Pada webdiskusi “Perpu Pilkada: Skema Penundaan Pilkada 2020” (2/4), Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), August Mellaz menyampaikan bahwa penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 akibat Coronavirus disease 2019 (Covid-19) diakibatkan oleh dua prinsip yang saling berbenturan. Pemilu ditandai dengan prinsip kehadiran, sementara untuk menanggulangi penyebaran Covid-19, masyarakat diwajibkan untuk melakukan isolasi diri atau ketidakhadiran.
“Petugas penyelenggara pemilu harus melakukan pemutakhiran daftar pemilih, harus ketemu dengan pemilih. Para kandidat bertemu dengan konstituen. Nah, dia berbenturan pada saat ini dengan prinsip penanggulangan pandemik korona yang mewajibkan absensi, ketidak hadiran,” ujar August.
Di tengah upaya penanggulangan pandemik Covid-19, penyelenggaraan pemilu tak lagi dapat menjadi variabel independen. Pelaksanaannya bergantung pada penanganan wabah oleh pihak eksekutif atau Pemerintah. Oleh karena itu, waktu Pilkada lanjutan ditentukan oleh langkah-langkah penanggulangan Pemerintah.
“Posisi penyelenggara pemilu dan penyelenggaraan pemilu sangat bergantung pada langkah-langkah yang dilakukan oleh pihak eksekutif dalam menangani korona. Di situlah yang akan menentukan kira-kira tenggat waktunya,” tandas August.
Karena posisi penyelenggara pemilu bergantung pada kondisi Covid-19, August mewajarkan bila KPU tak dapat menjelaskan argumen dari opsi-opsi yang diusulkan KPU, sebagaimana kata August, dikritik oleh beberapa pihak. KPU tak ada di posisi menentukan segalanya.
“Saya tergelitik, satu dua hari ini muncul KPU mengajukan opsi. Itu memunculkan banyak kritik. Kok kelihatannya hanya opsi-opsi tanpa argumen. Bagi saya, saya bisa memahami situasi yang dihadapi KPU, karena KPU tidak dalam posisi menentukan segalanya. Tapi dia membuka opsi tiga bulan, enam bulan, dua belas bulan. Itu sesuatu yang memang harus dimunculkan KPU,” urai August.
August menganjurkan agar KPU memitigasi produk hukum dari lembaga di luar KPU, seperti keputusan presiden untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah untuk menangani Covid-19 dan memprediksi waktu yang dibutuhkan Pemerintah untuk menyelesaikan wabah tersebut. Pun, August mengingatkan KPU bahwa Covid-19 merupakan pandemik global yang akan memberikan dampak pada Indonesia secara keseluruhan. Diharapkan, penerjemahan KPU terhadap hal-hal tersebut menjadi dasar dari penyusunan skema teknis penyelenggaraan Pilkada lanjutan.
“Kita mitigasilah produk lain di luar KPU. Dia akan bisa dilihat kira-kira penanganannya akan spend waktu berapa lama. Paling moderat itu enam bulan. Tapi mugkin saja itu tidak memadai karena korona ini adalah pandemik global. Bisa saja Indonesia diminta bantuan oleh negara lain jika Indonesia ternyata selesai lebih dulu,” pungkas August.
Selain itu, August juga mendorong KPU untuk membentuk join session dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk membicarakan Pilkada lanjutan. Join session pun dipandang perlu dibentuk dengan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar penyelenggara pemilu mendapatkan informais terkini terkait penanganan Covid-19.
“Idealnya memang di saat ini, ada join session yang intensif antar sesama penyelenggara pemilu, dan antara penyelenggara pemilu dengan Pemerintah dan DPR. Di situ paling tidak akan membentuk satu persepsi yang sama, indikator yang lebih presisi, terkait kapan pandemik akan dituntaskan. Ketika bisa diprediksi seperti itu, maka urusan kelanjutan Pilkada bisa dibicarakan,” tutup August.