Para pegiat pemilu menyoroti wacana kenaikan parliamentary threshold. Per 11 Februari 2020, usulan yang dilontarkan oleh partai politik berkisar antara 5 hingga 7,5 persen. Kenaikan parliamentary threshold dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya bagi demokrasi, sebuah gelagat menguatnya oligarki.
Direktur Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti menyebut wacana kenaikan parliamentary threshold sebagai isu baru dalam rangkaian rencana politik para oligark, yang dimulai dari isu menghidupkan kembali garis besar haluan negara (GBHN) dan pemilihan presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lalu terjadinya kasus calon anggota legislatif (caleg) terpilih yang hendak digantikan oleh calon pilihan partai. Isu ini juga muncul bersamaan dengan kabar turunnya rekomendasi Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk Gibran Rakabuming, putra Presiden Joko Widodo yang hendak mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dari PDIP. Ray menyebut proses pencalonan kepala daerah sebagai ruang subur bagi tumbuhnya oligark partai dan menguatnya elitisme pimpinan pusat.
“Ini gelagat menguatnya oligarki. Kan kemarin juga ada wacana mengembalikan GBHN agar presiden tidak lagi dipilih oleh rakyat. Partai politik juga sekarang diurus dengan cara yang sangat oligarkis dan elitis. Kepala daerah harus dekat dengan DPP (Dewan Pimpinan Pusat). Kasus Gibran di Solo, memperlihatkan itu. Orang bisa lompat, tidak penting kerja apa di daerah, yang penting dekat dengan orang pusat,” urai Ray pada diskusi “Parliamentary threshold dan Kuasa Oligarki Partai” di kantor Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP), Kuningan, Jakarta Selatan (11/2).
Ray menjelaskan, jika parliamentary threshold meningkat, kerja oligark untuk mengatur politik Indonesia akan semakin mudah. Pasalnya, diprediksi tak akan ada lebih dari lima partai yang berhasil lolos ke parlemen. Lima partai itu, diduga Ray, PDIP, Golongan Karya (Golkar), Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) atau Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan NasDem atau Partai Demokrat.
“Hanya ini yang akan masuk. PPP, PAN, mungkin akan terlempar. Bangsa ini nantinya akan diatur oleh gak lebih dari lima partai. Mereka bisa tarik ini nanti ke siapa presidennya. Jadi, PDIP berkongsi dengan Golkar, dan Nasdem. Lalu PKS dan Gerindra. Sudah itu saja,” tandasnya.
Melengkapi argumen Ray, Peneliti Cakra Wikara, Yolanda Panjaitan mengaitkan parliamentary threshold dengan konsep keterwakilan politik. Jika parliamentary threshold meningkat, kemungkinan akan lebih banyak kelompok yang tidak terwakili kepentingannya dalam politik formal. Hal ini justru dapat mengganggu stabilitas politik akibat tidak terakomodasinya suara berbagai kepentingan.
“Kelompok buruh, nelayan, warga miskin kota, perempuan, apakah partai-partai yang sekarang ada sudah mewakili? Mungkin ada pertanyaan, kalau kekuatannya kecil juga bisa apa di DPR? Tapi setidaknya dia bisa jadi warna, bisa bersuara,” ujar Yolanda pada diskusi yang sama.
Menurutnya, parliamentary threshold yang terlalu tinggi hanya akan mempersulit ruang warga negara untuk berpartisipasi dalam politik formal. Padahal, aturan yang ada, seperti syarat untuk menjadi partai politik berbadan hukum dan menjadi partai politik peserta pemilu telah sulit.
“Kenapa harus diperberat lagi? Syarat menjadi partai politik di negeri ini berat, juga ditambah syarat menjadi partai politik peserta pemilu. Lalu berat lagi untuk masuk di DPR meski sudah mengantongi suara,” kata Yolanda.
Partai semestinya dibenahi dulu
Turut tak sepakat pada kenaikan parliamentary threshold, analis politik dari Exposit Indonesia, Arif Susanto memprediksi kenaikan parliamentary threshold tak akan berpengaruh signifikan pada perbaikan kualitas parlemen selama partai politik sebagai sebuah institusi tak dibenahi. Arif mendorong partai bertransformasi menjadi institusi yang modern, yakni tak terkooptasi oleh elit dan oligark, dan melepaskan diri dari jerat budaya klientelisme.
“Harus ada modernisasi agar kenaikan parliamentary threshold bisa punya dampak signifikan pada pembuatan keputusan di DPR. Kalau modernisasi partai tidak dilakukan, naiknya parliamentary threshold hanya akan memberikan keuntungan pada partai-partai yang lebih mapan. Nyaris semua partai yang setuju pada kenaikan parliamentary threshold ada dalam kendali elit,” tutur Arif.
Arif juga mendorong partai politik parlemen untuk belajar berkonsus dalam mengambil keputusan di DPR. Ia menilai, berlarutnya proses pengambilan di DPR disebabkan oleh perilaku partai yang transaksional dan kompromistis.
“Pengambilan keputusan lebih transaksional. Kompromistis. Kalau dia bisa kasih kue lebih banyak ke saya, saya pilih dia. Politik dagang sapi. Dampaknya, proses pengambilan keputusan berlarut dan mengorbankan kepentingan publik,” katanya.
Revisi Undang-Undang (UU) Pemilu masuk ke dalam prioritas pembahasan legislasi tahun 2020. Diharapkan, proses penyusunan revisi melibatkan semua pihak, membuka ruang yang luas bagi publik untuk mengawasi proses, dan tak berkelindan pada isu-isu yang sarat kepentingan partai politik semata, seperti ambang batas pencalonan presiden, parliamentary threshold, metode konversi suara, besaran dapil, dan sistem pemilihan legislatif.