August 8, 2024

Wajah Muram Perempuan Calon Kepala Daerah

Pemilihan kepala daerah serentak Desember 2015 mendatang hanya diikuti oleh sekitar 7.4 persen perempuan dari total 1614 peserta yang memenuhi syarat.

Angka ini mengonfirmasi masih minimnya kehadiran perempuan dalam kancah politik bernama pilkada, bahkan sejak pencalonan. Yang lebih muram, dari jumlahnya yang sedikit itu, perempuan lebih banyak merepresentasikan elite politik dan oligarki. Perempuan, dalam hal ini kepentingannya, tak terepresentasi dengan baik dalam tubuh-tubuh calon kepala daerah tersebut.

Profil

Jika disoroti, ada tiga kategori utama yang menjadi latar belakang perempuan calon kepala daerah. Pertama, sebanyak 48.15 persen adalah mantan anggota DPR/DPD/DPRD. Kedua, ada 18.89 persen perempuan yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan elite politik. Ketiga, sebanyak 35.19 adalah perempuan petahana.

Dari data tersebut, sebetulnya ada secercah harapan. Perempuan sudah mulai berani untuk bergerak memasuki arena politik tanpa terbebani oleh konstruksi budaya. Patriarki pada aras wacana jebol dengan permulaan gerak perempuan pada arena praksis ini.

Perempuan yang berlatar belakang DPR/DPD/DPRD menghitung dan mengumpulkan kekuatan politik yang dimilikinya saat ia menjadi anggota legislatif. Ia kemudian mencalonkan diri sebagai kepala daerah di tempat dimana ia bertugas sebagai anggota legislatif.

Kondisi yang hampir sama terjadi pada perempuan petahana. Perempuan petahana menjadi kontestan karena telah mempunyai modal sosial dan kapital yang ia konsolidasikan saat menjabat. Ia mempunyai posisi strategis di eksekutif dan dari posisi itu ia juga bisa mendapat modal kapital.

Tapi sayangnya, keberanian dan konsolidasi politik perempuan ini dikooptasi partai yang wataknya oligarkis. Perempuan mantan anggota legislatif dan perempuan petahana dipilih karena adanya modal elektoral yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan politik sesaat. Dalam kondisi ini, perempuan pada akhirnya bisa terjebak dalam jejak kepentingan patron-klien

Fakta besarnya jumlah perempuan yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan elite politik juga mencerminkan sempitnya basis rekrutmen partai. Perempuan jadi perpanjangan kuasa dari para elite politik. Pilihan partai mencerminkan masih kuatnya dominasi oligarki dalam internal partai. Pilihan partai pada orang yang mempunyai hubungan kekerabatan berpotensi melanggengkan politik dinasti dan politik transaksional. Fenomena kekerabatan juga cenderung membuka intervensi politik dan menghilangkan otonomi perempuan akibat adanya pertalian dengan elite politik berkuasa.

Afirmasi

Sedikitnya jumlah perempuan yang maju di pencalonan Pilkada dan latar belakangnya yang tak jauh dari kepentingan elite patut diduga karena ketiadaan tindakan khusus sementara bagi perempuan. UU 8/2015 tak mengenal kebijakan khusus untuk mengusung calon perempuan. Tidak ada hak istimewa bagi perempuan seperti kebijakan afirmasi di pemilu legislatif. Ditambah lagi, pilkada yang digelar satu putaran akan membuat persaingan semakin ketat dan menyulitkan keterpilihan perempuan yang jumlahnya sudah sedikit.

Padahal, perempuan masih membutuhkan afirmasi di pencalonan eksekutif, terutama pilkada. Sebab, pilkada jadi ruang strategis menegosiasikan program atau kebijakan yang berpihak pada perempuan.

Regulasi di tatanan daerah berupa peraturan daerah sering kali justru menjadi ancaman terhadap perempuan. Perempuan telah lama memikul tekanan struktural yang erat kaitannya dengan lapangan kerja dan jaminan ekonomi, layanan kesehatan dasar, hak-hak berpendidikan, serta kebebasan berartikulasi. Sebagai contoh, isu hilangnya hak pendidikan ataupun hak mengikuti Ujian Nasional bagi siswi hamil di Mojokerto tentu membebankan perempuan.

Komnas Perempuan, dalam Catatan Tahunan 2015, mencatat setidaknya ada sekitar 365 kebijakan diskriminatif yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Peraturan tersebut kerap mendiskriminasi perempuan dalam hal moralitas agama, kriminalisasi, serta kontrol atas tubuh. Untuk menyebut salah satunya, Peraturan Bupati Lombok Timur Nomor 26 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 memberikan izin poligami bagi laki-laki.

Mengingat jumlah perempuan yang masih sedikit, tindakan khusus sementara bagi perempuan masih relevan untuk didorong. Mendorong perempuan menjadi kepala daerah bisa ditempuh melalui dua jalur: partai maupun perseorangan. Maka, afirmasi juga mesti diterapkan pada dua jalur ini.

Afirmasi perempuan di struktur pengurus harian partai perlu didorong. UU partai politik perlu menyebutkan secara eksplisit bahwa kepengurusan partai politik perlu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Ini penting agar kaderisasi kepemimpinan perempuan terus berjalan sejak di internal partai. Dengan menempatkan perempuan di kepengurusan, perempuan akan belajar perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan di internal partai. Sehingga, ketika perempuan maju di pencalonan kepala daerah, perempuan sudah teruji kualitasnya dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.

Di jalur perseorangan, UU No 8/2015 ternyata juga mempersulit orang di luar partai ikut pilkada sebagai calon perseorangan, khususnya perempuan. Regulasi ini menambah syarat dukungan KTP penduduk daerah pemilihan, dari 3 sampai 6,5 persen ke 6,5 sampai 10 persen. Bentuk afirmasi perempuan di jalur perseorangan bisa ditempuh dengan mempermudah syarat dukungan bagi perempuan yang maju melalui jalur perseorangan. Mempermudah syarat dukungan bisa dilakukan dengan dua cara: pertama mengurangi syarat dukungan hingga 30 persen dari total dukungan yang harus dikumpulkan dan kedua memperpanjang waktu pengumpulan dukungan.

Gerakan perempuan

Tak berhenti di situ, penting juga kiranya merajut jalin antara calon kepala daerah dengan gerakan sosial berbasis masyarakat sipil untuk mengagregasi kepentingan-kepentingan perempuan. Dengan jalinan ini, diharapkan kesulitan-kesulitan ancaman struktural yang dialami perempuan dalam kerja politik dibantu oleh gerakan sosial.

Mengingat wajah muram keterwakilan perempuan yang telah dijelaskan sebelumnya, agak sulit mempertautkan perbaikan posisi perempuan atas peraturan daerah yang seringkali mendiskriminasi. Tak ada keterpautan antara calon kepala daerah dengan basis gerakan sosial yang menyuarakan kepentingan perempuan. Belum lagi, kondisi partai yang belum terjamah reformasi, sulitnya mendobrak oportunisme partai tetap akan dihadapi perempuan.

Oleh karena itu, rajutan kekuatan politik perempuan berbasis gerakan sosial penting untuk sedikit demi sedikit menyeka wajah muram keterwakilan perempuan tadi. Selain itu, upaya ini juga diharapkan akan terus merawat dukungan pemilih dan solidaritas masa. []

MAHARDDHIKA
Wartawan pegiat pemilu rumahpemilu.orgÂ