menggunakan paku untuk mencoblos surat suara. Pemilu di sana menggunakan E-Voting. Warga Venezuela tinggal menempelkan jari mereka di alat pemindai yang terdapat visualisasi seperti surat suara.
Untuk menjamin keamanan dan akurasi suara rakyat, alat itu mengeluarkan struk yang berisi pilihan mereka. Struk itu harus dimasukkan ke kotak suara. Jadi, ada dua data yang tercatat, yaitu data elektronik dan data fisik. Setelah pemungutan suara berakhir, alat E-voting itu akan melakukan rekapitulasi elektronik.
Hasil rekapitulasi elektronik ini akan disesuaikan dengan data fisik yang didapat dari struk tadi. Perhitungan suara dinyatakan valid apabila tingkat kesesuaian data elektronik dan data fisik mencapai setidaknya 52,98 persen. Petugas di TPS setempat berkewajiban untuk memastikan tidak ada manipulasi data yang terjadi.
Sistem pemilu di Venezuela sendiri mengadopsi sistem Mixed Member Proporsional (MMP). MMP merupakan formula yang memberikan kompensasi kursi dari suara yang hilang akibat penerapan sistem distrik. Kursi distrik di Venezuela dipilih menggunakan First Past The Post (FPTP). Di bawah sistem MMP, kursi sistem proporsional diberikan bagi setiap hasil yang dianggap tidak proporsional.
Sedikit penjelasan, FPTP merupakan sistem pemilihan dimana calon yang menang adalah orang yang memenangkan paling banyak suara. Biasanya melibatkan daerah pemilihan wakil tunggal. Sistem ini ditujukan demi mendekatkan hubungan antara calon legislatif dengan pemilih. Tentu sejalan dengan demokrasi partisipatoris yang sedang digiatkan. Kedekatan ini juga akibat daerah pemilihan yang relatif kecil (distrik). Wilayah distrik kira-kira sama dengan satu kota.
Di Venezuela, terdapat 102 kursi (50%) yang dipilih berdasarkan sistem distrik, 87 kursi dipilih berdasarkan sistem proporsional, sisanya 15 kursi proporsional yang disediakan sebagai kompensasi (Reynolds and Reilly, 1997:74-75).
Di dalam aplikasinya, jika satu partai memenangkan 10% suara secara nasional, tetapi tidak memperoleh kursi di distrik/daerah, partai itu akan diberikan kursi yang cukup dari daftar proporsional guna membuat partai itu memiliki 10% kursi di legislatif.
Dengan sistem ini, cenderung menghasilkan pemerintahan kuat dari satu partai. Tetapi tidak menutup munculnya oposisi. Bahkan, di dalam pemilihan kandidat juga membuka peluang muncul calon independen, sistem yang dirasa selaras dengan proses demokratisasi yang sedang dibangun di bawah rejim revolusi Bolivarian.
Bagaimana Indonesia?
Singkat saja. Ayo diskusikan. Tetapi yang pasti, semua kembali kepada keinginan rejim penguasa untuk membangun demokrasi partisipatoris yang lebih substansial itu. Rakyat tidak hanya diandalkan suaranya dalam pemilu lima tahunan, tetapi partisipasi politik keseharian. Sehingga, perilaku predator demokrasi yang terlihat jelas dalam UU Pilkada, UU MD3, UU Politik, UU Penanaman Modal, dll, dapat dipangkas oleh kedaulatan rakyat.
Selain itu, dibutuhkan kekuatan politik alternatif yang memang memihak kepada kedaulatan rakyat itu. Bukan, partai-partai pelayan rejim kapitalis global dan partai-partai oligarkis yang hanya mementingkan kelompoknya saja.
Untuk pemerintahan terpilih saat ini, mari kita uji bersama keberpihakannya kepada kedaulatan rakyat seperti yang diterapkan di Venezuela. Â []
HERU SUPRAPTO
Pegiat rumahpemilu.org