January 31, 2025

Wacana Perkuat Wewenang MPR dan GBHN Melemahkan Posisi Presiden

“Perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah sebuah keniscayaan. Tapi, apa dulu yang mau diubah? UUD kita punya banyak kelemahan. Perubahan satu sampai keempat itu sarat muatan politik. Apa yang mau diubah?” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari mengawali diskusi bertajuk “Amandemen Konstitusi, Kepentingan Rakyat atau Berebut Kuasa?” di Gondangdia, Jakarta Pusat (14/8). Feri menyetujui jika amandemen dilakukan terhadap sejumlah permasalahan di dalam konstitusi, seperti memperkuat wewenang Dewan Perwakilan Daerah (DPD), mengurangi dominasi partai politik, merubah skema pemilihan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), serta memperjelas tugas dan wewenang Komisi Yudisial (KY). Namun, jika amandemen terbatas dilakukan untuk mengembalikan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan memperkuat posisi MPR, wacana tersebut dinilainya mesti ditolak. MPR bukanlah lembaga negara, melainkan forum bertemunya dua lembaga negara, yakni DPD dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tak ada mekanisme pemilihan anggota tersendiri pada MPR.

“MK, hakimnya ditentukan oleh partai politik. MA kebanyakan hakim sehingga gak jelas siapa yang bertanggungjawab dengan kerja lelet mereka. KY, gak jelas juga. KPU dipilih oleh peserta pemilu. Jadi, banyak masalah dalam konstitusi kita. Kenapa itu tidak dibicarakan? Kenapa GBHN? Apakah setelah reformasi, kita ada masalah dengan tiadanya GBHN? Ndak ada,” tandas Feri.

Menurutnya, wacana MPR sebagai lembaga tertinggi negara merupakan langkah yang tak sesuai dengan komitmen negara untuk memperkuat sistem presidensialisme. Jika MPR merupakan lembaga tertinggi, maka pusat pemerintahan berada di tangan parlemen. Wacana ini disebut Feri sebagai wujud dari keinginan partai politik untuk mendominasi pemerintahan.

“Indonesia, sistemnya presidensil, tapi yang mau berkuasa tetap ketua-ketua partai. Caranya, mungkin masuk ke lembaga yang disebut MPR melalui TAP (Ketetapan) MPR yang merumuskan GBHN yang bisa berubah kapanpun. Dengan begitu, ada cara untuk mengendalikan presiden. Kalau presiden salah menerapkan GBHN, bisa dimakzulkan, seperti Gus Dur dulu,” jelas Feri.

Lebih lanjut, Feri mengatakan curiga partai politik ingin memperlemah posisi presiden. Dalam sistem pemilihan presiden langsung, presiden dipilih oleh rakyat sehingga presiden terpilih percaya diri dengan mengantongi mandat rakyat. Hal ini dipandang menjauhkan presiden dari lobi-lobi politik yang diinginkan partai politik.

“Saya curiga ada misi lain. Kalau presiden dipilih rayat langsung, presidennya percaya diri. Dia terpilih bukan karena partai, partai hanya kendaraan saja. Jadi, mungkin ini tujuannya untuk mementahkan presiden agar ada negosiasi dengan partai,” tukas Feri.

Feri menagih rancangan perubahan amandemen kelima yang pernah disusun oleh Komisi Konstitusi dibawah pimpinan Sri Soemantri dan diserahkan kepada Amien Rais. Amandemen yang diduga menitikberatkan pada dominasi publik ini tak pernah dibicarakan, hanya tersimpan sebagai manuskrip di DPR.

“Naskah perubahan kelima ini masih tersimpan di dapurnya DPR. Tidak pernah diugkit-ungkit, didiskusikan. Karena mungkin itu jauh lebih baik dari empat amandemen sebelumnyakarena menghilangkan dominasi politik dan meletakkan dominasi publik,” ujar Feri.