Keputusan melanjutkan pemilihan kepala daerah di tengah pandemi Covid-19 memunculkan kekhawatiran. Persoalan kesehatan hingga kualitas pemilihan menjadi hal yang paling utama dikhawatirkan.
Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu sepakat tetap menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun ini. Tahapan yang terhenti sejak Maret lalu, menurut rencana, dilanjutkan pada 15 Juni mendatang. Adapun pemungutan suara dijadwalkan digelar pada 9 Desember 2020.
Keputusan ini sebenarnya sah-sah saja di mata publik untuk menjamin kepastian hukum bagi penyelenggaraan pilkada. Namun, kecenderungan publik yang lebih khawatir pilkada digelar di tengah pandemi Covid-19 justru berdampak negatif. Ada harapan di benak publik, pilkada sebaiknya dilanjutkan setelah Covid-19 tidak lagi menjadi pandemi.
Jajak pendapat Kompas merekam, 66 persen responden menyatakan hal tersebut, bahkan mereka berharap agar pilkada digelar tahun depan. Meskipun demikian, opsi pilkada tahun ini juga diamini sebagian responden lainnya (29,8 persen).
Besarnya harapan terhadap penundaan pilkada senada dengan suara sejumlah kelompok masyarakat sipil. Harapan pilkada digelar pada 2021 salah satunya disuarakan melalui petisi daring yang telah ditandatangani lebih dari 11.000 kali hingga Sabtu lalu.
Tanggapan dan reaksi yang muncul bukannya tanpa sebab. Publik khawatir, jika pilkada tetap dilaksanakan, akan berdampak pada semakin banyaknya kasus positif Covid-19. Apalagi, jumlah kasus positif Covid-19 masih terus bertambah.
Hingga pekan ketiga Mei, daya tular Covid-19 di Indonesia pun masih 2,5. Artinya, setiap orang yang terinfeksi dapat menularkan kepada dua hingga tiga orang lainnya. Dengan jumlah pemilih potensial pada Pilkada 2020 mencapai 105 juta jiwa, tentu pilkada di tengah pandemi Covid-19 memiliki risiko dari sisi kesehatan.
Kualitas pilkada
Kekhawatiran yang muncul tak hanya berkaitan dengan kesehatan, tetapi juga dari sisi kualitas pilkada. Sebagian besar responden (77,3 persen) menilai pilkada di tengah pandemi akan berimbas pada kualitas yang dihasilkan.
Kualitas pilkada dapat diukur dalam dua hal, yakni dari sisi penyelenggaraan dan pengawasan. Dari sisi penyelenggaraan, publik masih bersikap protektif dalam mengikuti tahap penyelenggaraan pilkada. Bahkan, sikap hati-hati ini memunculkan resistansi dalam beberapa tahapan. Dalam tahap pencocokan data pemilih, misalnya, 10 persen responden mengaku tidak ingin menemui petugas KPU karena khawatir tertular Covid-19.
Sikap penolakan juga ditunjukkan responden jika tahapan pilkada memasuki fase kampanye. Sebanyak 26,9 persen responden menolak bertemu calon kepala-wakil kepala daerah jika kampanye di lingkungan sekitar. Ini menunjukkan rasa khawatir di tengah masyarakat yang tentunya dapat memengaruhi kualitas pilkada.
Tahap pemungutan suara di tengah pandemi memiliki derajat resistansi yang lebih besar. Sebanyak 28,1 persen responden mengaku tidak bersedia hadir di TPS untuk menggunakan hak suara jika tahapan itu berlangsung di tengah pandemi Covid-19. Ini tentu akan berdampak pada turunnya partisipasi pemilih yang juga mengakibatkan degradasi kualitas penyelenggaraan pilkada.
Kecenderungan kekhawatiran terhadap pilkada di tengah pandemi berbanding lurus dengan munculnya keraguan publik terhadap kinerja penyelenggara. Publik tidak begitu yakin KPU dan Bawaslu dapat melaksanakan tugas dengan optimal di tengah pandemi.
Pada aspek pengawasan, sebanyak 3 dari 4 responden khawatir pelanggaran yang terjadi akan sulit ditindak karena pembatasan sosial yang masih dilakukan di sejumlah daerah.
Padahal, pada Pilkada 2018, Bawaslu mencatat terdapat 3.133 laporan dan temuan pelanggaran. Jumlah ini meningkat dibandingkan pilkada tahun sebelumnya dengan 2.347 laporan dan temuan pelanggaran. Kemungkinan pelanggaran yang lebih besar bisa saja terjadi pada Pilkada 2020 mengingat pilkada akan digelar di 270 daerah atau lebih banyak dibandingkan Pilkada 2017 (101 daerah) dan 2018 (171 daerah).
Kebijakan alternatif
Meski demikian, publik juga menawarkan suatu kebijakan alternatif jika pada akhirnya pilkada harus tetap dilakukan jika pandemi Covid-19 tak kunjung berakhir. Salah satunya adalah dengan menambah tempat pemungutan suara (TPS) agar jumlah pemilih setiap TPS semakin berkurang.
Dalam UU Pilkada, jumlah pemilih maksimal dalam setiap TPS ditetapkan 800 orang. Namun, 8 dari 10 responden dalam jajak pendapat menganggap jumlah ini perlu dikurangi untuk mencegah kerumunan orang saat tahap pencoblosan.
KPU sebelumnya telah menawarkan opsi pengurangan batas maksimal pemilih dalam setiap TPS menjadi maksimal 500 orang. Adapun Bawaslu menawarkan beberapa opsi pengurangan hingga maksimal 300 orang per TPS. Dalam rapat antara Komisi II DPR dan KPU, Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu, serta Kementerian Dalam Negeri, disepakati batas maksimal dalam setiap TPS 500 orang (Kompas, 4 Juni 2020).
Usulan lainnya, kampanye digelar secara virtual. Dengan demikian, para calon tidak perlu bertemu langsung dengan konstituen. Penyampaian gagasan dapat dilakukan dengan konferensi video yang dapat diikuti setiap masyarakat.
Hampir dua pertiga responden menyatakan siap ikut serta jika kampanye virtual dilakukan. Walakin, kampanye virtual tentu perlu diiringi persiapan KPU untuk menyediakan fasilitas agar visi dan misi yang disampaikan para calon dapat diterima masyarakat, terutama mereka yang tidak memiliki gawai.
Kebutuhan anggaran
Serangkaian kebijakan alternatif ini otomatis berimplikasi pada membengkaknya anggaran pilkada. Saat rapat dengan Komisi II DPR pada 3 Juni lalu, KPU dan Bawaslu mengajukan penambahan sebesar Rp 2,8 triliun-Rp 5,9 triliun, bergantung pada tingkat keketatan penerapan protokol kesehatan.
Terhadap usulan itu, sikap publik terbelah. Sebanyak 52 persen responden mengaku setuju demi menjamin kesehatan penyelenggara dan masyarakat. Adapun 46,3 persen responden lainnya tidak sepakat karena saat ini negara membutuhkan banyak anggaran untuk menangani Covid-19.
Boleh jadi, ini menjadi potret dilema di mata publik, mana yang lebih mendesak antara pilkada dan upaya penanganan pandemi. Pada akhirnya, pemerintah, KPU, dan DPR perlu memastikan kepada publik agar pilkada tidak menjadi sesuatu yang waswas dan menakutkan di tengah Covid-19 yang masih menjadi ancaman. (DEDY AFRIANTO/LITBANG KOMPAS)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas https://kompas.id/baca/polhuk/2020/06/08/was-was-pilkada-di-tengah-pandemi/