March 29, 2025

UU TNI dan Kekuatan Baru untuk Mengontrol Dunia Maya

UU TNI yang baru disahkan pada Kamis 20 Maret 2025, memberikan mandat baru bagi TNI, yakni bertugas untuk menjaga pertahanan siber negara. Dengan adanya tugas tambahan ini, TNI seolah diberi wewenang untuk terlibat langsung dalam dunia maya, yang selama ini menjadi ruang bagi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Keputusan ini menimbulkan berbagai pertanyaan terkait dengan potensi dampak negatifnya terhadap kebebasan berpendapat, terutama dalam hal pengawasan dan pengendalian informasi di dunia maya. Salah satu kekhawatiran besar adalah potensi pembatasan kritik terhadap pemerintah di media sosial. Dalam perspektif yang lebih luas, apakah UU ini membuka jalan bagi TNI untuk mengontrol narasi di internet dan mereduksi kebebasan berpendapat?

TNI sebagai Alat Negara untuk Mengontrol Dunia Maya

Jika kita merujuk pada teori Max Weber tentang kekuasaan dan negara, di mana negara adalah satu-satunya entitas yang sah dalam menggunakan kekerasan (baik fisik maupun simbolis), maka penugasan TNI dalam ranah siber dapat dipahami sebagai langkah untuk memperkuat peran negara dalam mengendalikan potensi ancaman terhadap stabilitasnya. Kekerasan dalam konteks negara tidak selalu bersifat fisik, tetapi juga bisa berupa pemaksaan atau pengendalian yang dilaksanakan oleh institusi negara untuk memastikan tercapainya tujuan dan kepentingannya. Dalam hal ini, kekerasan yang dilakukan oleh negara bisa lebih halus dan tidak selalu terlihat, seperti pembatasan kritik atau pengendalian informasi yang beredar di ruang publik.

Dalam konteks UU TNI yang baru, TNI diberikan kewenangan untuk menjaga ketahanan siber. Hal ini berarti TNI memiliki akses untuk memantau, mengendalikan, bahkan mungkin menanggapi atau menyaring informasi yang beredar di dunia maya. Seiring dengan semakin pentingnya ruang siber sebagai medan pertempuran informasi, ini dapat menjadi alat negara untuk mengontrol persepsi publik terhadap pemerintah. Dengan demikian, TNI berpotensi terlibat dalam pengawasan konten di media sosial, yang jika tidak diatur dengan hati-hati, bisa membatasi kebebasan berekspresi dan mengurangi ruang bagi kritik terhadap pemerintah.

UU TNI dan Potensi Pembatasan Kritik di Media Sosial

Pembatasan kritik di media sosial adalah salah satu dampak paling nyata yang bisa muncul jika UU TNI ini benar-benar diterapkan. Selama ini, media sosial telah menjadi salah satu ruang paling terbuka bagi masyarakat untuk mengekspresikan pendapat mereka, termasuk kritik terhadap pemerintah. Media sosial menjadi tempat di mana suara-suara yang tidak terdengar di media mainstream dapat mengemuka. Namun, dengan TNI yang diberi kewenangan untuk menjaga pertahanan siber, ada potensi bahwa kritik-kritik terhadap pemerintah dapat dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas nasional.

Salah satu masalah yang mungkin timbul adalah bagaimana mendefinisikan “ancaman terhadap stabilitas”. Dalam konteks ini, ancaman bisa sangat subyektif dan bisa digunakan untuk membungkam kritik yang sah. Apa yang dianggap sebagai “berita bohong” atau “hoaks” bisa menjadi alasan untuk menghapus konten yang mengkritik pemerintah, meskipun itu hanya berupa pandangan atau opini yang sah dari masyarakat. UU ini bisa membuka peluang bagi TNI untuk menekan suara-suara yang bertentangan dengan narasi pemerintah, yang pada gilirannya mengurangi kebebasan berekspresi.

Bentuk kekerasan yang digunakan di sini bukanlah kekerasan fisik, melainkan pemaksaan terhadap narasi yang boleh dan tidak boleh berkembang di dunia maya. Hal ini mirip dengan cara negara mengontrol informasi untuk memastikan bahwa hanya narasi yang mendukung pemerintah yang mendominasi, sementara kritik-kritik yang berpotensi mengguncang stabilitas kekuasaan akan dibungkam. Dalam jangka panjang, pembatasan ini akan merusak ekosistem kebebasan berekspresi yang menjadi landasan penting dalam demokrasi.

TNI di Dunia Maya: Pengawasan yang Berlebihan?

Selain pembatasan kritik, ada juga kekhawatiran tentang pengawasan berlebihan yang dapat dilakukan oleh TNI di dunia maya. Dengan kewenangan baru ini, TNI bisa memiliki kemampuan untuk memantau aktivitas online yang jauh lebih luas daripada sebelumnya. Pengawasan semacam ini tentu berpotensi mengarah pada pelanggaran privasi individu dan kebebasan digital. Dalam dunia yang semakin terkoneksi, setiap individu hampir pasti memiliki jejak digital di internet, yang bisa jadi target pengawasan oleh pihak-pihak yang diberi kewenangan untuk mengelola pertahanan siber.

Di sisi lain, meskipun TNI dapat beralasan bahwa pengawasan siber diperlukan untuk menjaga keamanan negara dari ancaman eksternal atau ancaman dalam negeri yang disebarkan melalui media sosial, penting untuk menjaga keseimbangan antara keamanan dan kebebasan individu. Terlalu banyak pengawasan bisa mengarah pada overreach, di mana hak-hak dasar masyarakat, termasuk kebebasan untuk mengakses informasi dan berkomunikasi, terancam.

Implikasi Jangka Panjang: Kekuasaan Negara yang Terpusat

Jika UU TNI ini terus berjalan tanpa pengawasan yang ketat, kita bisa melihat terjadinya sentralisasi kekuasaan yang lebih besar di tangan negara, yang pada gilirannya mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi. Menurut teori Weber, negara sebagai entitas yang sah memiliki monopoli atas penggunaan kekerasan, tetapi dalam demokrasi, penggunaan kekuasaan harus selalu diawasi untuk mencegah penyalahgunaan. Di dunia maya, ini bisa berarti pengawasan yang ketat terhadap informasi dan opini publik yang beredar.

Berdasarkan ini, kita harus bertanya, apakah negara, dalam hal ini TNI, harus memiliki kendali sebesar itu atas ruang publik digital? Adakah mekanisme yang cukup untuk memastikan bahwa kekuasaan ini tidak disalahgunakan? Tanpa kontrol yang ketat, kekuasaan TNI di dunia maya bisa berkembang menjadi alat represif yang membatasi kebebasan berpendapat.

Menghadapi Tantangan: Membuka Ruang Diskusi Tanpa Mengurangi Keamanan

Kita harus menyadari bahwa keamanan siber memang penting, dan ancaman terhadap negara melalui dunia maya, seperti serangan siber atau penyebaran disinformasi, tidak dapat dianggap remeh. Namun, langkah-langkah untuk mengatasi masalah ini tidak boleh mengorbankan kebebasan individu. Salah satu solusinya adalah dengan memberikan kewenangan yang lebih terbatas dan terfokus kepada TNI dalam hal pengawasan siber, serta memastikan bahwa kontrol yang dilakukan di dunia maya tetap memperhatikan hak privasi dan kebebasan berekspresi masyarakat.

Sebagai alternatif, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan pengawasan ini tidak digunakan untuk membungkam perbedaan pendapat atau mengendalikan narasi di media sosial. Hal ini bisa dilakukan dengan menciptakan mekanisme transparansi yang jelas, serta pengawasan independen terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil dalam menjaga pertahanan siber. Dengan begitu, kita bisa menjaga keseimbangan antara keamanan dan kebebasan yang menjadi dasar negara demokrasi kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.